Tahun Baru Islam 1442 H
Tahun Baru Islam 1442 H, Menakar Cinta & Menakar Cinta Kepada Nabi Muhammad SAW
Baru beberapa hari berlalu, sebagai umat Islam, kita memperingati tahun baru Islam, 1 Muharram 1442 H dengan pelbagai ekspresi dan aktivitas.
Oleh: Otoman, S.S., M.Hum
Dosen Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Fatah Palembang
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah Saw itusuri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan akan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. al-Ahzab: 21).
Baru beberapa hari berlalu, sebagai umat Islam, kita memperingati tahun baru Islam, 1 Muharram 1442 H dengan pelbagai ekspresi dan aktivitas.
Segala bentuk ekspresi maupun aktivitas tersebut masih dalam kategori biasa dan seremonial belaka bila kosong dari penghayatan atas nilai-nilai luhur yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam yang beliau bawa.
Sebagai umat Islam, kita dituntun untuk mencintai Nabi Muhammad SAW melebihi kadar cinta kita kepada seluruh makhluk bahkan atas diri kita sendiri.
Disamping itu kita dituntut agar mampu merealisasikan ajaran Islam yang beliau bawa dalam hidup dan kehidupan kita.
Pertanyaan yang seharusnya muncul dalam ruang muhasabah kita minimal pada tiap kali pergantian tahun baru Islam adalah; sudahkah kita mencintai dan meneladani Nabi Muhammad SAW dengan benar?
Sejauhmana kadar cinta dan keteladan kita kepada Muhammad SAW itu memengaruhi diri kita, orang lain dan alam semesta?
Orang yang kita cintai dan mesti kita teladani itu Muhammad Rasulullah SAW adalah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan, dan ‘Adnan adalah salah satu putera Nabi Allah Isma’il bin Nabi Allah Ibrahim al-Khalil -salam terlimpah atas Nabi kita dan atas keduanya.
Muhammad SAW adalah penutup para Nabi dan Rasul, serta utusan Allah SWT kepada seluruh manusia.
Beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah, dan Rasul yang tidak boleh didustakan.
Beliau adalah sebaik-baik makhluk, makhluk yang paling utama dan paling mulia di hadapan Allah Ta’ala, derajatnya paling tinggi, dan kedudukannya paling dekat kepada Allah.
Beliau diutus kepada manusia dan jin dengan membawa kebenaran dan petunjuk, yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, sebagaimana firman-Nya;
“Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya’: 107).
Allah menurunkan kitab suci al-Quran kepadanya, memberikan amanah kepadanya atas agama-Nya, dan menugaskannya untuk menyampaikan risalah-Nya.
Allah telah melindunginya dari kesalahan dalam menyampaikan risalah ini, sebagaimana firman-Nya;
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. an-Najm: 3-4).
Ahlus Sunnah beriman bahwa Allah Ta’ala mendukung (menguatkan) Nabi-Nya SAW dengan mukjizat-mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang jelas.
Di antara mukjizat-mukjizat tersebut dan yang terbesar adalah al-Quran yang dengannya Allah mengemukakan tantangan kepada umat yang paling fasih dan paling mendalam (bahasanya) serta paling mampu berlogika.
Mukjizat terbesar -setelah al-Quran yang dengannya Allah menguatkan Nabi-Nya SAW adalah mukjizat Isra’ dan Mi’raj, yaitu dibawanya Nabi Muhammad SAW oleh Malaikat Jibril pada suatu malam dari Makkah ke Baitul Maqdis kemudian ke langit sampai ke Sidratul Muntaha.
Dan beliau melakukan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar.
Juga mukjizat-mukjizat lainnya. Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang Muhammad Rasulullah SAW adalah:
Pertama, keumuman risalah Nabi Muhammad SAW bahwa beliau diutus Allah ke muka bumi untuk segenap jin dan manusia dengan membawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang.
Dalil tentang keumuman risalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah firman Allah Ta’ala;
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh ummat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (QS. Saba: 28).
Rasulullah SAW bersabda; “Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun dari Rasul-Rasul sebelumku, yaitu
(1) aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku dari jarak sebulan perjalanan,
(2) dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan bersuci (untuk tayamum), maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka hendaklah ia shalat,
(3) dihalalkan rampasan perang bagiku dan tidak dihalalkan kepada seorang Nabi pun sebelumku,
(4) dan aku diberikan kekuasaan memberikan syafa’at (dengan izin Allah),
(5) Nabi-Nabi diutus hanya untuk kaumnya saja sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.
Kedua, Ahlus Sunah mengimani dan meyakini bahwasanya Nabi Muhammad SAW adalah hamba Allah dan utusan-Nya.
Ahlus Sunnah menyaksikan dan meyakini Nabi Muhammad SAW adalah Rasul yang paling mulia dan penghulu seluruh makhluk.
Beliau adalah hamba Allah dan utusan-Nya, dua sifat ini (hamba dan utusan) untuk menolak adanya sifat ghuluw (melampaui batas) dan tafrith (melalaikan hak-hak beliau).
Ketiga, Ahlus Sunah meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para Nabi.
Setiap orang yang mendakwahkan adanya kenabian sesudah Nabi Muhammad SAW, maka yang demikian itu adalah sesat dan kufur.
Allah Ta’ala berfirman; “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. al-Ahzab: 40).
Nabi SAW menyebutkan akan adanya dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi SAW bersabda:
“...Dan sesungguhnya akan muncul pada umatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku” (HR. Ahmad (V/278), Abu Dawud (no. 4252), Ibnu Majah (no. 3952).
Nabi Saw bersabda; “Aku memiliki lima nama; aku Muhammad (yang terpuji), aku adalah Ahmad (yang banyak memuji), aku adalah al-Mahi (penghapus) dimana melalui perantaraanku Allah menghapus kekufuran. Aku adalah al-Hasyir (pengumpul) yang mana manusia akan dikumpulkan di hadapanku. Aku juga mempunyai nama al-‘Aqib (belakangan/penutup), tidak ada lagi Nabi yang datang sesudahku” (HR. Al-Bukhari (no. 3532), Muslim (no. 2354) dan at-Tirmidzi (no. 2840).
Keempat, Ahlus Sunah berkeyakinan bahwa Rasulullah SAW tidak mengetahui masalah yang ghaib semasa hidupnya kecuali yang diajarkan oleh Allah SWT.
Apalagi setelah beliau wafat. Allah ta’ala berfirman; “Katakanlah, Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini Malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku...” (QS. al-An’am: 50).
Jika Rasulullah tidak mengetahui masalah yang ghaib, maka apalagi orang lain. Karena yang mengetahui masalah yang ghaib hanya Allah ta’ala semata.
Firman Allah; ‘Tidaklah ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah’. Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan” (QS. an-Naml: 65).
Kelima, wajib mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad serta Larangan Ghuluw (Berlebih-lebihan).
Ahlus Sunah wal jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad SAW melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allah SWT.
Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau, tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama akan menyebabkan kebinasaan.
Rasulullah bersabda; “Tidaklah beriman seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintainya melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia” (HR. Al-Bukhari (no. 15), Muslim (no. 44), Ahmad (III/275) dan an-Nasa-I (VIII/114-115).
Pertama-tama, wajib bagi setiap hamba mencintai Allah, dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung.
Allah Swt berfirman; “Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah” (QS. al-Baqarah: 165).
Ahlus Sunah mencintai Rasulullah Saw dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat mencintainya, lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka.
Sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khathab, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam, ia berkata; “Kami mengiringi Nabi SAW, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khathab.
Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi SAW; “Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku’, maka Nabi SAW menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu’
Lalu Umar berkata kepada beliau; “Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Saw bersabda; “Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar” (HR. Al-Bukhari (no. 6632).
Berdasarkan hadis di atas, maka mencintai Rasulullah Saw adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah.
Sebab mencintai Rasulullah Saw adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam mencintai Allah.
Mencintai Rasulullah Saw adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.
Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu
(1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya;
(2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah; dan
(3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api” (HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033).
Mencintai Rasulullah SAW mengharuskan adanya penghormatan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau atas segala ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunah-Sunahnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah.
Seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah Saw, sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb yang mengutusnya.
Umatnya mencintai beliau Saw, karena Allah telah memuliakannya.
Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai konsekuensi dalam mencintai Allah” (Jala’ul Afham fi Fadhlish Shalati was Salam ‘ala Muhammad Khairil Anam (hal. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman).
Maksudnya, bahwa Allah Ta’ala meletakkan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi Saw, karena itu tidak ada seorang manusia pun yang lebih dicintai dan disegani dalam hati para Sahabat kecuali Rasulullah Saw (Shalih Fauzan: ‘Aqidatut Tauhid (hal. 150).
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, yang utama dan menjadi skala prioritas adalah mencintai Nabi Saw berarti meneladani (dalam tutur kata dan perbuatan) secara sinkron dan kontinuitas terhadap akhlak mulia Nabi Saw dalam hidup dan kehidupan ini, yang terangkum dalam 4 sifat mulianya, yaitu
Shiddiq (jujur),
Amanah (dipercaya),
Tabligh (menyampaikan),
Fathonah (cerdas).
Jika kita belum mampu mengejawantahkan semua itu pada diri kita, maka hendaklah momentum pergantian tahun Islam 1442 H kita jadikan sebagai ruang penghayatan untuk mengikat dan meningkatkan rasa cinta kita kepada Nabi Saw dalam segala aspeknya.
Sehingga pondasi keimanan berangsur kokoh dalam buhul hati, lisan, dan perbuatan kita. Aamiiin ya Robbal ‘aalamiiin.