Talang Tuwo
Talang Tuwo, Prasasti Tinggalan Kerajaan Sriwijaya yang Membicarakan tentang Penataan Ruang dan LH
Jika sekarang banyak kerusakan alam terjadi, itu karena kita salah dalam memaknai alam dan hanya melihat dari sudut pandang kepentingan manusia semata
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Belum lama ini wartawan Sriwijaya Post Aminuddin sempat mewawancarai Dr Yenrizal, S.Sos, M.Si, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UIN Raden Fatah Palembang terkait buku yang tulis.
Berikut narasi cerita yang beliau sampaikan secara panjang lebar ...
TAHUN 2018 lalu saya memang menerbitkan buku. Judulnya “Nilai-Nilai Lingkungan Hidup pada Prasasti Talang Tuwo, Perspektif Komunikasi Lingkungan”.
Buku itu adalah hasil riset yang kemudian saya bukukan.
Keunikan buku ini bisa dikatakan bahwa ini adalah buku pertama dari hasil penelusuran saya tentang Prasasti Talang Tuwo, walaupun kalau hasil riset orang lain sudah ada tapi tidak dalam bentuk buku.
Kenapa saya mengangkat soal Talang Tuwo, karena sebagaimana diketahui Prasasti Talang Tuwo adalah satu-satunya prasasti yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sriwijaya yang isinya bicara tentang lingkungan hidup dan penataan ruang.
Sekaligus juga ini adalah teks terpanjang yang ada dalam prasasti.
Talang Tuwo juga menunjukkan bahwa di abad ke-7 dulu, ribuan tahun yang lalu, Raja Sriwijaya sudah bicara tentang tata ruang, tentang pengelolaan lingkungan, dan tentang kemakmuran untuk semua makhluk.
Kerajaan Sriwijaya juga adalah nenek moyang masyarakat Sriwijaya, leluhur kita, karena itu sangat penting untuk selalu mengingat berbagai petuah yang disampaikan, yang sejatinya masih sangat relevan di masa sekarang.
Pendekatan dalam buku itu adalah Komunikasi Lingkungan, sesuai disiplin ilmu yang saya tekuni, dimana saat ini referensi tentang Komunikasi Lingkungan, khususnya lagi tentang hubungan manusia dengan alam masih sangat terbatas.
Materi bahasan pada buku ini dilengkapi kajian teoritis, terutama perspektif komunikasi lingkungan.
Buku ini diharapkan bisa jadi bahan referensi semua pihak.
Yang melatarbelakangi penerbitan buku ini antara lain pertama, bagi saya Sriwijaya bukan sekedar nama, tapi adalah sebuah kerajaan besar yang tentunya memiliki berbagai pesan penting.
Itu alasan utama mengapa saya ingin mendalaminya dan belajar dari peninggalan para leluhur.
Kedua, minimnya referensi akademis tentang nilai-nilai penting kebesaran dan kejayaan Sriwijaya sebagai kerajaan besar yang pernah berjaya di Nusantara.
Perlu sekali ini untuk dituliskan ke generasi sekarang.
Ketiga, banyak perspektif yang sudah bicara tentang Sriwijaya, tapi perspektif Komu nikasi Lingkungan belum ada.
Buku ini mencoba membahasnya.
Pesan yang hendak saya sampaikan adalah pertama, ribuan tahun lalu, di abad 7 M, leluhur kita sudah bicara soal penataan ruang dan LH.
Bisa dibayangkan, di saat semuanya masih berupa hutan belantara, lahan masih luas, pemimpin saat itu sudah memikirkan dan melakukan penataan.
Kedua, Raja Sriwijaya tidak bicara bahwa alam ini hanya untuk manusia saja, tapi untuk semua makhluk, termasuk non manusia.
Karena itu jika sekarang banyak kerusakan alam terjadi, semua karena kita salah dalam memaknai alam dan hanya melihat dari sudut pandang kepentingan manusia semata.
Ketiga, seluruh pengelolaan dan penataan alam adalah untuk Kemakmuran Semua Makhluk.
Ini pesan penting, bahwa pengelo laan alam jangan hanya untuk segelintir manusia saja, tapi semuanya.
Hukum keseimbangan alam ada pada gagasan ini.
Keempat, pengelolaan alam dan penanaman tanaman jangan menggunakan pola monokultur.
Raja Sriwijaya dalam Prasasti Talang Tuwo berkata tentang multikultur, tanamlah beragam tumbuhan, jangan satu jenis.
Ini prinsip penting dalam sistem ekologis.
Kelima, manusia dan alam adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Manusia bisa mencapai kemakmuran jika persandingan hidup dengan lingkungan alam dilaksanakan secara seimbang.
Buku ini merupakan hasil riset.
Jika dihitung sejak awal riset sampai selesai diterbitkan, butuh waktu sekitar 1 tahun.
Segmen pembacanya menyasar ke siapa saja yang peduli dengan lingkungan hidup dan pesan-pesan para leluhur. Sangat baik untuk kalangan akademisi, peneliti, sejarawan, agamawan (Sriwijaya adalah kerajaan yang identik dengan agama Budha), jurnalis, dan sebagainya. Cara penyajian juga cukup sederhana dan bisa dipahami dengan mudah.
Alhamdulillah respons masyarakat cukup positif dan banyak yang memesan buku ini untuk dijadikan referensi. Awalnya memang tidak saya distri busikan secara massal, tetapi dalam waktu dekat akan dicetak ulang dan distribusi lebih luas lagi. Cetakan pertama sudah habis. Ke depannya,
sesuai bidang saya di Komunikasi Lingkungan dan latar belakang saya sebagai akademisi, maka kajian tentang Komunikasi Lingkungan akan terus saya dalami lagi. Banyak nilai-nilai lokal yang bisa dimunculkan dan jadi panutan saat ini. Bentuknya bisa berupa buku, artikel, ataupun tulisan di jurnal ilmiah. Selain itu saya bercita-cita untuk membentuk Pusat Kajian Sriwijaya yang isinya akan terdiri dari berbagai kalangan yang peduli.
Saya yakin masyarakat kita adalah masyarakat yang percaya dan yakin dengan kekuatan dan kehebatan para leluhur.
Ini terbukti dengan berbagai label Keramat yang dilabelkan pada para leluhur.
Pada konteks ini, leluhur kita (kerajaan Sriwijaya) sudah sangat jelas menyampaikan pesan tentang pentingnya pengelolaan LH dan penataan ruang yang baik.
Jika sekarang banyak masalah lingkungan seperti banjir, kabut asap, longsor, kekeringan, dan sebagainya, saya khawatir bahwa itu adalah salah satu efek karena kita ingkar dari petuah para leluhur.
Kuwalat, dalam bahasa lainnya.
Karena itu, mari kembali pada pesan para leluhur, baik masyarakat, pemerintah, atau siapapun itu.
Demi kemakmuran bersama.
Naskah pada Prasasti Talang Tuwo bisa mengilhami munculnya konsepsi tentang Manusia Talang Tuwo.
Konsepsi ini sangat dipentingkan dengan melihat realitas pengelolaan lingkungan saat ini, karena semuanya bermula dari bagaimana respon manusia terhadap alam.
Setidaknya manusia Talang Tuwo adalah manusia yang selalu menyandarkan dirinya pada keseimbangan hubungan dengan alam semesta.
Ini berkolerasi langsung dengan adagium di masyarakat Melayu yaitu Alam Terkembang Jadi Guru.
Manusia Talang Tuwo bisa diidentifikasi pada beberapa ciri khas : (1) Yakin dan percaya bahwa dunia ini bukan hanya untuk manusia saja.
Semua yang ada adalah ciptaan Yang Maha Kuasa dan semua memiliki hubungan yang tak terpisahkan.
Manusia Talang Tuwo adalah manusia yang bisa menjaga keseimbangan tersebut.
(2) Yakin dan percaya bahwa keragaman adalah berkah dan itu tergambar dari pengelolaan ruang dan tanaman yang selalu menjunjung tinggi keragaman.
Manusia Talang Tuwo tidak akan menerima pengelolaan yang memakai prinsip monokultur.
(3) Yakin dan percaya bahwa jika ia diberi amanah sebagai pemimpin maka ia akan menekankan pada kemakmuran semua makhluk.
Sikap serakah adalah sikap yang sangat dihindarkan dalam perspektif manusia Talang Tuwo.
Keserakahan adalah pangkal dari semua masalah.
Kemudian yang ke (4) yakin dan percaya bahwa kesalahan dalam penataan dan pengelolaan LH adalah pangkal dari semua masalah dalam ke hidupan.
Sebaliknya, kemampuan dalam menjalin hubungan yang seimbang antara manusia dengan alam akan membawa pada kemakmuran bersama.
(5) Yakin dan percaya bahwa Yang Maha Kuasa adalah kekuatan utama yang memberikan kehidupan pada manusia melalui anugerah alam semesta.
Manusia Talang Tuwo yakin akan kekuatan Sang Pencipta dan yakin dengan segala konsekuensi yang akan diberikan jika melanggar ketentuan-Nya.
(6) Yakin dan percaya bahwa keserasian hubungan sosial antara semua makhluk harus dibina dan diciptakan.
Tanpa keserasian maka musibah dan kerusakan alam akan senantiasa terjadi.