Budaya Ulu dan Ilir
Budaya Ulu dan Ilir Memiliki Perbedaan dalam Mengembangkan Struktur Masyarakat Karena Perdagangan
Masyarakat ilir sangat fokus pada dunia luar dan dengan mudah menyerap unsur kebudayaan asing seperti Eropa, India dan Jawa,Timur Tengah, dan Tiongkok
SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Budaya Ulu dan Ilir adalah suatu hubungan antara masyarakat melayu nusantara di dalam interaksi mereka untuk memenuhi kepentingan satu sama lain.
Yang perlu ditekankan bahwa kedua macam masyarakat ini di dalam mengembangkan struktur masyarakat cukup berbeda, antara lain disebabkan oleh kekayaan yang diraih dari perdagangan.
Struktur masyarakat Ilir cenderung lebih berlapis dengan Raja atau Sultan sebagai kepala kerajaan dengan golongan elit yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Masyarakat ilir sangat berfokus pada dunia luar dan dengan mudah menyerap unsur kebudayaan asing seperti Eropa, India dan Jawa, Timur Tengah, dan Ti ongkok.
Karena perdagangan internasional baik di negara-negara Arab maupun India dan Tiongkok, didominasi saudagar yang be ragama islam, sehingga masya rakat Ilir lebih dahulu memeluk agama Islam, su atu proses yang sudah mulai sejak abad ke 12 dan mencapai puncak pada abad ke 15.
Pengaruh luar juga merembes ke pedalaman tetapi biasanya agak lambat sampai di daerah Ulu yang pada umumnya bersifat lebih konservatif.
Masyarakat pedalaman tidak terlibat secara langsung dalam perdagangan internasional, tetapi mereka lah yang menyediakan hasil-hasil hutan yang sangat laku di luar negeri seperti kapur barus, berbagai jenis damar, rempah- rempah dan sebagai nya.
Akan tetapi hasil kekayaan alam paling harum adalah emas sehingga Sumatra terkenal di India sebagai Suvarnadvipa (pulau emas).
Hubungan antara Ulu dan Ilir ditandai saling membutuhkan.
Kedua saudara sama-sama berbahasa Melayu dan memiliki kebudayaan yang sangat mirip tergantung satu sama lain.
Palembang misalnya tergantung pada barang dagangan yang hanya dapat diperoleh di pesisir seperti garam, besi, kain, serta barang barang mewah, sementara daerah Ilir meraih untung besar dengan menjual hasil hutan yang mereka peroleh dari orang Ulu.
Faktor sumber daya manusia juga tidak kalah penting dalam hubungan Ulu-Ilir.
Daerah Ilir kaya hasil perdagangan, tetapi miskin dalam hal penduduk, sementara seorang raja mustahil menjadi raja kalau tidak mempunyai rakyat.
Semakin banyak rakyat nya semakin tinggi gengsi seorang raja sehingga sangat penting bagi seorang raja Ilir untuk memastikan penduduk Ulu ingin menjadi rakyat nya.
Masyarakat Ulu wajib membayar upeti dan secara teratur harus menghadap di istana dan memberi hadiah kepada raja.
Sebagai imbalan masyarakat Ulu dapat mengharapkan perlindungan dan para raja setempat dibekali dengan gelar serta tanda-tanda kerajaan (Andaya, 1993:76).
Hubungan antara Ulu dan Ilir dapat berjalan cukup lancar karena hubungan antara kedua pihak ditandai oleh ikatan kekerabatan.
Bangsawan Ilir sering mengambil seorang perempuan Ulu sebagai istri untuk menjamin agar hubungan Ulu-Ilir berjalan lancar.
Sebagai imbalan orang Ulu dapat mengharap perlindungan dan imbalan lain seperti hadiah-hadiah bergengsi semisal gelar.
Sang raja juga diharapkan untuk dapat memutuskan perselisihan antar kampung atau antar daerah yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak pihak terkait.
Hal ini sering terjadi karena kebanyakan masyarakat Ulu tidak mengenal sistem pemerintahan pusat sehingga hanya raja yang di Ilir yang dapat berfungsi sebagai otoritas tertinggi.
Perselisihan yang paling sering perlu diselesaikan berkaitan dengan batas-batas daerah (marga).
Keputusan yang diambil diabadikan dalam sebuah piagam.
Kesuksesan Ilir di Ulu ternyata sangat tergantung kemauan pada penduduk Ulu sendiri, namun mesti diakui bahwa pada umumnya daerah Ulu menerima kepemimpinan Ilir dengan mengakui kedaulatan para raja atau sultan di pesisir.
Selama periode yang mencukupi dalam karya Barbara Andaya " to live at Brother " (Andaya, 1993, yaitu abad ke 17 sampai abad 18 dominasi Ilir jelas menonjol.
Namun demikian ada pula masa yang roda pemerintahan digerakkan dari daerah Ulu.
Salah satu contoh adalah kerajaan Malayu di masa pemerintahan Akarendrawarman dan penggantinya Adityawarman.
Selama masa pemerintahan Adityawarman (1347-1377), Kerajaan Malayu mengalami puncak kejayaan.
Pada saat itu kerajaan berpusat di daerah Minangkabau, dan pindah ke pedalaman Sumatra pada awal abad ke 14.
Yang selama ini kerajaan Malayu sebelumnya berada di pesisir dan timbulnya sebuah kerajaan besar di lembah-lembah pegunungan Bukit Barisan merupakan fenomena yang perku dikaji lebih dalam.
Penulis : Albar Sentosa Subari, Ketua Pembina Adat Sumsel