Liputan Eksklusif

Siswa di Desa Tunggul Bute Lahat Kesulitan Ikut Belajar Daring. "Internet Itu Apa Kak?"

Bagaimana tidak, jangankan mau mengikuti PJJ kalau layanan jaringan internet saja tidak ada.

Editor: Soegeng Haryadi
SRIPOKU.COM/EHDI AMIN
Siswa SD 11 Tunggul Bute Kota Agung saat mengikuti proses belajar. 

Kebijakan sekolah online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) tampak dirasa sangat tidak adil bagi siswa siswi yang ada di Desa Tunggul Bute, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat.

Kebijakan itu sangat memberatkan baik bagi pelajar, orangtua maupun guru. Maklum saja, Desa Tunggul Bute yang berada di wilayah perbukitan dengan ketinggian 1.400-2.000 meter dari permukaan laut, hingga saat ini belum merasakan jaringan sinyal.

Alih-alih bisa mengkses internet, untuk mengakses atau menggunakan handphone saja tidak bisa. Handphone, serasa tak berarti saat berada di sini. Hanya di beberapa tempat saja yang terkena pancaran sinyal di wilayah yang berada di lembah gugus bukit barisan ini.

Pelajar di Pelosok Bersusah Payah Ikut Belajar Daring, Panjat Duku Cari Sinyal

"Internet itu apa kak, " kata Muhammad Ramadhan, salah satu siswa SD Negeri 11 yang berada di Desa Tunggul Bute.

Keluguan Ramadhan, seolah 'menampar' kebijakan yang saat ini diterapkan oleh Kementrian Pendidikan. Bagaimana tidak, jangankan mau mengikuti PJJ kalau layanan jaringan internet saja tidak ada.

Belum lagi, masih asingnya teknologi di desa setempat. Namun demikian bukan karena warga tidak dimiliki SDM untuk dapat menggunakan canggihnya teknologi saat ini. Begitupun soal kemampuan untuk membeli handphone misalnya. Tak sedikit, warga Tunggul Bute yang mayoritas sebagai petani kopi dan pekerja di perusahaan hidup berkecukupan.

Curhat Para Ibu di Palembang Menjadi Guru Dadakan untuk Anak Saat Sekolah Daring, Repot dan Merugi

"La untuk apa kami beli HP android yang bisa mengakses internet dan aplikasi lain jika di desa kami ini saja sinyal tidak ada. Jadi percuma dan tidak akan bisa dimanfaatkan oleh anak anak untuk belajar, " ujar Mailana, orangtua Haikal, salah satu siswa di SD 11.

Jadi, disayangkan Mailana, tidak adil jika siswa harus belajar dengan menggunakan internet sementara pemerintah tidak menyediakan layanan jaringanya.

Bukan soal PPJ saja, dengan masih minimnya akses tehnologi akan membuat warga berpenduduk ribuan tersebut ketinggalan. Disisi lain, jika harus sekolah ke ibu Kota Kecamatan atau ke Ibu kota Kabupaten Lahat, sangat jauh dan membutuhkan lebih banyak biaya.

"Gak bisa dipaksakan juga pendidikan harus PJJ. Nah, kami selaku orang tua bersyukur tanpa adanya jaringan internet para guru siswa bersedia jemput bola dengan mendatangi siswa dan menerapkan pola pembelajaran terbatas di sekolah dengan mengedepankan protokol kesehatan," ucapnya.

Handphone yang Digunakan untuk Belajar Daring Dijambret, Seorang Pelajar Kini Sibuk Cari Pinjaman

Bukan hanya siswa dan para orangtua, guru guru di SD 11 Desa Tunggul Bute, dibuat pusing tujuh keliling dengan adanya penerapan PPJ ini, lantaran tidak adanya jaringan internet.

"Desa Tunggul Bute ini berada di atas bukit dan dulu pernah disebut desa di atas awan. Desa ini masih dikelingi hutan dan perkebunan. Jangankan internet, kita sebagai guru saja kesulitan jika ingin berkomunikasi lewat HP,"ungkap Andi Irawan, SP.d. Kepala SD 11 Tunggul Bute, Kota Agung, Lahat.

Sejak adanya kebijakan belajar PJJ internet lantaran pandemi covid 19, dilanjutkan Andi, awalnya ia bersama guru guru kebingungan bagaimana menyikapi hal tersebut.

Terlebih, para siswa terancam tidak bisa sekolah dan belajar sama sekali selama covid 19 masih ada. Akhirnya, bersam guru dibuatla sistem PJJ manual dimana guru yang datang ke rumah siswa atau dengan sistem jemput bola sehingga tidak terjadi kerumunan.

Namun, disayangkan Andi, siswa siswinya yang berjumlah 90 orang ditambah jarak rumah siswa yang saling berjauhan membuat tidak efektif sehingga sistem tersebut tidak bisa dilakukan oleh sekolah.

Siswa yang Tinggal di Desa Pelosok Sumsel Terpaksa Menginap di Perbukitan, Susahnya Belajar Daring

"Awalnya demi anak didik belajar dan dapat pengarahan dari guru, guru mendatangi siswa. Namun, disini banyak siswa yang tinggal diperkebunan atau saling berjauhan jadi tak maksimal," tuturnya.

Saat ini, kata dia, agar siswa tetap belajar diterapka sistem datang ke sekolah. Namun, dalam satu kelas dibagi dua. Misalnya dalam satu kelas ada 20 siswa perhari hanya10 siswa.

Dalam satu minggu, siswa hanya dibebankan datang ke sekolah selama dua hari secara bergantian. Kedatangan siswa juga, jelas Andi, hanya untuk menjemput tugas dan mendengar penjelasan dari para guru. Selebihnya, tugas sekolah di kerjakan di rumah masing masing.

"Kalau sial PPJ masalahnya ada di jaringan. Jadi selama jaringan tidak ada maka tidak akan pernah bisa siswa kami bisa mengikuti PPJ. Harapan kita ya pemerintah bisa memasukkan jaringan ke desa ini," harapnya. (ean)

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved