Jokowi Kembali Naikkan Iuran BPJS 100 Persen, MA Bereaksi: Kalau Rugi Jangan Bebani Masyarakat

MA menyatakan kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS harus dicari jalan keluarnya

Editor: Soegeng Haryadi
DOK. SRIPOKU.COM
Kartu BPJS Kesehatan. 

Namun jika mengacu pada putusan yang dikeluarkan MA pada 27 Februari 2020 lalu, yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019, Pemerintah semestinya tidak boleh menaikkan iuran dengan alasan untuk menutup defisit yang dialami BPJS Kesehatan.

Dalam salah satu pertimbangan putusannya dengan nomor registrasi 7 P/HUM/2020 itu, MA menyebut bahwa defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tidak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan menaikkan iuran bagi peserta. Apalagi dalam kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu.

MA menilai defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan selama ini lebih disebabkan karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS.

Selain itu, kata MA, ada akar masalah yang terabaikan yaitu manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan. Inilah yang seharusnya dibenahi.

Majelis hakim MA yang terdiri dari Yosran, Yodi Martono Wahyunadi, dan Supandi itu , SH., kemudian memaparkan kondisi BPJS Kesehatan mengutip hasil audit BPKP dalam rapat di DPR.

Salah satunya ialah keuangan BPJS yang selalu defisit setiap tahun sehingga sulit membayar utang ke rumah sakit. Hal itu membuat rumah sakit sulit menjalankan operasionalnya, seperti membeli obat, membayar dokter, dan sebagainya. Kondisi lainnya termasuk data peserta yang tak konsisten, manajemen dan perhitungan tidak dilakukan dengan baik, hingga menunggaknya peserta dalam membayar iuran.

Menurut hakim, kondisi-kondisi itu disebabkan beberapa hal. Salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan.

“Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Agung, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan iuran,” demikian bunyi pertimbangan hakim.

MA menyatakan kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS tersebut harus dicari jalan keluarnya, namun tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan.

Sementara itu Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang dulu mengajukan uji materi Perpres Nomor 75 Tahun 2019 ke MA, mengaku akan kembali mengajukan uji materi terhadap Perpres Nomor 64 Tahun 2020.

“KPCDI akan kembali mengajukan uji materi ke MA atas Perpres tersebut. Saat ini KPCDI sedang berdiskusi dengan Tim Pengacara dan menyusun materi gugatan,” kata Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir, saat dihubungi, Rabu (13/5/2020).

Menurut Tony, KPCDI menyayangkan sikap pemerintah yang telah menerbitkan peraturan tersebut di tengah situasi krisis wabah virus corona di Indonesia.

Walaupun ada perubahan jumlah angka kenaikkan, kata dia, perubahan itu masih dirasa memberatkan masyarakat apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu saat ini.

“KPCDI menilai hal itu sebagai cara pemerintah untuk mengakali keputusan MA tersebut,” kata Tony. (tribun network/gle/fik/dod)

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved