BPJS Naik, Kualitas Pelayanan Kesehatan Juga Harus Baik

Wacana pemerintah untuk menaikan iuran Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Ke­se­hat­an menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto BPJS Naik, Kualitas Pelayanan Kesehatan Juga Harus Baik
ist
Muhammad Syahri Ramadhan

BPJS Naik, Kualitas Pelayanan Kesehatan Juga Harus Baik

Oleh : Muhammad Syahri Ramadhan

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Wacana pemerintah untuk menaikan iuran Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) Ke­se­hat­an menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Kenaikan jumlah iuran yang ditetapkan oleh pe­merintah ini juga tidak main–main yaitu naik dua kali lipat atau seratus persen dari iuran sa­at ini.

Tidak mengherankan apabila masyarakat khususnya dari kalangan menengah ke ba­wah menjadi resah atas wacana pemerintah tersebut.

Hal yang menjadi wajar jika iuran BPJS Ke­sehatan ini menimbulkan keriuhan sama hanya dengan kenaikan tarif dasar listrik, air, bahan sembako bahkan BBM. Hal ini dikarenakan BPJS merupakan salah satu ujung tombak ba­gi setiap lapisan masyarakat di Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pe­me­­rintah.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS me­nyebutkan BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpe­nu­hinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.

Makna dari kebutuhan dasar hidup yang layak dari bunyi pasal ini mennjelaskan BPJS me­ru­pakan fundamental social institutions dari pemerintah, yang mempunyai peran penting dalam mem­beri dan menjamin pelayanan kesehatan yang sangat baik bagi setiap penduduk di In­donesia.

Berpikir Logis dan Kritis

Pernyataan pemerintah yang akan segera menaikan iuran BPJS dengan tarif yang begitu fan­ta­s­tis selayaknya harus dilihat dari dua sisi.

Sisi pertama yaitu dari pemerintah, bukan tanpa a­lasan pemerintah harus menaikan tarif iuran BPJS hingga dua kali lipat tersebut.

Kenaikan me­rupakan salah satu upaya dari pemerintah untuk menghindari defisit anggaran tahun ini ya­ng bisa mencapai 32,8 triliun rupiah (www.cnnindonesia.com).

Oleh sebab itu, adanya pe­nye­­­suaian tarif merupakan kebijakan ekstrem yang harus dilakukan, mengingat ketimpangan pengeluaran pembayaran klaim masyarakat lebih besar dibandingkan pemasukan dari iuran eks PT. Asuransi Kesehatan tersebut.

Secara logis, sah–sah saja pemerintah “terpaksa” me­na­ik­an iuran tersebut apabila alasan untuk menutupi defisit anggaran.

Hal ini mengingat kewajiban pemerintah yang sangat besar dalam memberikan pelayanan ke­se­hatan, juga harus diimbangi dengan dana yang besar.

Ditambah jumlah penduduk Indonesia dari sabang sampai merauke berjumlah lebih dari 200 juta penduduk.

Maka sudah sepan­tas­nya anggaran yang harus dikelola oleh BPJS sebagai garda terdepan memberikan layanan ja­minan sosial kesehatan, harus mencapai angka triliunan rupiah.

Perlu diketahui, banyak sa­ra­na dan prasarana yang dilibatkan dalam pelayanan jaminan sosial kesehatan tersebut.

Mulai da­ri penyediaan stok obat, alat–alat kesehatan, hingga pemanfaatan jasa tenaga kesehatan ter­sebut membutuhkan modal yang tidak sedikit.

Tidak heran jika masih mendengar kurangnya a­tau buruknya fasilitas kesehatan yang ada di beberapa daerah di Indonesia.

Hal tersebut di­ka­renakan jumlah anggaran yang disediakan masih belum memadai dalam mengatasi hal ter­se­but.

Belum lagi ditambah dengan adanya faktor nonteknis, salah satu contoh seperti korupsi di bidang kesehatan, tentu hal ini dapat menjadi faktor penghambat atas fasilitas kesehatan yang belum cukup baik tersebut.

Fenomena lambatnya pelayanan atau bahkan penolakan pa­sien BPJS ini dapat saja dika­rena­kan respon dari pihak rumah sakit beserta tenaga kesehatan atas tidak disiplinnya mayoritas pe­serta BPJS dalam membayar iuran.

Ketidakdisiplinan ini tentu saja memberi efek domino yang begitu masif baik dari pihak tenaga kesehatan maupun pasien itu sendiri.

Da­ri sisi kedua yaitu dari masyarakat, tidak berlebihan mayoritas masyarakat terutama bagi ka­langan menengah ke bawah apabila keberatan atas kenaikan iuran tersebut.

Sebagaimana di­sampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan iuran untuk kelas man­di­ri I, yang sebelumnya berjumlah 80 ribu rupiah per bulan menjadi 160 ribu rupiah per bu­lan.

Selanjutnya untuk kelas mandiri II, mulanya berjumlah 59 ribu rupiah per bulan melesat tajam menjadi 110 ribu rupiah dan terakhir untuk kelas mandiri III dari 25.500 rupiah per bu­lan.meningkat menjadi 42 ribu rupiah (www.cnnindonesia.com).

Di balik niat baik pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran BPJS Kesehatan, kebijakan un­tuk menaikan tarif BPJS sungguh tidak dalam situasi dan kondisi yang tepat.

Dikatakan tidak tepat dikarenakan, wacana kenaikan iuran tersebut didengungkan tidak lama setelah wacana pemerintah kenaikan tunjangan cuti bagi Direksi dan Dewan Pengawas BPJS.

Kedua ka­sus ini tentu dapat dikatakan sebuah paradoks di mata masyarakat, artinya di satu sisi pe­me­rintah berjuang ekstra keras dalam menangani defisit anggaran BPJS, sisi lainnya pe­merintah justru masih sempat memikirkan kesejahteraan para pejabat BPJS, yang urgensinya masih belum jelas.

Padahal, gaji yang didapat oleh direksi maupun dewan pengawas BPJS sa­at ini dapat dikatakan lebih dari cukup.

Maka hal ini sangat kontradiktif dengan kondisi lem­baga BPJS tersebut yang sedang merugi.

Fenomena ini akan mengiring persepsi publik yaitu bahwa keseriusan pemerintah dalam menyelamatkan BPJS Kesehatan dari defisit anggaran pa­tut untuk dikritisi.

Pastilah pertanyaan yang muncul ke publik, bagaimana mungkin di saat BPJS mengalami defisit anggaran, pemerintah masih sempat memikirkan wacana kenaikan tunjangan cuti bagi direksi dan dewan pengawas tersebut?.

Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan

Pada hakekatnya, perwujudan derajat kesehatan yang setinggi–tingginya bagi individu atau ma­­syarakat terlaksana apabila upaya kesehatan terselenggara secara optimal.

Optimalisasi u­pa­ya kesehatan ini dapat terlihat dari salah satu aspek yaitu standar pelayanan minimal kese­hat­an yang diberikan pemerintah harus terjamin (Soekidjo Notoatmodjo, 2018: 62).

Pe­me­rin­tah apabila pada akhirnya resmi menetapkan kenaikan iuran BPJS tersebut, maka mau tidak mau kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat seyogianya juga harus baik.

Sebagaimana a­dagium yang menyebutkan “harga menentukan kualitas barang/jasa”, maka iuran yang me­ning­kat tajam tersebut juga harus diiringi dengan kualitas pelayanan kesehatan yang me­ni­ng­kat tajam juga.

Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan ini dapat dilakukan apabila pe­man­fa­atan sumber daya di bidang kesehatan tersebut dikelola secara baik.

Adapun maksud dari sumber daya di bidang kesehatan disini sebagaimana Pasal 1 angka (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan segala bentuk dana, tenaga, per­be­kalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan tek­nologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Sudah sepatutnya pihak BPJS Kese­hat­an dapat me­mani­festasikan nilai dalam isi pasal tersebut terhadap masyarakat secara efektif.

Cerita mengenai lambatnya proses pelayanan bahkan ditolaknya pasien BPJS waijb untuk tidak terulang kembali.

Sungguh ironis, di saat iuran BPJS sudah dinaikkan menjadi dua kali lipat, akan tetapi cerita kelam mengenai buruknya pelayanan kesehatan masih terulang kem­bali.

Lebih memprihatinkan lagi ialah yang menjadi korban dari kurang optimalnya pe­la­yanan kesehatan ini adalah kalangan masyarakat miskin.

Dapat dibayangkan, di saat mereka ha­rus diterpa dengan cobaan himpitan ekonomi, mereka juga harus menanggung beban moral di saat mendapat pelayanan kesehatan yang dijamin negara secara diskriminatif.

Pemerintah ten­tunya dituntu untul melaksanakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang direa­lisa­sikan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, dan merata serta nondiskriminasi.

Di­per­lukan mekanisme penegakan hukum (law enfourcement) yang tegas, jika kasus diskriminatif ter­kait pelayanan kesehatan terhadap pasien ini terjadi kembali.

Hal tidak kalah penting, di saat pemerintah menaikan iuran BPJS kesehatan dengan nilai no­minal yang luar biasa besarnya.

Sudah sepantasnya, pemerintah juga mulai merevitalisasi sa­rana dan prasarana terkait di bidang kesehatan secara lebih baik lagi.

Cerita mengenai adanya alat kesehatan yang belum memadai, sudah selayaknya dapat diatasi dengan secara kom­pre­hensif.

Selanjutnya, profesionalitas atau kualitas tenaga kesehatan tetap menjadi salah satu pri­oritas yang tidak dapat dikesampingkan.

Tidak dapat dipungkiri, ujian kesabaran dan ke­tabahan bagi tenaga kesehatan terutama dalam melayani pasien peserta BPJS kesehatan be­nar–benar harus diuji.

Mengingat karakteristik para pasien yang beranekaragam, mulai dari yang biasa saja hingga mudah emosional atau tempremantal karena merasa kurang dilayani se­cara baik.

Fenomena tersebut seyogianya dapat dijadikan sebagai ajang pembuktian bahwa profesionalitas tenaga kesehatan di Indonesia tidak akan pudar dengan hal–hal tersebut.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved