Ibadah Haji, Memahami Dua Panggilan Allah yang Berbeda
Tamu-tamu Allah Kloter pertama Sumsel dan Babel sudah berangkat tanggal 17 Juli 2018 lalu dan disusul dengan kloter-kloter birikutnya.

Dai Bid Tadwin/Pengurus Masjid Al Qodr
Tamu-tamu Allah Kloter pertama dari Sumsel dan Babel sudah berangkat dari Bandara SMB II tanggal 17 Juli 2018 lalu dan disusul dengan kloter-kloter birikutnya dan terakhir kloter 19.
Jumlah yang berangkat satu kloter lebih dari tahun lalu yang hanya 18 Kloter.
Jemaah gelombang pertama ini akan mendarat di Bandara AMAA Madinah, sedangkan fase kedua atau Gelombang kedua yang dimulai tanggal 30 Juli hingga 15 Agustus 2018 akan mendarat di KAIA Jeddah.
Dari 200.000 lebih jemaah haji Indonesia akan melaksanakan ibadah haji, seperti tahun lalu juga sebanyak 7.035 dari Sumsel Babel.
Ini menandakan bahwa kuota haji untuk Indonesia sama dengan tahun-tahun sebelum dipotong 20% oleh Arab Saudi, sedangkan pendaftar jemaah untuk berhaji kian hari kian bertambah.

Banyaknya pendaftar jemaah haji terus mengalir dan jauh melampaui kuota ini merupakan suatu hal yang patut disyukuri.
Betapa tidak, karena ini merupakan suatu pertanda keberhasilan pembangunan lahiriyah sekaligus keberhasilan pembangunan ruhaniyah.
Namun sebaliknya hal itu juga menjadi tantangan baru yang sudah lama diupayakan --tidak lepas dari perhatian pemerintah kita.
Karena apabila peningkatan pendaftar setiap tahun terus bertambah sedangkan kuota tetap seperti biasa, maka daftar tunggu kian membuat barisan panjang menunggu keberangkatannya.
Sampai saat ini saja menurut pihak Kemenag, daftar tunggu sudah sampai tahun 2035.
Terbatasnya supply dan besarnya demand apabila tidak ditangani secara baik dan sungguh-sungguh kemungkinan besar akan menimbulkan ekses-ekses yang tidak kita harapkan.
Tatkala kita sedang menundukkan kepala bershalat Idul Adha, di saat itu pula para jamaaah haji Indonesia yang 200.000 lebih itu,
bersama jutaan jemaah lainnya dari belahan dunia ini sedang berada di Mina untuk melontar jumroh memperagakan kembali perangnya Nabi Allah Ibrahim AS dengan para Iblis ribuan tahun yang silam.
Sedangkan sebelum itu para jemaah haji telah menyempurnakan ibadah hajinya dengan wukuf di Padang Arafah.
Jutaan jemaah haji berkumpul disana dengan pakaian serba putih, sehingga tanpa dapat dibedakan si kaya dan simiskin, konglomerat atau melarat, pejabat atau tidak pejabat, semua sama.
Ternyata pelaksanaan wukuf di Arafah ini merupakan gladi resik sebagai i'tibar di Padang Yaumil Mahsyar nanti.
Wukuf adalah mengasingkan diri atau mengantarkan diri ke suatu tempat yaitu replikanya Padang Mahsyar.
Wukuf di Arafah ini merupakan tamzil atau gambaran bagaimana kelak manusia pada suatu hari dikumpulkan oleh Allah SWT di suatu tempat --Padang Mahsyar, setelah meninggal dunia.
Di sana mereka semua antrian menunggu giliran untuk dipanggil guna dihisab oleh Allah SWT.
Tidak dapat dibayangkan pula bagaimana luasnya Padang Mahsyar itu namun yang jelas semua insan Allah sejak dari Adam AS dan Hawa sampai manusia akhir zaman dikumpulkan disana.
Tidak seorangpun yang tertinggal akan dihisab Allah SWT.
Di Padang Mahsyar inilah akan diperhitungkan semua tingkah polah manusia semasa hidupnya di dunia.
Perbuatan baik dan buruk dicatat terpisah untuk menentukan siksa dan tempat mereka selanjutnya apakah di surga atau di neraka.
Semua manusia akan menerima siksa sesuai dengan dosa-dosa yang pernah diperbuat semasa hidupnya, dan menerima ampunan/pahala dari perbuatan baik atau amal semasa hidupnya (Al Quran).

Wukuf di Arafah merupakan peluang emas guna memohon ampunan dari Allah SWT, karena di tempat ini sangat maqbul dan mustajab untuk berdoa dan Allah akan mengabulkan semua permintaan hambanya.
Oleh sebab itu, wajar apabila para jemaah haji pada waktu wukuf harus memperbanyak ibadah, shalat, dzikir dan memanjatkan doa.
Para jemaah diharuskan memperbanyak perenungan introspeksi diri, menimbang atau menghisab sendiri berapa berat pahala dan berapa pula beratnya dosa yang telah dilakukan selama ini, kemudian barulah bertobat nasuha.
Bagi mereka yang akan melaksanakan wukuf antara lain tentunya ada hal-hal yang harus diperhatikan.
Seperti antara lain jangan membunuh binatang, jangan berkata jorok atau kotor serta berbuat tidak terpuji lainnya.
Selain itu, menurut catatan yang sudah pernah menunaikan haji, biasanya masalah air sering menjadi persoalan karena persediaan terbatas.
Oleh karena itu wajar apabila para jemaah haji harus dapat bersabar dengan menahan diri.
Dua Jenis perjalanan.
Menurut ajaran Islam, perjalanan di dunia ini dapat dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama, perjalanan atas kehendak sendiri.
Perjalanan seperti ini tidak banyak ketergantungan kepada orang lain. Kalau bekal tersedia seperti dana atau sarananya tersedia, maka setiap saat perjalanan dapat dilaksanakan ke mana saja.
Lain lagi dengan jenis perjalanan yang kedua yaitu atas panggilan Allah SWT seperti menunaikan ibadah haji dan meninggal dunia.
Dalam tulisan singkat ini, tidak akan menyinggung perjalanan atas kemauan sendiri, sebab sebagaimana disebutkan di atas, perjalanan atas kehendak sendiri itu dapat dilaksanakan kapan saja dan kema- na saja serta berapa lama sesuai keinginan yang akan dilaksanakan.
Begitu urgennnya yang perlu kita bicarakan di sini terutama seperti musim haji ini, adalah perjalanan jenis kedua yaitu per jalanan karena panggilan Allah SWT.
Masih menurut ajaran Islam, perjalanan yang tidak dapat dilaksanakan oleh manusia atau hamba Allah di atas dunia ini selain melalui panggilan-Nya, ada dua macam.
Panggilan pertama disebut Ruju'uththirort atau panggilan menghadap Allah secara paksa.
Panggilan perjalanan secara paksa ini adalah terhadap orang mati.
Apabila Allah SWT telah memanggil hambanya untuk menghadap-Nya a tau dengan kata lain lazim disebut meninggal dunia, maka bersedia atau tidak bersedia, siap atau belum siap, sudah ada bekal atau belum ada bekal, sedetikpun tidak dapat ditunda.
\Panggilan kedua disebut ruju'ikhtiyari atau panggilan yang di ikhtiarkan.
Panggilan yang di-ikhtiarkan ini adalah terhadap orang-orang yang berhaji.
Menunaikan ibadah haji merupakan panggilan Allah kepada setiap hamba-Nya yang mampu dan diwajibkan ha- nya sekali seumur hidupnya --melaksanakan ibadah di Baitullah.
Dari dua panggilan perjalanan yang dikehendaki Allah SWT tersebut di atas, kedua-duanya ada persamaan dan perbedaannya.
Panggilan perjalanan melalui kehendak Allah SWT, baik berhaji maupun meninggal dunia, sama-sama harus membawa keterangan diri atau identitas yang sah.
Apabila menunaikan haji keterangan atau iden- titasnya adalah berbentuk pasport, maka meninggal dunia berupa "dua kalimat syahadat".
Tidak dapat dibayangkan seandainya tidak memiliki pasport tapi tidak sah walaupun dengan keinginan disertai niat untuk menunaikan ibadah haji, tentunya akan mengalami kesulitan.
Apabila tidak memiliki pasport tetapi bersikeras menerobos masuk untuk turut berangkat dalam rombongan bisa jadi akan dikatakan orang gila bahkan tidak sah, bersalah dan melanggar ketentuan hukum.
Sama halnya dengan meninggal dunia. Keterangan dirinya yang sah untuk pemeluk ajaran Islam tentunya dua kalimah syahadat merupakan pasport yang sah, maka bila tidak dimiliki perjalananpun akan mengalami kesulitan.
Bukan saja mengalami kesulitan setelah menghadap Allah SWT, tetapi didalam perjalanan sebelum sampai ke tujuan itupun sudah mengalami siksaan yang pedih dan perih.
Lantas persamaan berhaji dan meninggal dunia berikutnya adalah sana-sama membawa kain putih.
Orang-orang yang menunaikan haji, memakai kain putih atau lazim disebut ikhrom tatkala melaksanakan ibadah haji dan umroh.
Dengan memakai ikhrom inilah semua hamba Allah SWT tidak ada perbedaan. Demikian juga halnya dengan orang yang meninggal dunia.

Kain putih yang dibawanya untuk membungkus mayatnya, tidak ada yang lain secara kasat mata yang dibawanya selain hanya kain putih pembungkus itu.
Persamaan yang lainnya adalah sama-sama harus membawa bekal.
Bekal orang yang menunaikan ibadah haji, disamping pangan juga harus memiliki pengetahuan tentang tata cara berhaji yang baik dan benar.
Oleh sebab itu peranan manasik sebelum berangkat haji sangat penting.
Sebab apabila tidak, dipastikan pelaksanaan hajinya kurang sempurna dan bahkan terancam tidak sah atau batal total alias sia-sia.
Orang meninggal dunia pun sama halnya karena harus memiliki bekal agar di akhirat tidak mengalami kesulitan dan siksaan.
Bekal dimaksud adalah amal sholeh dan amal ibadah lainnya selama di dunia.
Apabila amal ibadahnya, tingkah laku dan perbuatannya tidak menyimpang dari tuntunan Rasulullah dan melakukan perintah serta menjauhi segala larangan Asllah SWT dengan baik dan benar, maka bekal itulah yang akan membantunya kelak menuju Jannatun Na'im yang penuh dengan segala kenikmatan.
Masih merupakan persamaan antara berhaji dan meninggal dunia yaitu sama-sama akan dikumpulkan di suatu tempat. \
Apabila yang menunaikan haji dikumpulkan di Padang Arafah melaksanakan wukuf tanggal 9 dhulhijjah, maka yang meninggal dunia akan dikumpulkan di Padang Yaumil Mahsyar.
Sedangkan persamaan yang terakhir adalah sama-sama belum berpengalaman.
Siapakah yang sudah berpengalaman meninggal dunia, demikian juga pengalaman menunaikan ibadah haji, kecuali mereka-mereka yang sudah berhaji ulang, baik karena tugas yang diembannya seperti men- jadi pembimbing haji bagi jemaah maupun memang ingin menunaikan haji kembali karena merasa berhaji sebelumnya dianggap kurang sempurna.
Selanjutnya, apabila membicarakan perbedaan perjalana haji dengan perjalanan meninggal dunia yang keduanya merupakan panggilan Allah SWT, maka yang menunaikan ibadah haji diharapkan dapat kembali berkumpul dengan keluarga.
Setelah itu dapat pula memperbaiki ibadah-ibadahnya yang selama ini dianggap kurang baik dan sempurna dan meninggalkan yang dianggap melanggar dan meningkat kan ibadah menurut ketentuan Allah SWT.
Tetapi bagi yang meninggal dunia tidak akan pernah kembali lagi bersama keluarga dan tidak akan bisa lagi mengajukan penyesalan dan bertobat kepada Allah SWT terhadap perbuatannya yang kurang baik selama hidupnya.
Bertitik tolak dari persamaan dan perbedaan itu, maka diambil kesimpulan bahwa dalam melaksanakan dua perjalanan itu, kita sebagai umat Islam hendaklah mempersiapkan bekal jauh-jauh hari sebelum panggilan itu datang, baik perjalanan haji terlebih lagi panggilan meninggal dunia. Sebab, kalau tidak, maka kita pasti akan menyesal.
Dalam melaksanakan ibadah haji sangat diperlukan penghayatan penuh oleh semua jemaah haji.
Seperti pada waktu towaf, sa'i, wukuf, melontar jumroh dan mabit di Mina.
Yang perlu kita hayati dari perjalanan itu adalah mengenai kebesaran Allah SWT yang menciptakan manusia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Tetapi tatkala berhaji, semuanya menundukkan diri secara khusus dan tawadhu' secara bersama-sama.
Pendapat para kaum Muslimin yang telah berhaji, dalam melaksanakan ibadah haji inilah mereka dapat merasakan betapa indahnya ajaran Islam yang tidak membedakan skat sosial, etnik atau derajat tertentu.
Dengan pakaian yang sama mereka seolah sama dan menjadi tamu Allah pada waktu yang sama, kecuali mungkin nanti nilai taqwanya, sesuai dengan kekhusukan masing-masing jemaah.
Dan yang tidak kalah pentingnya dalam perjalanan haji, adalah dapat berkenalan dengan saudara-saudara kita seiman dari seluruh penjuru dunia.
Apalagi perkenalan itu dapat saling berkomunikasi dengan baik, maka setidaknya akan memperoleh pengaruh positif terutama dalam menciptakan kedamaian, kemakmuran bersama seka- ligus dapat meningkatkan kerjasama internasional (QS.Al Hujurat ayat 13).
Sebagaimana kita singgung tadi, menunaikan ibadah haji bagi kamum Muslimin dan muslimat wajib hukumnya bagi mereka yang mampu melaksanakan perjalanan hanya sekali seumur hidupnya. \
Bagi yang tidak mampu tentunya tidak perlu untuk memaksakan diri, namun demi- kian harus menggantungkan niat, karena dengan adanya niat insya Allah akan dikabulkan. Apabila berhaji dengan memaksakan diri bu- kan tidak mungkin akan membawa mudhorat dan bahkan hajinya tidak sah atau batal.
Menunaikan ibadah haji hanya diwajibkan satu kali seumur hidup, selebihnya adalah merupakan perjalanan sunnat.
Melaksanakan pe- kerjaan yang disunatkan seperti halnya berhaji ulang hanya akan memperoleh pahala di sisi Allah SWT.
Oleh sebab itu kalau hanya ingin memperoleh pahala tidak harus melaksanakan haji ulang.
Masih terlalu banyak jalan untuk memperoleh pahala, seperti membantu fakir miskin yang di negeri ini masih banyak bertebaran, membantu anak Yatim Piatu dan janda-janda miskin yang ditinggal para suaminya yang memang tidak mampu yang ada disekitar kita.
Disamping itu mesjid, Musholla dan Madrasah-Madrasah masih belum banyak tertata apik dan perlu uluran tangan.
Ibadah sunat itu bila dibandingkan dengan ibadah-ibadah sosial bagi kepentingan umum, akan lebih bermanfaat dan akan lebih mendapat nilai tinggi berupa ganjaran dari Allah SWT. (Hadits Shoheh).
Menjadi doa kita semua bahwa calon haji yang berangkat tahun ini, hajinya akan sempurna dan diterima sebagai ibadah oleh Allah SWT.