UKT Unsri

Implikasi dari Turbulensi UNSRI

Konflik vertikal antara organisasi-terkait kemahasiswaan Unsri dan pihak rektorat telah menjadi konsumsi publik secara luas.

Editor: Salman Rasyidin

Implikasi dari Turbulensi UNSRI
"'Lessons Learned'" untuk Tridharma Perguruan Tinggi

Ahmad Usmarwi Kaffah, SH., LLM., LL.M

Paralegal Lawyer di London, Ketua Departemen Pengabdian Masyarakat Masika ICMI Republik Indonesia

Konflik vertikal antara organisasi-terkait kemahasiswaan Unsri dan pihak rektorat telah menjadi konsumsi publik secara luas.

Tidak hanya dalam skala daerah, nasional bahkan internasional.

Buktinya saja saya mendadak dihubungi salah satu petinggi Universitas di Inggris tempat saya berada.

Pertanyaan pertama dari beliau adalah "What happened to your university at home?"

Tadinya saya mengira, UNMURA, universitas pimpinan ayahanda Prof. Fachrurrozie Syarkowi, karena kebetulan saat ini sedang berencana untuk sebuah kerjasama.

Dapat dimengerti sebagai orang yang selalu berkunjung ke Indonesia dan mengerti sedikit-banyak "Bahasa" beliau ingin tahu perkembangan sebelum memutuskan untuk menjalin kerjasama.

Namun, ternyata setelah melihat media sosial bahwa universitas yang di maksud adalah Unsri saya begitu terkejut.

Betapa tidak Unsri yang hampir tidak pernah tersentuh urusan yang namanya "kekerasan" dan "kriminalitas" berpuluh-puluh tahun tiba-tiba mendadak viral menjadi terkenal karena tragedi pada 3 Agustus kemarin.

Dari video jelas sekali pukulan yang dialamatkan pihak keamanan polisi mendarat di wajah mahasiswa.

Hari esoknya surat yang ditujukan ke Polres Ogan Ilir untuk melaporkan mahasiswa terkait atas kasus pengrusakan asset Negara.

Tidak kurang dari itu informasi tentang "aib" sang anak didik yang ber-IPK rendah dll., juga disebar luaskan.

Dari rentetan hal-hal tersebut ada dua hal yang harus kita jadikan pelajaran berharga untuk menutup keran terulangnya kejadian memalukan ini.

Mahasiswa Universitas Sriwijaya (Unsri) menggelar aksi damai di halaman kampus Unsri Inderalaya, Kamis (3/8/2017).
Mahasiswa Universitas Sriwijaya (Unsri) menggelar aksi damai di halaman kampus Unsri Inderalaya, Kamis (3/8/2017). (SRIPOKU.COM/BERI SUPRIYADI)

Pertama, dari sudut fakta, bahwa mahasiswa aktivis selalu identik dengan nilai rendah dan kurangnya sopan santun dalam berdiplomasi dan bernegoisasi atas nama aspirasi dari mahasiswa secara keseluruhan.

Sebenarnya, ini adalah masalah antik dan klasik yang sesungguhnya, tidak banyak disadari, menjadi akar masalah bangsa ini.

Masalah bangsa yang terlampau banyak memiliki abdi-negara bermental "preman" ternyata telah diproduksi, secara tidak langsung, dari Universitas secara umum.

Rata-rata mereka yang aktivis akan duduk menjadi orang yang berpengaruh di daerah bahkan Negara.

Tidak ada yang salah memang namun persoalannya bagaimana Negara akan cepat maju jika dikontrol oleh insan yang bukan berkualitas terbaik dan bermental kasar.

Dan ini sebenarnya menjadi dosa dari Universitas yang tidak mengunci keran mereka yang "liar" untuk menjadi penyambung lidah teman-temannya melalui organisasi kemahasiswaan.

Jika memang benar apa yang disampaikan pihak universitas maka hal ini menjadi tugas dari rektorat urusan kemahasiswaan untuk mulai menata peraturan dasar organisasi kemahasiswaan.

Sebagai contoh Negara-negara maju, organisasi eksekutif mahasiwanya pasti dipimpin mahasiswa yang paling unggul secara akademis di universitasnya.

Sehingga ide-ide pergerakan mahasiswa yang dikoordinir begitu sopan, terstruktur dan halus menyentuh dasar tridharma perguruan tinggi.

Universitas di Inggris dan Timur Tengah misalnya Badan Eksekutif Mahasiswanya selalu membuat rencana kolaborasi penelitian amal lintas-fakultas untuk memecahkan persoalan daerah tempat mereka berada.

Dengan kolaborasi maka persoalan klasik akan dapat ditanggulangi berdasarkan pengalaman Negara lain di tempat rekan kolaborasinya berada.

Ini merupakan salah satu bentuk tridharma perguruan tinggi yaitu penelitian, bukanlah demonstrasi yang membuang-buang waktu berharga ketimbang membaca di perpustakaan.

Tentu Universitas tidak bisa mendapatkan kumpulan mahasiswa yang unggul di dalam organisasi kemahasiswaan jika tidak ada aturan, misalkan, limitasi IPK sementara bagi yang ingin menjadi Presma,  Gubernur mahasiswa dsb. Ini penting karena biasanya mereka yang unggul secara akhlak dan intelektual akan cendrung tidak ambisius untuk mengajukan diri merebut kekuasaan.

Ini juga yang menjadi prinsip Rasulullah Muhammad SAW bahwa jangan merebut jabatan.

Cerminan apa yang terjadi di Universitas ini akan menjadi praktek saat mereka berada di dunia kerja.

Jadi jangan heran jika di suatu Negara dalam pemilu legislatif dan eksekutif sedikit sekali yang berkualitas dan berakhlak yang terpilih atau bahkan mengajukan diri.

Sebab, mereka tidak semilitan mereka yang terbiasa turun kejalan dan tidak secerdik mereka yang terbiasa bersiasat serta berani secara kasat mata.

Dan rata-rata yang memiliki hal-hal tersebut adalah mereka yang aktif di organisasi kemahasiswaan
dan sayangnya kurang memperhatikan substansi akademis di kelas.

Kedua, persoalan Unsri kemarin diwarnai dengan proses laporan tindakan kriminal kepada para mahasiswa yang melakukan pengrusakan.

Sungguh ironi melihat secarik kertas yang menunjukan universitas "terpaksa" untuk melaporkan anak didik sendiri ke pihak berwajib.

Namun demikian, dapat dimengerti bahwa zaman saat ini, di negeri tercinta, kalau tidak melaporkan duluan maka akan dilaporkan.

Stigma publik biasanya akan langsung menjudge terlapor sebagai yang bersalah.

Namun lebih salah lagi, menurut sebagian orang, adalah pemukulan yang dilakukan pihak berwajib.

Mengapa?

Bisa dibayangkan, artinya rektorat sebagai orangtua yang memanggil pihak kepolisian tega melihat anak-anaknya dipukuli orang lain.

Disisi lain kita tidak menyalahkan pihak kepolisian karena mereka hanya menjalankan tugas dan mungkin pihak demonstran yang sudah tidak tertib lagi bahkan membandel berujung anarkis.

Sebenarnya kejadian diatas merupakan hal yang tidak perlu terjadi dan bisa diantisipasi.

Pihak universitas, untuk urusan krusial seperti ini, mungkin telah mengundang pihak perwakilan mahasiswa untuk audiensi memecahkan masalah.

Namun mungkin yang absen saat pertemuan tersebut adalah ‘trust’. Untuk menciptakan trust tersebut ada dua hal.

Pertama, pimpinan tertinggi suatu institusi hendaknya yang langsung turun tangan berbicara dengan hati namun tetap dengan wibawa.

Tengok saja Gubernur Alex (di youtube) mampu meredam emosi pendemo yang notabenenya orang-orang "keras" ketika demonstrasi besar-besaran angkutan batubara di DPRD Sumsel.

Sensenya berbeda jika sang-pembuat kebijakan langsung yang berbicara karena biasanya argument yang keluar itu mengalir, masuk akal, tegas dan berani mengambil keputusan di saat itulah.

Di satu sisi, pertemuan dengan aktivis bermental keras, seperti mahasiswa yang sedang emosi, itu harus direkam dan disebarluaskan di website Universitas untuk tujuan dokumentasi kesepakatan.

Karena jika memang pihak universitas dalam posisi benar publikasi yang ada akan menjadi mekanisme kontrol dari potensi "ketidakpatuhan" pihak demonstran di masa depan.

Jadi tidak perlu mempertontonkan "surat laporan" yang secara tidak langsung menjadi wahana "pengajaran" untuk konsumsi mahasiswa.

Mahasiswa akan terdidik untuk dikit-dikit melapor pula kedepannya sehingga habislah waktu Negara ini untuk hal yang tidak produktif.

Pengajaran memang salah satu dari ruh tridharma perguruan tinggi namun tidak mempertontonkan "ajaran" seperti ini.

Sehingga masuk akal saya saat pimpinan perguruan tinggi di Inggris tersebut berkata kepada saya "Do you think it is plausible of bringing a lawsuit against our own-students"? let’s think about it Kaffah" ujarnya.
Namun demikian, saya sangat yakin para pimpinan UNSRI saat ini bekerja sangat keras dan tulus untuk mahasiswanya.

Hanya saya "misscommunication" yang mewarnai jalannya konflik yang terjadi ini.

Miskomunikasi ini sangat berbahaya apalagi dialam demokrasi yang belum matang dan sedang terus berkembang seperti di tanah air.

Sehingga pengayom meski menjadi gerbang pembuka komunikasi yang konstruktif untuk sebuat mufakat yang berkeadilan.

Kalimat bahwa "mahasiswa yang tidak mampu membayar hendaknya minta ke Rektor" seharusnya keluar sebelum pecahnya turbulensi di kampus indralaya sebagai peredam.

Tapi kita sadar memang mengurus universitas sebesar UNSRI tidak bisa Rektor sendirian semua elemen harus bersatu membantu.

Itulah mengapa penting bagi para dosen yang langsung bersentuhan dengan mahasiswa di kelas untuk selalu memberi motivasi positif bukan keluhan negatif tanpa solusi yang konstruktif atau bahkan caci maki tentang kondisi bangsa.

Bonus demografi Indonesia sebagaian besar termasuk mereka yang seusia para demonstran kemarin.

Sehingga sayang sekali jika mereka hanya menghabiskan waktu turun kejalan melupakan perpustakaan.

Bidang kemahasiswaan meski menjadi kunci perubahan UNSRI.

Karena sebagai seorang alumni, sama seperti mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi, hati saya juga selalu menggelorakan "Jayalah UNSRI-ku, Jayalah Sumsel-ku dan Jayalah Indonesia-ku".

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved