Mimbar Jumat
Koruptor Jadi Imam Shalat Berjemaah Tidak Memenuhi Syarat
Yang menjadi dalil disyari'atkannya shalat berjama'ah adalah Alquran, Sunnah Rasul dan Ijmak Ulama.
Mimbar Jumat
Koruptor Jadi Imam Shalat Berjemaah
Tidak Memenuhi Syarat
Drs. H. Syarifuddin Ya'cub MHI
Dosen Universitas Islam Negeri Palembang
Berkaitan hukum shalat berjama'ah terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ulama Fiqh; Mereka sepakat mengenai hukum berjama'ah dalam shalat Jum'at adalah fardhu ain, tetapi alat-shalat fardhu yang lima waktu; sebagian ulama menyatakan Sunnat mu'akkadah begitu menurut Imam Rafi'i.
Sedangkan menurut Imam Nawawi fardhu kifayah, Ibnu Mundzir dan Ibnu Khuzaimah berpendapat fardhu ain.

Ilustrasi
Sejumlah jemaah melakukan salat istighosah bersama di Kodam II Sriwijaya Palembang, Kamis (17/11/2016). (SRIPOKU.COM/ODI ARIA SAPUTRA)
Yang menjadi dalil disyari'atkannya shalat berjama'ah adalah Alquran, Sunnah Rasul dan Ijmak Ulama. Surah An-Nisa ayat 102 menyatakan: "Jika engka berada di lingkungan kaum muslimin, kemudian engkau mendirikan shalat, hendaklah sebagian kaum muslimin mendirikan shalat besamamu" (An-Nisa'':102)
Alasan Ulama yang berpendapat bahwa shalat berjama'ah adalah sunnat, mengacu pada sabda Rasulullah SAW: "Shalat berjama'ah itu adalah lebih utama dari shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat." (HR.Bukhari, Muslim dan Ibnu Umar).
Hadits d atas dijadikan alasan Mazhab Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa hukum shalat berjama'ah adalah sunnat mu'akkadah bagi laki--laki yang berakal, kuasa dan tidak ada kesulitan untuk menghadiri jama'ah tersebut.
Mazhab Syafi'iyah berpendapat bahwa shalat berjama'ah hukumnya Fardhu kifayah bagi laki-laki yang mukimin, untuk syi'ar agama di dalam melaksanakan shalat-shalat fardhu.(Wahbah Zuhaili, Vol.II.hlm.1168).
Alasan syafi'iyah adalah Hadits Nabi Muhammad Saw.: "Tiap-tiap tiga orang dalam suatu desa atau pelosok desa yang tidak didirikan shalat jama'ah di dalamnya, mereka itu pasti dikuasai syaithan, oleh karena itu berjama'ahlah kamu sekalian, sebab srigala itu akan memangsa kambing yang jauh dari kawan-kawannya." (HR.Abu Daud dan An-Nasaa'I, di shahihkan Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Mazhab Hambali berpendapat bahwa hukum shalat berjama'ah adalah fardhu 'ain, yang menjadi alasannya adalah surah An-Nisaa ayat 102 di atas dan dikuatkan pula dengan surah Al-Baqarah ayat 4: "Dan rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk."
Alasan lain adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa: "Shalat yang berat (berjama'ah) bagi orang munafik adalah shalat Isya' dan Sholat Fajar" dan dari Abu Hurairah ra.
Rasulullah SAW bersabda: "Demi jiwaku yang berada pada kekuasaanNYa, Aku bermaksud untuk memerintahkan shalat supaya di-iqamahkan, lalu aku memerintahkan seseorang untuk mengimami para muslimin, kemudian aku bersama beberapa orang yang membawa longgokan kayu bakar akan membakar rumah-rumah mereka dengan api, apabila aku temui mereka
yang tidak ikut sholat berjama'ah,." (HR.Bukhari dan Muslim).
Demikian alasan Mazhab Hambali yang berpendapat bahwa shalat berjama'ah itu Fardhu 'ain, namun bagi Ulama yang tidak berpendapat fardhu 'ain karena Rasulullah SAW tidak membakar rumah-rumah mereka yang tidak shalat berjama'ah tersebut, akan tetapi sabda Rasulullah SAW tersebut ditujukan bagi oang-orang munafik.
Shalat berjama'ah dimaksud dapat pula dicapai dengan berjama'ah di rumah bersama isteri atau orang lain, tetapi lebih utama melakukannya di Masjid. (Imam Taqiyuddin, op. cit.,hlm.294).
Keutamaan shalat berjama'ah di masjid juga untuk memupuk sikap kebersamaan, saling menumbuhkan rasa kasih sayang antar sesama komunitas jama'ah dan untuk menghindari kemurkaan Allah SWT sebagaimana Hadits qudsi yang disampaikan rasulullah SAW: Artinya: "Sesungguhnya Allah SWT. berfirman, sesungguhnya Aku benar-benar akan menimpakan azabKu kepada penduduk bumi, tetapi apabila Aku memandang kepada orang-orang yang meramaikan rumahKu (masjid) dan orang-orang yang saling menyayangi demi karena Aku, serta orang-orang yang mohon ampun di waktu sahur (shalat Tahajjud), maka Aku kesampingkan azabKu dari mereka". (HR.Al-Bayhaqy).
Adapun fadhilah atau keutamaan shalat berjamaah adalah 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW riwayat dari Ibnu Umar, Abu Hurairah ra. dari Abu Sa'id al-Khudri, Ahmad dari Ibnu Masud: Artinya: "Shalat berjamaah itu lebih utama dua puluh tujuh derajat (kedudukan di sisi Allah) daripada shalat sendiri. Sedangkan dalam riwayat lain, Dua puluh lima derajat." (HR.Bukhari)
Di dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu masud ra. dinyatakan; "Siapa yang ingin bertemu dengan Allah, besok dalam keadaan Muslim, maka hendaklah ia menjaga sholat-sholat. Karena dia akan dipanggil dengan shalat-shalatnya itu. Allah telah mewajibkan kepada Nabi SAW kalian sunnah-sunnah pada Nabi. Di antara sunnah-sunnah itu adalah shalat berjamaah. Jika kalian melakukan shalat di rumah kalian saja, seperti yang dilakukan oleh orang bodoh di rumahnya, niscaya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi SAW kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian niscaya kalian akan sesat. Setiap orang yang bersuci dengan benar di rumahnya, lalu sengaja pergi ke masjid, maka Allah akan mencatat setiap langkahnya itu sebagai kebaikan, diangkat satu derajat untuknya, dan dihapus satu kejelekan darinya. Kami telah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa orang yang meninggalkan sholat berjamaah hanyalah orang munafik yang terkenal kemunafikannya."
Begitu tinggi keutamaan shalat berjamaah di masjid, disamping kelebihan nilainya 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian, juga setiap langkah menuju masjid dihitung kebaikan, menghapuskan kejelekan dan terhindar dari kemunafikan. Orang yang sering berjalan ke masjid pada saat gelap, nanti pada hari kiamat dia akan memperoleh cahaya yang terang benderang.
Memang sholat berjamah yang berat dirasakan oleh orang munafik adalah sholat isyak dan subuh. Padahal keutamaanya seperti dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh semua imam hadits kecuali Bukhari dan at-Tirmidzi: Artinya: "Siapa yang melaksanakan shalat Isya dengan berjamaah, maka dia sama saja telah mendirikan (shalat) setengah malam. Sedangkan siapa yang melaksanakan shalat Subuh dengan berjamaah juga, maka (dengan keduanya) sama saja dia telah mendirikan (shalat) seluruh malam." (HR. Semua imam hadits, kecuali Bukhari dan at-Tirmidzi).
Shalat berjamaah di masjid ini diutamakan bagi laki-laki, adapun kaum wanita menurut mazhab Syafi'i di dalam kitab Mughnil Muhtaaj, Vol.1, hlm.220; dibolehkan atas izin suami dan tidak memakai parfum, meskipun rumah tetap lebih baik bagi mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW: Artinya: "Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk keluar ke masjid, meskipun rumah mereka lebih baik untuk mereka."
Dalam teks lain berbunyi: "Jika para istri kalian meminta izin untuk keluar ke masjid di malam hari, maka berilah mereka izin." (HR.Semua imam hadits kecuali Ibnu Majah)
Ada pula hadits dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW bersabda: Artinya: "Janganlah kalian melarang para wanita Allah ke masjid Allah, dan hendaknya mereka keluar tanpa memakai parfum." (HR.Ahmad dan Abu Dawud)
Syarat-syarat Imam
Kepemimpinan seorang imam itu sah dengan syarat-syarat sebagai berikut;
a.Islam, tidak sah jika imam itu orang kafir, Imam Syafi'i berpendapat; jika diketahui setelah selesai shalat bahwa seorang imam itu kafir atau dari jenis perempuan maka wajib untuk mengulangi shalat. (Mughni al-Muhtaaj, vol.1.hlm.241).
b.Berakal, tidak sah shalat yang dilakukan di belakang imam yang gila, karena shalat orang gila itu sendiri tidak sah. Jika keadaan gilanya itu kadang-kadang, maka ketika tidak gila sah kepemimpinan shalatnya. Namun tetap saja makruh.
c. Baligh, tidak boleh seorang anak kecil yang masih mumayyiz untuk mengimami orang baligh (dewasa), menurut mayoritas ulama; baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah menurut Hanafi, sedangkan menurut Malik dan Hambali dalam shalat fardhu saja.
Adapun dalam shalat sunnah, seperti shalat gerhana dan tarawih maka sah keimamannya, karena sunnah mengimami sunnah.
Syafi'i berpendapat, "Orang dewasa boleh mengikuti anak kecil yang mumayyiz, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Salamah ra., 'Aku pernah menjadi imam pada zaman Rasulullah SAW., sedang saat itu aku masih berumur tujuh tahun'" (HR.Bukhari dalam shahihnya, dari Jabir ra. Diriwayatkan juga oleh Bukhari dan Nasaa'i seperti hadits ini dari 'Amr bin Salamah- Nailul Authaar, Vol.III.hlm. 165).
d.Laki-laki, apabila wanita menjadi imam shalat sedang makmumnya laki-laki, maka tidak sah, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah. Jika makmumnya perempuan tidak disyaratkan imamnya harus laki-laki, menurut mayoritas ulama. Sah saja kepemimpinan seorang wanita jika makmumnya seluruh perempuan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha, bahwa seorang wanita pernah mengimami kaum wanita.
Ad Daruquthni juga meriwayatkan dari Ummi Waraqah, bahwa Nabi SAW. telah mengizinkannya untuk mengimami para wanita dirumahnya.
Menurut Syafi'i, tidak dimakruhkan shalat berjamaah khusus untuk kaum wanita, bahkan disunnahkan dan berada ditengah-tengah mereka.( Al-Majmuu', Vol.4 hlm.564)
e. Suci dari hadats kecil dan besar. Menurut mayoritas ulama, tidak sah shalatnya imam yang berhadas dan yang memiliki najis, karena dapat membatalkan shalat ; baik ia mengetahui atau lupa akan adanya najis tersebut.
Kecuali imamnya lupa menurut kesepakatan ulama shalat makmum sah dan mendapat pahala berjama'ah apabila imam mengetahui adanya najis atau berhadats setelah shalat selesai.
Menurut Syafi'i dan Hambali kecuali shalat Jum'at apabila imam berhadats memimpin shalat yang jama'ahnya berjumlah empat puluh orang termasuk imam, maka tidak sah sholatnya walupun diketahui berhadats setelah selesai shalat.
f. Memiliki kemampuan bacaan yang bagus dan mengetahui rukun-rukun shalat. Imam hendaklah seorang yang pandai membaca Al-Quran dan mampu menerapkan rukun-rukun shalat. Tidak sah shalat di belakang orang yang tidak mampu melaksanakan rukun secara sempurna baik rukun qauli seperti al-Faatihah maupun rukun fi'li seperti ruku'. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: "Hendaknya orang yang mengimami orang-orang adalah orang-orang yang paling bagus bacaan Al-Qur'annya. Jika mereka semuanya sama bagus dalam membaca maka pilihlah orang yang paling mengetahui tentang sunnah. Jika (dalam hal ini mereka) sama-sama mengetahui, maka (diutamakan) yang lebih dulu hijrahnya. Jika mereka (dalam hal ini) bersama-sama, maka (diutamakan) yang lebih dulu memasuki Islam. Dan seseorang tidak dibenarkan menjadi imam di wilayah kekuasaan lain, dan tidak boleh duduk di rumahnya untuk menjadi tanggungannya, kecuali melalui izinnya." (HR.Semua imam hadits kecuali Bukhari).
Sebaiknya orang yang paling wara', yaitu orang yang paling banyak menghindari hal syubhat dan bertakwa, yaitu menghindari hal-hal yang diharamkan.
Hindari dan tidak usah diberi kesempatan menjadi imam shalat orang yang fasik; pesina, pemabuk, tukang fitnah, koruptor karena mereka itu termasuk imam yang dibenci oleh jama'ah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang artinya: "Jika kalian ingin shalat kalian diterima, maka mintalah para ulama kalian menjadi imam. Karena mereka itu adalah (bisa menjadi) perantara antara kalian dan Tuhan kalian." (HR.At Thabrany dan Al-Hakim).
g. Pada saat imam memimpin shalat, ia tidak sedang menjadi makmum. Adapun kasus mengikuti orang yang telah mengikuti imam, yaitu orang menjadi makmum masbuq (menyusul) setelah imamnya salam dan makmum masbuq sedang menyelesaikan shalatnya sendirian, maka menjadi makmumnya, menurut Imam Syafi'i dan Hambali sah shalat berjamaahnya.
h. Hendaknya seorang imam itu tidak gagap dan mampu mengucapkan huruf dengan benar. Tidak sah shalatnya imam yang gagap yaitu mengganti bacaan huruf ra' menjadi ghin, sin menjadi dzal, kecuali makmumnya sama-sama gagap.