Bahaya Jempol dalam Medsos, 'Jempolmu Buayamu'
Bila kata pribahasa "mulutmu adalah harimaumu", mungkin tidak salah jika disebut "jempolmu adalah buayamu". Mengapa buaya?
Penulis: Salman Rasyidin | Editor: Salman Rasyidin
"Jempolmu Buayamu"
Oleh : H. John Supriyanto, MA
Penulis adalah Dosen Ilmu Al Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur'an Palembang Yayasan Al-Lathifiyyah
Hati hati dengan jempolmu, sebab bisa jadi ia lebih bahaya dari mulutmu.
Bila kata pribahasa "mulutmu adalah harimaumu", mungkin tidak salah jika disebut "jempolmu adalah buayamu". Mengapa buaya?

Sebab buaya tak memiliki lidah dan memangsa tanpa suara.
Buaya sangat berbahaya justru karena diamnya.
Tapi sekali menyergap, jarang ada yang bisa bebas dari keganasannya.
Latah dengan jempol, berarti meremehkan keganasan buaya.
Lalai sedikit saja, ia justru akan balik menyerang sang empunya.
Di tengah kemajuan teknologi komunikasi saat ini, pengaruh jempol menjadi sangat luar biasa.
Ia bukan hanya sekedar media untuk menuangkan kata hati atau buah pikiran seseorang, tapi juga menjadi simbol like dan dislike.
Acungkan jempol ke arah atas, itu sudah cukup mewakili keberpihakan Anda pada sebuah opini, aksi atau apapun yang ada di hadapan anda.
Sebaliknya, acungkan jempol dengan mengarah ke bawah, maka orang akan tau bahwa Anda tidak menyukai atau bahkan menentangnya.
Fungsi jempol ternyata memang tidak sesederhana bentuknya.
Sebab, apa yang dibuatnya bisa menimbulkan pengaruh yang sangat luas, baik fakta maupun hoax, positif ataupun negatif.