Mimbar Jumat
Carut-Marut Umat Nabi, Jejak Pengakuan dalam Amanah Penyelenggaraan Haji
Menunda pelaksanaan haji bisa berakibat fatal sebab ajal dan takdir manusia adalah misteri yang sulit diprediksi apalagi dinegosiasi.
SETIAP muslim akan bangga menyebut dirinya sebagai ummat Nabi Muhammad SAW. Kalimat yang mengandung identitas kehormatan, doa sekaligus pengharapan untuk mendapat pengakuan balik dari manusia terbaik sepanjang zaman.
Ketika seorang muslim mengucapkan pengakuan, sejatinya ia sedang berdiri di depan cermin. Bayangan yang tampak semestinya sesuai dengan wujud asli. Apa jadinya bila bayangan tidak serupa apalagi berbeda 360 derajat.
Lisan menyebut umat Nabi, tetapi langkah terikat pada nafsu duniawi. Mengaku bahwa Rasulullah sebagai teladan, tetapi arah hidup justru menjauh dari sang panutan. Padahal Rasul telah menegaskan bagi siapa yang menipu kami, maka ia bukan dari golongan kami (HR. Muslim,101).
Pesan yang memberi peringatan bahwa pengakuan sebagai umat tidak cukup hanya sebatas lisan. Pengakuan menuntut keselarasan dalam sikap. Jika tidak, maka pengakuan hanya sebatas tipuan, yang justru menjauhkannya dari barisan.
Fenomena yang terjadi bukan hanya dalam kehidupan pribadi, melainkan juga dalam urusan besar yang melibatkan banyak pihak, salah satunya pada penyelenggaraan haji.
Ibadah yang seharusnya merupakan bagian dari pilar Islam, simbol perjumpaan sejarah dan kesinambungan risalah para nabi, serta momentum penyatuan umat yang datang dari seluruh penjuru bumi.
Carut-marut penyelenggaraan ibadah haji tidak hanya terjadi pada satu aspek. Mulai dari antrean panjang yang melampaui batas usia harapan hidup, biaya pelaksanaan yang terus meningkat, pelayanan administrasi yang panjang dan berliku, hingga layanan teknis di lapangan yang masih menyisakan banyak keluhan.
Padahal Rasulullah SAW telah berpesan untuk menyegerakan pelaksanaan haji, karena tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan menimpanya kelak (HR. Ahmad,1836). Menunda pelaksanaan haji bisa berakibat fatal sebab ajal dan takdir manusia adalah misteri yang sulit diprediksi apalagi dinegosiasi.
Di berbagai daerah, tidak sedikit calon jamaah haji wafat sebelum berangkat. Padahal telah puluhan tahun bersikap sabar untuk menabung dan tidak kenal menyerah dalam penantian. Tidak seorang pun yang ingin buku tabungan hajinya hanya akan menjadi kenangan pahit bagi keluarga yang ditinggalkan.
Menarik untuk direnungkan, meskipun Rasulullah SAW tinggal begitu dekat dengan Ka’bah, beliau hanya berhaji sekali seumur hidup yaitu pada Haji Wada’ (HR. Abu Dawud, no. 1987).
Hal ini bukan terjadi secara kebetulan, ragam hikmah tentu saja dapat diambil. Beberapa hikmah bagi para calon jemaah haji adalah pertama Rasul ingin mengajarkan bahwa esensi haji bukan pada kuantitas keberangkatan, tetapi kualitas penghayatan. Sekali haji dengan penuh kesungguhan lebih bermakna daripada berkali-kali dengan niat yang kabur. Kedua, Rasulullah mengajarkan untuk memiliki empati sosial. Berhaji cukup sekali, selanjutnya memberi kesempatan bagi orang lain untuk dapat juga menunaikan rukun Islam kelima.
Dikisahkan dalam sebuah riwayat Rasul mengutus Abu Bakar untuk memimpin haji, di tahun 9 H, sementara Rasul tetap berada di Madinah untuk melaksanakan urusan strategis ummat saat itu (H.R. al-Bukhariy, 369). Kemudian pada tahun berikutnya yaitu 10 H Rasul melaksanakan ibadah haji (H.R. al-Bukhariy, 1622).
Ketiga, Rasulullah menekankan agar haji bisa melahirkan perubahan moral. Dalam khutbah Haji Wada’, Rasul menegaskan untuk tidak menzalimi orang lain, tidak melakukan penindasan apalagi memakan harta secara batil (HR. Muslim, 2589).
Keteladanan pelaksanaan haji Rasulullah yang diikuti oleh para sahabat terfokus pada pemantauan para jemaah, memastikan keamanan, dan tetap sederhana (HR. al-Bukhari, no. 1748). Tidak begitu penting tenda mewah, fasilitas lengkap dan pengawalan ketat. Cukup tidur di tanah, bernaung di bawah langit terbuka yang penting tidak ada keluhan. Karena tujuan yang ingin dicapai bukan kenyamanan dunia, melainkan keridhaan Allah SWT (HR. al-Bukhariy, 1706).
Ibadah haji adalah perjalanan pulang, bukan sekadar perjalanan jauh. Momen kembalinya seorang hamba pada kesucian asalnya, sebuah pertemuan agung antara kerendahan hati dan kebesaran Ilahi. Karena itu, ia bukan semata urusan logistik, tiket, tenda, dan katering. Ia adalah amanah besar, yang di baliknya bergetar doa jutaan hati. Maka, mengelola haji tidak boleh disamakan dengan mengatur sebuah proyek rutin, apalagi pasar raksasa yang penuh hitungan untung-rugi.
Setiap rupiah dalam tabungan haji adalah air mata, peluh, dan doa. Di balik nama yang tertera dalam daftar tunggu, ada ragam kisah panjang manusia yang menggugah naluri keimanan. Jika amanah ini tergelincir, bukan hanya angka yang rusak,tapi juga harapan yang hancur dan kesempatan beribadah yang diabaikan. Tidak hanya isyarat pesan Nabi yang disampaikan secara khusus dalam pelaksanaan ibadah haji. Bahkan al-Qur’an pun telah mengingatkan untuk tidak memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang batil (Q.S. al-Baqarah,188).
Ayat dan hadis menjadi peringatan keras agar pengelolaan dana umat, termasuk dana haji, dijauhkan dari perkara bathil. Sebab, di balik harta itu ada kehidupan yang menggantungkan diri pada panggilan suci.
Keteladanan Nabi dan sahabat dalam penyelenggaraan haji akan menjadi solusi juga bagi para penyelenggara. Solusi pertama yang paling mendasar adalah kesadaran moral dan spiritual dari semua pihak yang terlibat. Haji harus dikelola dengan jiwa ibadah, bukan hanya persoalan administrasi. Sebab Rasulullah pernah bersabda bahwa sesungguhnya amal itu bergantung pada niat (H.R. al-Bukhariy,1). Bila niat tulus maka setiap langkah pengelolaan akan menjadi amal. Kesadaran harus dimulai dari semua lini. Dari pengambil kebijakan yang menentukan biaya dan kuota hingga petugas katering yang menyiapkan makanan bagi jemaah.
Semua merupakan rantai amanah. Pesan keteladanan dari Rasul dan sahabat pada hadis penyelenggaraan haji sudah sangat jelas. Dana haji yang disetorkan oleh jamaah bukan hanya nominal biasa, melainkan sebuah amanah besar dalam ibadah yang menghubungkan ketaatan diri seorang hamba kepada Khalik-nya.
Ada keringat yang mngucur deras dari sawah yang digarap di bawah terik matahari, ada hasil berjualan di pasar yang dikelola sejak sebelum terbit matahari, ada pula tangan kasar dari para kuli bangunan yang mengais pasir di sepanjang aliran sungai, juga sedikit pesangon hari tua yang diterima dan dititipkan lansia.
Pesangon yang menandakan bahwa ia telah berada pada usia senja dan masa kehidupan yang renta. Karena itu, penyelenggaraan haji menuntut kesadaran penuh. Di balik setiap kursi pesawat, setiap tenda di Mina, ada doa yang dipanjatkan siang malam dan harapan yang dititipkan seumur hidup.
Solusi kedua adalah evaluasi yang nyata dan berkelanjutan. Evaluasi penyelenggaraan haji tidak boleh berhenti pada laporan administratif saja, tetapi harus menghasilkan tindakan nyata dan solutif. Saudi Gazette (2019) mencatat tentang adanya kepadatan di Mina. Jamaah terpaksa tidur berhimpitan, hingga keluar ke jalanan. Arab News (2023) juga melaporkan hal serupa.
Memberi info bahwa problematika penyelenggaraan haji terjadi dalam lingkup internasional. Kementerian Agama RI dalam evaluasi haji 2023 pun menyoroti keluhan terkait katering yang terlambat datang. Lebih memilukan lagi adalah laporan media online (2023) yang mengabarkan tentang lansia tersesat dan baru ditemukan setelah puncak haji berakhir. Ia berada dalam kondisi sangat lemah dan tak tahu jalan kembali berhari-hari.
Solusi ketiga adalah mengembalikan ruh kesederhanaan penyelenggaraan ibadah haji. Rasulullah teladan terbaik, malaksanakan haji hanya sekali seumur hidup, dengan penuh kesederhanaan menjalankan ibadah.
Para sahabat meneladani Nabi, berjalan kaki, tidur di tanah, tanpa keluhan. Bagi mereka tujuan bukanlah kenyamanan dunia, melainkan keridhaan Allah SWT. Pelayanan modern bukan tidak diperbolehkan. Fasilitas nyaman sah saja disediakan. Akan tetapi jangan sampai kesederhanaan ruhani tertutup oleh gemerlap dunia. Apalagi menyebabkan kenaikan biaya penyelenggaraan yang dibebankan kembali di atas pundak-pundak yang sudah lemah. Setiap rupiah dana haji harus diperlakukan dengan kehati-hatian.
Solusi keempat adalah menjaga martabat jamaah haji sebagai tamu Allah. Rasulullah pernah bersabda bahwa tamu yang datang adalah membawa berkah (H.R. al-Bukhariy, 6018). Maka, bagaimana mungkin tamu Allah dibiarkan tidur berhimpitan di tenda yang penuh sesak, tersesat di jalan, atau pulang ke tanah air dengan membawa kekecewaan tanpa sempat menyempurnakan rangkaian ibadah hajinya. Sabda Rasul bahwa jemaah haji, umrah, dan orang yang berjihad adalah tamu-tamu Allah. Jika mereka memohon kepada-Nya, pasti Allah akan mengabulkan. Jika mereka meminta ampun, pasti Allah mengampuni” (HR. an-Nasa’i, no. 2626).
Karena itu, memperlakukan jemaah haji dengan hormat adalah bagian dari menjaga kehormatan rumah Allah. Bila tamu Allah itu dilayani dengan baik, maka kemuliaan akan kembali kepada penyelenggara dan umat. Namun bila mereka terabaikan, sama artinya dengan mengabaikan kehormatan rumah Allah. Ketika tamu dunia saja harus dihormati, maka lebih-lebih tamu Allah. Melayani mereka dengan kasih sayang adalah sama dengan menjaga kehormatan rumah Allah. Sebaliknya, bila mereka diabaikan pertanda kehormatan rumah Allah tidak dijaga sebagaimana mestinya.
Pada akhirnya, semua solusi akan kembali pada satu hal, niat tulus dan amanah. Rasulullah telah mengingatkan bahwa aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya (H.R. Abu Dawud, 3641). Haji bukan industri, bukan agenda politik, bukan proyek tahunan. Ia adalah panggilan. Sebuah undangan dari Allah, yang hanya bisa dijawab dengan kerendahan hati, kesungguhan niat, dan amanah yang ditunaikan. Jangan biarkan panggilan itu ternoda oleh carut-marut. Jangan biarkan doa jutaan umat runtuh karena kelalaian individual. Biarlah setiap jemaah pulang membawa senyum syukur, bukan jejak kecewa apalagi sesalan. Rumah Allah harus terjaga dalam kemuliaan pelayanan. Semua pihak wajib menindaklanjuti evaluasi dan persoalan dengan sungguh-sungguh. Sehingga tidak ada lansia yang tersesat melainkan sebelumnya sudah ada pendampingan yang lebih baik. Tidak ada lagi cerita tentang keterlambatan distribusi makanan. Antrean panjang telah diatasi melalui kerja sama dan negosiasi kuota yang cermat. Dalam setiap langkah dan perhatian untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji adalah martabat umat yang dijaga di hadapan Allah dan manusia. Sebagai umat yang mengaku pengikut Nabi, harus mampu meneladani, menjaga amanah, menegakkan keadilan, dan memuliakan tamu-tamu Allah dalam setiap ibadah yang diselenggarakan. (*)
Simak berita menarik lainnya di sripoku.com dengan mengklik Google News.
Penyelenggaraan Haji
Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah M.Ag
Guru Besar Ilmu Hadis UIN Raden Fatah Palembang
Radikalisme Agama dan Pedagogy of Love |
![]() |
---|
Menjaga Bumi: Warisan Peradaban Islam dalam Menghadapi Krisis Lingkungan |
![]() |
---|
Toleransi dan Pendidikan Agama Islam, Menjaga Harmoni dalam Kehidupan Berbangsa |
![]() |
---|
Serukan Aspirasi Tanpa Anarki Pesan Nabi untuk Penduduk Negeri |
![]() |
---|
Refleksi Ruhani di Bulan Merdeka, Memaknai Kebebasan Jiwa saat Tidur |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.