Opini

Ketika Subsidi dan Bansos bertemu Realitas Lapangan

Ketika subsidi dan bansos bertemu realitas lapangan, kita diingatkan bahwa kebijakan publik harus dijalankan dengan empati dan kepekaan.

SRIPOKU.COM/ABDUL HAFIZ
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Unsri, Dr Muhammad Husni Thamrin. 

Oleh: Dr. M.H.Thamrin
(Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Universitas Sriwijaya)

SRIPOKU.COM - Di Palembang, antrean panjang kendaraan di SPBU kerap memacetkan jalan ketika masyarakat berebut solar bersubsidi. Di pasar-pasar, warga menunggu kupon sembako murah yang dibagikan pemerintah.

Di desa, ada keluarga yang menerima bantuan sosial ganda, sementara tetangganya yang lebih miskin justru terlewat.

Di sekolah, anak-anak mulai menikmati Program Makan Bergizi Gratis (MBG), meski sebagian orang tua masih bertanya-tanya apakah program ini benar-benar berkelanjutan.

Potret sederhana ini memperlihatkan bahwa kebijakan publik sering kali diuji bukan di ruang sidang atau laporan anggaran, melainkan di lapangan.

Program bisa dirancang dengan baik, dana bisa tersedia, namun implementasi kerap menghadapi kenyataan sosial yang jauh lebih kompleks.

Pertanyaan pentingnya: bagaimana negara merancang kebijakan kebutuhan pokok yang bukan hanya adil di atas kertas, tetapi juga efektif ketika bertemu kenyataan sehari-hari rakyat?

Pertanyaan lainnya adalah: bagaimana negara menyeimbangkan antara pemenuhan hak dasar warga dan efisiensi ekonomi nasional.

Pemerintah harus hadir untuk melindungi kelompok rentan, tetapi pada saat yang sama dituntut menjaga stabilitas fiskal dan harga. 

Di sinilah muncul pertanyaan yang tak pernah sederhana—apa sebenarnya tujuan utama pembangunan: pertumbuhan atau kesejahteraan rakyat? 

Perdebatan tentang arah pembangunan ini telah lama berlangsung. Pemikir seperti Dudley Seers, Amartya Sen, dan Gunnar Myrdal menekankan bahwa pembangunan tidak boleh diukur hanya dari angka pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan dianggap gagal bila kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan tetap melebar. Dari sinilah muncul gagasan basic needs, bahwa pembangunan sejati adalah pemenuhan kebutuhan dasar rakyat—pangan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.

Di level global, gagasan ini berkembang. ILO mendorong strategi kebutuhan dasar pada 1970-an, sebelum beralih ke agenda Decent Work yang menekankan hak pekerja dan perlindungan sosial universal (ILO, 2020).

Bank Dunia juga sempat memasukkan kebutuhan dasar dalam laporan pembangunan 1980, kemudian bergeser ke arah penyesuaian struktural di era 1980–90-an, dan dalam dekade terakhir mengedepankan human capital sebagai motor pembangunan (World Bank, 2019).

Dalam dua dekade terakhir, fokus global kembali pada kesejahteraan manusia dan inklusi sosial, tetapi dengan cara yang lebih “terukur” dan berbasis pasar.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved