Mimbar Jumat

Carut-Marut Umat Nabi, Jejak Pengakuan dalam Amanah Penyelenggaraan Haji

Menunda pelaksanaan haji bisa berakibat fatal sebab ajal dan takdir manusia adalah misteri yang sulit diprediksi apalagi dinegosiasi.

Editor: tarso romli
handout
Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag-Guru Besar Ilmu Hadis UIN Raden Fatah Palembang 

Setiap rupiah dalam tabungan haji adalah air mata, peluh, dan doa. Di balik nama yang tertera dalam daftar tunggu, ada ragam kisah panjang manusia yang menggugah naluri keimanan. Jika amanah ini tergelincir, bukan hanya angka yang rusak,tapi juga harapan yang hancur dan kesempatan beribadah yang diabaikan. Tidak hanya isyarat pesan Nabi yang disampaikan secara khusus dalam pelaksanaan ibadah haji. Bahkan al-Qur’an pun telah mengingatkan untuk tidak memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang batil (Q.S. al-Baqarah,188).

Ayat dan hadis menjadi peringatan keras agar pengelolaan dana umat, termasuk dana haji, dijauhkan dari perkara bathil. Sebab, di balik harta itu ada kehidupan yang menggantungkan diri pada panggilan suci.

Keteladanan Nabi dan sahabat dalam penyelenggaraan haji akan menjadi solusi juga bagi para penyelenggara. Solusi pertama yang paling mendasar adalah kesadaran moral dan spiritual dari semua pihak yang terlibat. Haji harus dikelola dengan jiwa ibadah, bukan hanya persoalan administrasi. Sebab Rasulullah pernah bersabda bahwa sesungguhnya amal itu bergantung pada niat (H.R. al-Bukhariy,1). Bila niat tulus maka setiap langkah pengelolaan akan menjadi amal. Kesadaran harus dimulai dari semua lini. Dari pengambil kebijakan yang menentukan biaya dan kuota hingga petugas katering yang menyiapkan makanan bagi jemaah.

Semua merupakan rantai amanah. Pesan keteladanan dari Rasul dan sahabat pada hadis penyelenggaraan haji sudah sangat jelas. Dana haji yang disetorkan oleh jamaah bukan hanya nominal biasa, melainkan sebuah amanah besar dalam ibadah yang menghubungkan ketaatan diri seorang hamba kepada Khalik-nya.
 
Ada keringat yang mngucur deras dari sawah yang digarap di bawah terik matahari, ada hasil berjualan di pasar yang dikelola sejak sebelum terbit matahari, ada pula tangan kasar dari para kuli bangunan yang mengais pasir di sepanjang aliran sungai, juga sedikit pesangon hari tua yang diterima dan dititipkan lansia.

Pesangon yang menandakan bahwa ia telah berada pada usia senja dan masa kehidupan yang renta. Karena itu, penyelenggaraan haji menuntut kesadaran penuh. Di balik setiap kursi pesawat, setiap tenda di Mina, ada doa yang dipanjatkan siang malam dan harapan yang dititipkan seumur hidup.

Solusi kedua adalah evaluasi yang nyata dan berkelanjutan. Evaluasi penyelenggaraan haji tidak boleh berhenti pada laporan administratif saja, tetapi harus menghasilkan tindakan nyata dan solutif. Saudi Gazette (2019) mencatat tentang adanya kepadatan di Mina. Jamaah terpaksa tidur berhimpitan, hingga keluar ke jalanan. Arab News (2023) juga melaporkan hal serupa.

Memberi info bahwa problematika penyelenggaraan haji terjadi dalam lingkup internasional. Kementerian Agama RI dalam evaluasi haji 2023 pun menyoroti keluhan terkait katering yang terlambat datang. Lebih memilukan lagi adalah laporan media online (2023) yang mengabarkan tentang lansia tersesat dan baru ditemukan setelah puncak haji berakhir. Ia berada dalam kondisi sangat lemah dan tak tahu jalan kembali berhari-hari.

Solusi ketiga adalah mengembalikan ruh kesederhanaan penyelenggaraan ibadah haji. Rasulullah teladan terbaik, malaksanakan haji hanya sekali seumur hidup, dengan penuh kesederhanaan menjalankan ibadah.

Para sahabat meneladani Nabi, berjalan kaki, tidur di tanah, tanpa keluhan. Bagi mereka tujuan bukanlah kenyamanan dunia, melainkan keridhaan Allah SWT. Pelayanan modern bukan tidak diperbolehkan. Fasilitas nyaman sah saja disediakan. Akan tetapi jangan sampai kesederhanaan ruhani tertutup oleh gemerlap dunia. Apalagi menyebabkan kenaikan biaya penyelenggaraan yang dibebankan kembali di atas pundak-pundak yang sudah lemah. Setiap rupiah dana haji harus diperlakukan dengan kehati-hatian.

Solusi keempat adalah menjaga martabat jamaah haji sebagai tamu Allah. Rasulullah pernah bersabda bahwa tamu yang datang adalah membawa berkah (H.R. al-Bukhariy, 6018). Maka, bagaimana mungkin tamu Allah dibiarkan tidur berhimpitan di tenda yang penuh sesak, tersesat di jalan, atau pulang ke tanah air dengan membawa kekecewaan tanpa sempat menyempurnakan rangkaian ibadah hajinya. Sabda Rasul bahwa jemaah haji, umrah, dan orang yang berjihad adalah tamu-tamu Allah. Jika mereka memohon kepada-Nya, pasti Allah akan mengabulkan. Jika mereka meminta ampun, pasti Allah mengampuni” (HR. an-Nasa’i, no. 2626).

Karena itu, memperlakukan jemaah haji dengan hormat adalah bagian dari menjaga kehormatan rumah Allah. Bila tamu Allah itu dilayani dengan baik, maka kemuliaan akan kembali kepada penyelenggara dan umat. Namun bila mereka  terabaikan, sama artinya dengan mengabaikan kehormatan rumah Allah. Ketika tamu dunia saja harus dihormati, maka lebih-lebih tamu Allah. Melayani mereka dengan kasih sayang adalah sama dengan menjaga kehormatan rumah Allah. Sebaliknya, bila mereka diabaikan pertanda kehormatan rumah Allah tidak dijaga sebagaimana mestinya.

Pada akhirnya, semua solusi akan kembali pada satu hal, niat tulus dan amanah. Rasulullah telah mengingatkan bahwa aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya (H.R. Abu Dawud, 3641). Haji bukan industri, bukan agenda politik, bukan proyek tahunan. Ia adalah panggilan. Sebuah undangan dari Allah, yang hanya bisa dijawab dengan kerendahan hati, kesungguhan niat, dan amanah yang ditunaikan. Jangan biarkan panggilan itu ternoda oleh carut-marut. Jangan biarkan doa jutaan umat runtuh karena kelalaian individual. Biarlah setiap jemaah pulang membawa senyum syukur, bukan jejak kecewa apalagi sesalan. Rumah Allah harus terjaga dalam kemuliaan pelayanan. Semua pihak wajib menindaklanjuti evaluasi dan persoalan dengan sungguh-sungguh. Sehingga tidak ada lansia yang tersesat melainkan sebelumnya sudah ada pendampingan yang lebih baik. Tidak ada lagi cerita tentang keterlambatan distribusi makanan. Antrean panjang telah diatasi melalui kerja sama dan negosiasi kuota yang cermat. Dalam setiap langkah dan perhatian untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji adalah martabat umat yang dijaga di hadapan Allah dan manusia. Sebagai umat yang mengaku pengikut Nabi, harus mampu meneladani, menjaga amanah, menegakkan keadilan, dan memuliakan tamu-tamu Allah dalam setiap ibadah yang diselenggarakan. (*)

Simak berita menarik lainnya di sripoku.com dengan mengklik Google News.

 

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved