Opini
Ketika Subsidi dan Bansos bertemu Realitas Lapangan
Ketika subsidi dan bansos bertemu realitas lapangan, kita diingatkan bahwa kebijakan publik harus dijalankan dengan empati dan kepekaan.
Indonesia berada di tengah dua arus itu sehingga terlihat kita menempuh jalur yang khas. Di satu sisi, ada semangat memenuhi hak dasar warga lewat bantuan sosial, subsidi energi, dan jaminan kesehatan. Di sisi lain, ada tekanan untuk menjaga efisiensi dan disiplin anggaran.
Hasilnya adalah bentuk kebijakan “hibrid”: program sosial yang berupaya adil, tapi tetap berpijak pada logika pasar dan efisiensi fiskal.
Ada program bantuan yang dirancang terarah, seperti Program Keluarga Harapan atau bansos sembako, mengikuti logika efisiensi fiskal.
Ada pula perlindungan universal seperti BPJS Kesehatan yang kini mencakup hampir 96 persen penduduk (BPJS Kesehatan, 2024). Namun di balik capaian itu, pembiayaan menjadi tantangan.
Pada 2023, dana jaminan sosial kesehatan mencatat defisit sekitar Rp7,9 triliun (GoodStats, 2024), sebuah angka yang menunjukkan rapuhnya fondasi fiskal meski cakupan luas telah tercapai.
Program Makan Bergizi Gratis membawa harapan baru. Ia lahir di tengah masih tingginya angka stunting: secara nasional prevalensi stunting turun menjadi 19,8 persen pada 2024, namun di Sumatera Selatan masih tercatat 15,9 persen (Kemenkes RI, 2024).
Program ini unik karena menyatukan dua logika: menjawab kebutuhan dasar gizi sekaligus menjadi investasi sumber daya manusia.
Namun, dampaknya hanya akan nyata bila pelaksanaan dijalankan konsisten dan tepat sasaran. Di sisi lain, pemerintah juga mendorong Koperasi Merah Putih.
Dengan memperpendek rantai distribusi, koperasi diharapkan memberi posisi tawar lebih baik bagi petani dan akses harga terjangkau bagi konsumen.
Jika konsisten diperkuat, koperasi bisa menjadi instrumen penting yang menjembatani kepentingan pasar dan kebutuhan publik, bukan sekadar papan nama.
Realitas Lapangan dan Perspektif Giddens
Namun kebijakan hibrid ini tidak lepas dari persoalan. Basis data penerima bansos masih belum sempurna, membuat sebagian keluarga miskin tidak terjangkau, sementara penerima tidak layak justru lolos.
Program universal seperti BPJS menghadapi dilema pembiayaan. Reformasi subsidi energi pun kerap menimbulkan resistensi publik.
Antrean panjang kendaraan di SPBU Palembang menjadi contoh nyata bahwa masalah subsidi tidak semata urusan fiskal, tetapi juga soal keadilan sosial, tata kelola distribusi, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Kebijakan publik akhirnya berhadapan dengan realitas: antara niat untuk membantu dan kapasitas negara untuk mengelola dengan adil dan efisien.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.