Sosok Marsinah, Aktivis Buruh Diusulkan Gelar Pahlawan Nasional, Jadi Simbol Perjuangan Hak Pekerja

Berikut ini sosok aktivis Marsinah yang turut diusulkan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.

Penulis: Shafira Rianiesti Noor | Editor: pairat
Kolase Tribunnnewswiki/Wikipedia/Kompas/Priyombodo
SOSOK AKTIVIS BURUH - Marsinah aktivis buruh. Sosok Aktivis Marsinah Diusulkan Dapat Gelar Pahlawan Nasional 
Ringkasan Berita:
  • Marsinah adalah aktivis buruh dari PT Catur Putra Surya yang memperjuangkan hak-hak pekerja dan upah layak pada era Orde Baru. 
  • Ia tewas secara tragis pada 1993 setelah memimpin aksi mogok, dan kematiannya menjadi simbol perjuangan buruh serta pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.
  • Pada Hari Buruh 2025, Presiden Prabowo Subianto mendukung pengusulan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional.
 

 

SRIPOKU.COM - Berikut ini sosok Marsinah, aktivis yang turut diusulkan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.

Sosok Marsinah sendiri memang berpengaruh di zaman orde baru.

Marsinah bahkan menjadi simbol perjuangan hak-hak pekerja di zaman itu.

Aktivis buruh orde baru Marsinah
MARSINAH - Sejumlah buruh melakukan aksi renungan mengenang kematian Marsinah dan Sebastian di Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Utara. Gus Ipul mengusulkan 40 tokoh, termasuk Gus Dur, Soeharto, dan Marsinah, untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional ke Dewan GTK.

Baca juga: Reaksi Keras Partai Buruh Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta, Said: Buruh Jungkir Balik Tak Sanggup Beli

Sosok Marsinah

Marsinah adalah aktivis buruh yang menjadi simbol perjuangan hak-hak pekerja di era Orde Baru. 

Saat itu Marsinah seorang pekerja pabrik di PT Catur Putra Surya (CPS).

Memiliki keberanian menuntut upah layak dan kondisi kerja yang lebih baik pada tahun 1993.

Setelah memimpin aksi mogok, Marsinah hilang dan ditemukan tewas dengan luka-luka parah, menjadikannya korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang kasusnya belum tuntas hingga kini. 

Ia lahir pada 10 April 1969 dan meninggal pada 8 Mei 1993.

Mayatnya ditemukan di hutan yang berada di Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD dr. Soetomo), menyimpulkan Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.

Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.

Kehidupan Pribadi

Marsinah merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Sumini dan Mastin. 

Marsinah dibesarkan di bawah asuhan neneknya, Puirah, dan bibinya, Sini, di Nglundo, Jawa Timur. 

Ia bersekolah di Sekolah Dasar Negeri Karangasem 189, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Nganjuk.

Tahun-tahun terakhir sekolahnya dihabiskan di Pondok Pesantren Muhammadiyah, namun pendidikannya terhenti karena kekurangan biaya.

Ia diterima bekerja di pabrik sepatu Bata di Surabaya pada tahun 1989, kemudian pindah setahun setelahnya ke pabrik jam tangan Catur Putra Surya (sebelumnya bernama Empat Putra Surya) di Sidoarjo. 

Setelah dilakukan pemindahan ke pabrik mereka di Porong, Marsinah akhirnya dikenal sebagai juru bicara bagi rekan-rekan sesama pekerjanya.

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur Soelarso mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20 persen gaji pokok.

Imbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, Namun, di sisi pengusaha berarti tambahnya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, PT Catur Putra Surya (PT CPS) Porong membahas surat edaran tersebut dengan resah. 

Akhirnya, karyawan PT CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250.

Lakukan Unjuk Rasa

Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.

Pada 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

Kemudian pada 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250 per hari. Tunjangan tetap Rp550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. 

Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer 0816/Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.

Mulai tanggal 6 hingga 8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah.

Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya.

Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

Pahlawan Nasional

Marsinah dianggap sebagai simbol perjuangan buruh perempuan dan korban pelanggaran hak asasi manusia pada masa Orde Baru.

Setiap perayaan Hari Buruh Internasional yang diperingati tanggal 1 Mei, para buruh, khususnya di Jawa Timur, selalu mengenang perjuangan Marsinah.

Para buruh pun telah mengusulkan kepada pemerintah agar Marsinah diberi gelar Pahlawan Nasional, namun belum ada tindak lanjut.

Pada Hari Buruh 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungan terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah.

Pernyataan tersebut disambut baik oleh Kementerian Sosial, yang menyatakan siap memfasilitasi proses administratif sesuai prosedur pengusulan gelar Pahlawan Nasional.

Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul pun telah mengusulkan beberapa nama selain Marsinah kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon.

Nama Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur hingga aktivis buruh, Marsinah, ada dalam daftar tersebut.

Selain itu, ada pula nama Presiden ke-2 RI, Soeharto, yang belakangan menuai pro kontra.

Sebanyak 40 nama tokoh itu, kata Gus Ipul, dikirim ke Dewan GTK melalui beragam rapat dan proses panjang.

Nama-nama tersebut, juga sudah dinilai memenuhi syarat yang ada sebelum diserahkan ke Dewan GTK.

Baca berita menarik Sripoku.com lainnya di Google News

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved