SRIPOKU.COM - Usai debat perdana Pilkada Muba 2024 yang digelar di gedung Persatuan Dharma Wanita Muba, Kamis (31/10/2024) malam menuai kritik.
Program Rp25 juta per KK yang dsampaikan calon bupati nomor urut 02 HM Toha Tohet justru dinilai tidak masuk akal diterapkan dengan APBD Muba yang dikhawatirkan bisa membuat defisit.
Dengan asumsi jumlah KK di Muba mencapai minimal 100 ribu, maka total anggaran yang dibutuhkan untuk merealisasikan program ini hampir mencapai Rp2,5 triliun.
Pengamat Politik Sumatera Selatan, Bagindo menyebutkan bahwa program tersebut sangat ambisius dan berpotensi besar mengakibatkan defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Muba.
“Ini jauh lebih besar daripada APBD Muba yang hanya Rp4,2 triliun. Ini jelas merupakan langkah yang ugal-ugalan dan tidak realistis,” ungkap Bagindo, Sabtu (2/11/2024).
Meski program ini barangkali niatnya baik, namun jika diteruskan, Pemkab Muba dikhawatirkan mengalami defisit yang signifikan, yang pada gilirannya akan mengganggu pelaksanaan program-program strategis lainnya.
“Ini menunjukkan bahwa kandidat tidak memiliki pemahaman yang baik tentang manajemen anggaran dan cenderung menggunakan populisme untuk meraih kekuasaan,” tambahnya.
Dalam debat publik yang berlangsung pada Kamis malam, kualitas pendidikan dan pemahaman masing-masing kandidat terlihat jelas.
Ia mengatakan tentu masyarakat dapat menilai sendiri adanya salah satu pasangan calon tampak kurang memahami istilah dan persepsi yang berkaitan dengan demokrasi dan gender.
Momen krusial dalam debat tersebut terlihat ketika Toha Tohet tampak kesulitan menjawab beberapa pertanyaan, bahkan meminta wakilnya, Rohman, untuk menjelaskan mengenai infrastruktur jalan.
Namun, saat pertanyaan terkait peningkatan kualitas demokrasi lokal disampaikan oleh panelis Rudi Kurniawan, Toha menunjukkan kepercayaan diri dengan mengusulkan gagasan “kontrol publik” yang melibatkan kunjungan rutin ke rumah warga.
“Kami akan melakukan kontrol publik, dengan mengunjungi rumah-rumah warga setidaknya satu kali dalam sebulan,” jelas Toha.
Meskipun niatnya mungkin baik, rencana tersebut justru menuai kritik. Banyak yang beranggapan bahwa pendekatan ini dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan berpendapat.
“Jika kontrol publik yang dimaksudkan berujung pada intervensi terhadap hak-hak masyarakat, maka ini bisa berbahaya bagi dinamika demokrasi di Muba,” katanya.
Alih-alih memperkuat hubungan dengan masyarakat, rencana ini dianggap berpotensi menciptakan berbagai praktik anti-demokrasi.