Dengan demikian maka munculah tantangan bagi UU SPPA dalam penegakan cybercrime yang melibatkan anak-
anak pada era internet. Selain itu, sejauh perkembangannya UU SPPA juga masih terdapat beberapa kelemahan. Seperti Regulasi pendukung dari UU SPPA sampai saat ini memang tak kunjung terselesaikan.
Berdasarkan UU SPPA, Pemerintah diwajibkan untuk membuat enam materi dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan dua materi dalam bentuk Peraturan Presiden.
Namun sampai saat ini peraturan pendukung masih belum semua tersedia. Pemerintah baru merampungkan subtansi dalam Peraturan Pemerintah (PP No 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun) dan Peraturan Presiden tentang Pelatihan Aparat Penegak Hukum.
(Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 175 tahun 2014 tentang Pendidikan Dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum Dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak).
Selain implementasi peraturan pelaksana yang belum optimal, salah satu permasalahan yang memprihatinkan adalah soal minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan dan penahanan anak.
Sampai saat ini LPAS dan LPKS belum banyak tersedia di seluruh Indonesia. Hanya beberapa wilayah di tingkat provinsi
saja yang mulai memiliki LPAS.
Namun hampir sama dengan kondisi LPAS maka jumlah LPKS pun tidak ada di setiap kabupaten. Akibatnya aparat penegak hukum seringkali bingung ke mana anak yang bersangkutan akan di tempatkan.
Sedangkan jumlah anak yang dipenjara cenderung mengalami peningkatan disetiap tahunnya. Semangat UU SPPA untuk memberikan kesempatan kedua kepada anak yang berhadapan dengan hukum belum terwujud. Kenyataannya, hingga kini ribuan anak ditahan, diadili, dan dipenjara karena terkait berbagai kasus.
Sebagaimana data dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan bahwa sebanyak 1.518 anak dipenjara di Lembaga Penempatan Khusus Anak (LPKA) per Juni 2021 sejak setahun sebelumnya.
Data ini mengalami peningkatan sejak per Juli 2020 ICJR mencatat terdapat 1.211 anak dipenjara (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210723140329-12- 671302/hari-anak-nasional-2021-ribuan-anak dipenjara-selama-pandemi).
Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan diversi restorative justice dalam UU SPPA yaitu untuk tidak menjatuhkan pidana pada anak yang telah melakukan tindak pidana tetapi untuk membimbing anak.
Seolah tidak cukup tantangan dari UU SPPA sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan pidana anak, tantangan lain juga muncul dari UU ITE. Hal tersebut dikarenakan ketika terjadi cybercrime saat ini cenderung menggunakan UU ITE, namun ternyata UU penerapan dan ketentuan dari UU ITE masih memunculkan pro dan kontra.
Salah satu kelemahan dalam UU ITE karena UU ITE kemudian tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan "melanggar kesusilaan" pada Pasal 27 (1).
Kemudian pada Pasal 27 (3) tidak memisah mana yang menjadi unsur pemberat dan mana yang menjadi unsure yang memperingan terkait dengan pencemaran nama baik melalui sarana ITE. Akibatnya, ancaman sanksi pidana pun tidak disamakan untuk semua bentuk pencemaran nama baik.
Dalam UU ITE sejak pertama disahkan ialah pada tahun 2008 hingga saat ini masih berlaku, ternyata masih ada beberapa hal yang harus dikaji kembali dan harus direvisi. Dengan demikian, maka dengan adanya berbagai kelemahan ini akan menjadi tantangan aparat penegak hukum dalam menyelasaikan kasus anak yang berhadapan dengan hukum di era digital.