Berita Muara Enim

Ganti Rugi Lahan dan Kebun Warga Desa Darmo Mengacu Perpres 78 Tahun 2023, Warga: Asal Manusiawi

Ganti rugi lahan dan kebun masyarakat Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, diputuskan mengacu kepada Perpres 79 Tahun 2023.

Penulis: Ardani Zuhri | Editor: tarso romli
sripoku.com/ardani zuhri
RAPAT - Rapat Ganti Rugi Lahan warga Desa Darmo dengan PTBA di ruang rapat Banggar DPRD Muara Enim, Senin (17/3/2025). 

SRIPOKU.COM, MUARA ENIM -- Setelah melalui perdebatan yang alot, akhirnya masalah ganti rugi lahan dan kebun milik masyarakat Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, diputuskan akan mengacu dengan Perpres 79 Tahun 2023.

Padahal sebelumnya, masyarakat Desa Darmo telah sepakat untuk ganti rugi tersebut mengacu dengan Pergub 40 Tahun 2017.

Pertemuan tersebut dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Muara Enim Deddy Arianto yang didampingi Komisi I DPRD Muara Enim, Kajari Muara Enim Rudi Iskandar, Perwakilan PTBA yakni Aswan PV Layanan Operasi dan Zulfikar Azhar PV Hukum dan Regulasi, Kades Darmo Ilwan, dan puluhan masyarakat Desa Darmo.

Sedangkan melalui zoom metting yakni Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) RI Perwakilan Sumatera Selatan, Asisten Kejaksaan Tinggi Provinsi Sumatera Selatan, Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) di ruang rapat Badan Anggaran DPRD Muara Enim, Senin (17/3/205). 

Menurut juru bicara masyarakat Desa Darmo, Subahri, bahwa setelah melalui beberapa kali pertemuan yang alot akhirnya  masyarakat sepakat dan mendukung rencana PTBA untuk Proyek CHF TLS 6 dan 7 di Bangko Tengah Blok B yang akan melakukan ganti rugi lahan dan kebun milik warga Desa Darmo, dengan syarat mengacu dengan Pergub 40 Tahun 2017.

Pasalnya, kami menilai untuk masalah ganti rugi tersebut cukup terinci dan detil seperti jenis tanaman, umur dan sebagainya. Dan jika mengacu Perpres 79 Tahun 2023, selain tidak rinci juga kurang tepat sebab itu lebih tepat kepada untuk ganti rugi kepentingan publik seperti pembuatan jalan, jembatan dan sebagainya. Sedangkan PTBA ini lebih condong ke bisnis bukan sosial.

"Kami hanya ingin keadilan dan ganti rugi yang manusiawi sebab lahan yang akan dijadikan tambang tersebut adalah lahan karet produktif untuk penghidupan keluarga kami," tegasnya.

Mengenai masalah katanya, lahan kebun kami masuk dalam kawasan hutan, lanjut Subahri, itu sepertinya sepihak dilakukan oleh pemerintah (kehutanan,red).

Sebab selama ini, sebelum Indonesia Merdeka secara turun temurun kami telah mengelola lahan tersebut dan tidak ada masalah.

Apalagi hutan tersebut masuk ke dalam hutan adat kami yang juga diakui oleh negara. 

Untuk itu, meski telah diputuskan untuk ganti rugi tersebut akan mengacu kepada Perpres 79 Tahun 2023, kami tetap ingin melihat besaran ganti rugi tersebut apakah manusiawi atau tidak.

"Kami juga bingung, setelah ganti rugi kami mau bertani di mana lagi, sedangkan itu adalah penghidupan kami selama ini," ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Asisten Perdata Negara (asdatun) Kejati Sumsel Rachmad Vidianto dan Fauzi dari Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) RI Perwakilan Sumatera Selatan maupun Kajari Muara Enim Rudi Iskandar, mengatakan bahwa setelah melalui kajian mereka selaku pengawal keuangan negara, telah memberikan masukan kepada PTBA untuk melakukan ganti rugi yang mengacu kepada Perpres No 78 tahun 2023 bukan Pergub No 40 tahun 2017.

 Sebab pihaknya menilai lahan yang digunakan oleh masyarakat ternyata masuk dalam kawasan hutan yang berarti milik negara, yang secara tidak langsung masyarakat yang menggunakannya adalah ilegal.

"Jadi kami meminta PTBA jangan sampai salah mengambil keputusan karena bisa merugikan negara yang dianggap juga korupsi," pungkasnya.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved