Mimbar Jumat
Mengambil Hikmah Peringatan Isra’ Mikraj Bersama Masyarakat Bugis di Sungsang
Alam Sumatera Selatan terbentang seluas 91.592,43 km2 atau kurang lebih seluas negara Portugal, dan dihuni oleh 8.973.168 jiwa (Juni 2024).
Oleh: Dr. Muhammad Walidin, M.Hum.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah
Alam Sumatera Selatan terbentang seluas 91.592,43 km2 atau kurang lebih seluas negara Portugal, dan dihuni oleh 8.973.168 jiwa (Juni 2024).
Penduduk asli Sumatera Selatan dikenal dengan nama suku Melayu. Akan tetapi, banyak pula suku bangsa yang juga berdiam di Palembang sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu suku bangsa yang juga menjadi bagian dari penduduk Sumatera Selatan adalah suku (Melayu) Bugis yang mendiami bagian pesisir.
Pada dasarnya, suku Bugis adalah sebutan untuk penduduk yang mendiami bagian Selatan pulau Sulawesi dan terdiri dari empat suku besar, yaitu Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Sejak datangnya kolonial Belanda di nusantara pada kurun abad 17, sebagian orang Bugis melakukan migrasi dari tempat asalnya ke berbagai belahan bumi lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Malaysia, Singapore, Australia, bahkan Afrika Selatan (Sitti Rachmawati Yahya, 2013).
Lineton, J (1975) dalam tulisannya Bugis Migrants and Wanderers mencatat bahwa sebagai pelaut ulung, suku ini telah banyak mendiami berbagai benua dan membentuk komunitas di sana dengan sebutan Bugis Village.
Salah satu wilayah yang menjadi bagian dari pemukiman Masyarakat Bugis di Sumatera Selatan adalah Kabupaten Banyasin, termasuk daerah Sungsang.
Dalam perjalanan monitoring KKN UIN Raden Fatah ke 82 ke Sungsang di awal bulan Rajab 1446 Hijriyah/Januari 2025, saya menghadiri undangan sebuah perayaan/pengajian Isra’ Mikraj yang diadakan di rumah salah satu tokoh di desa tersebut.
Perayaan ini saya sebut sebagai kegiatan yang Istimewa, terutama karena format pengajian keislamannya lebih intens/dalam sehingga meninggalkan dampak yang lebih dalam juga bagi para pendengarnya.
Sebagai Gambaran umum, pengajian Isra Mikraj ini diadakan di rumah Masyarakat dan bisa berulang dalam satu periode bulan Rajab.
Selain sebagai ajang silaturrahmi antar sesama warga, perayaan ini juga menebalkan keimanan anggota masyarakat terhadap syariat Islam, terutama yang berkaitan dengan penegakan ibadah salat.
Peringatan ini biasa dilakukan oleh Masyarakat yang mengikuti ajaran Tarekat Khalwatiyah; sebuah varian sufisme yang lahir di Asia Tengah pada abad 15 M.
Secara Bahasa, ‘Isra‘ berarti ‘Memperjalankan‘ dalam bentuk verba transitif. Dalam konteks peristiwa ini, Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjid al-Haram di Mekah ke Masjid al-Aqsa di Yerusalem dalam satu malam (Tafsir Ibnu Kasir).
Sementara kata Mikraj berasal dari kata ‘araja‘ (naik/meninggi) dalam bentuk ism al-Alat (nama alat), yang berarti tangga atau alat untuk naik. Secara eksplisit, kata "Mikraj" tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.
Namun, peristiwa Mikraj yang berarti "kenaikan" atau "perjalanan ke langit" merujuk pada bagian dari perjalanan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW untuk menerima perintah salat.
Peristiwa Isra’ Mikraj tercatat dalam al-Qur’an dalam dua surat yang berbeda, tepatnya pada Surat al-Isra’ ayat al-Isra ayat 1 dan QS an-Najm ayat 13-18.
Pada surat al-Isra ayat 1, Allah memberikan informasi tentang perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Palestina dalam satu waktu atau disebut perjalanan bumi.
Ayat yang dimaksud adalah “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Selanjutnya, pada surat al-Najm ayat 13-18, Allah memberikan informasi perjalanan Nabi Muhammad Ketika bermikraj (naik ke langit) atau juga dinamakan dengan perjalanan langit.
Disebutkan pada ayat tersebut; Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain (13), (yaitu) di Sidratul Muntaha (14), Di dekatnya ada surga tempat tinggal (15), (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratilmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya (16), Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya (17), Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar (18).
Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat-ayat di atas menggambarkan pengalaman Nabi Muhammad SAW saat beliau melihat malaikat Jibril dalam bentuk aslinya untuk kedua kalinya. Peristiwa ini terjadi di Sidratul Muntaha, tempat tertinggi yang dicapai oleh manusia.
Sidratul Muntaha adalah tempat di mana kebesaran Allah sangat terasa dan di mana surga Jannah al-Ma'wa berada. Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW melihat tanda-tanda kebesaran Allah secara langsung.
Kedua perjalanan di atas, baik Isra maupun Mikraj, adalah perjalanan yang mustahil terjadi dalam logika manusia. Akan tetapi, orang-orang yang beriman percaya terhadap peristiwa ini sebagai bagian dari keistimewaan Nabi Muhammad SAW.
Di samping itu, peristiwa ini menjadi bukti kekuasaan Allah baik di bumi maupun di langit sebagaimana dinarasikan pada akhir dari ayat 1 (surat al-Isra) dan juga ayat 18 (pada surat an-Najm).
Peristiwa Isra Mikraj juga bisa ditelusuri pada kitab-kitab hadis yang sahih, seperti pada Sahih Buchari No. 3207, 3342, dan 349.
Dalam hadis ini, Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa beliau diperjalankan dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa, dan kemudian naik ke langit bersama malaikat Jibril.
Di sana, beliau bertemu dengan nabi-nabi sebelumnya dan sampai di Sidratul Muntaha, tempat tertinggi yang dicapai oleh manusia. (Bukhari 3207).
Terdapat juga hadis yang disandarkan kepada Hudzaifah bin Al-Yaman yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW diperlihatkan surga dan neraka selama perjalanan Mikraj, dan beliau melihat berbagai pemandangan yang menunjukkan balasan bagi orang-orang yang beriman dan yang berdosa (Buchari 3342).
Dalam hadis yang disandarkan pada Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bertemu dengan nabi-nabi lainnya di langit, seperti Nabi Adam, Nabi Isa, dan Nabi Musa. Dalam hadis ini, Nabi Muhammad SAW juga menceritakan bagaimana beliau menerima perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu (Bukhari 349).
Sementara hadis tentang Isra dan Mikraj dalam Sahih Muslim juga senada dengan hadis no. 3207 dalam Sahih Buchari. Melengkapi perjalanan Nabi Muhammad dalam peristiwa Mikraj, Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW menceritakan pengalamannya saat naik ke langit dan bertemu dengan Allah SWT. (Muslim 414).
Peristiwa Isra Mikraj adalah salah satu mukjizat besar dalam sejarah Islam dan memiliki banyak riwayat dalam berbagai sumber hadis.
Peristiwa ini tidak hanya menggambarkan perjalanan fisik Nabi Muhammad SAW, tetapi juga memiliki makna spiritual yang dalam bagi umat Islam. Hal inilah yang menjadikan memperingati Isra Mikraj penting bagi seluruh ummat Islam, termasuk masyarakat Bugis di Sungsang.
Masyarakat Bugis di Sungsang memperingati perisitiwa Isra dan Mikraj dengan membaca naskah lama yang dikenal dengan nama Mi’raje.
Naskah ini ditulis tangan dengan tebal sekitar 55 halaman dengan varian di berbagai tempat. Naskah ini beraksara Serang (aksara Arab dengan Bahasa bugis.
Aksara ini berbeda dengan aksara Jawi yang berhuruf Arab tapi Bahasa Melayu). Adapun waktu pembacaanya selama 2-3 jam dengan 5-6 orang pembaca.
Pembacaan naskah biasanya dilakukan selepas Zuhur hingga waktu Asar. Setelah selesai pembacaan naskah, dilanjutkan dengan doa dan salat Asar berjamaah serta menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah.
Hal yang menarik dari pembacaan naskah ini adalah pembaca melakukan pembacaan naskah dengan pola pembacaan Barzanji, tetapi lebih cepat.
Sebagai pembaca, ia harus pintar membaca ayat al-Qur’an dan Hadis sekaligus aksara Serang. Sementara itu, para audiens/hadirin hanya mendengar narasi al-Qur’an dan Hadis dengan keterangan berbahasa Bugis.
Pembacaan dimulai dengan kalimat: Ripallawangennamua Sewwae wettu Iyanaritu Nabitta Sallallahu alaihi Wasallam.
Engkai rilalenna batu masalekoe ri sesena baetullae. Artinya: Dahulu kala, Allah Ta'ala menciptakan Nabi kita Muhammad. Dia berada di batu Hijr Ismail yang terletak di dalam Ka'bah Artinya: teks selanjutnya: Dengan posisi Nabi SAW dalam posisi terlentang antara dua pria. Kemudian malaikat Jibril dan Mikail Datang.
Ada juga yang menemani Malaikat lainnya. Kemudian keduanya membawa jasad Nabi SAW ke sumur Zam-Zam.
Dari narasi di atas, dapat diketahui bahwa kisah Isra Mikraj benar-benar dimulai seperti dongeng pada umumnya yang biasa didengar oleh masyarakat dengan tradisi lisan. Hal ini tentu akan menarik minat pendengar untuk terus fokus kepada cerita selanjutnya.
Narasi berikutnya mengalir menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW bertemu dengan para Nabi sebelumnya, melihat balasan orang-orang yang beriman di surga dan sika bagi yang kufur di neraka. Hal yang paling penting adalah bagaimana proses Nabi Muhammad SAW menerima perintah salat.
Pada akhir naskah, diceritakan pula bagaimana saat Nabi Muhammad telah sampai di bumi, ternyata orang-orang tidak percaya dengan peristiwa itu.
Hanya Abu Bakar dan Sebagian kecil orang yang percaya, sehingga ia diberi gelar al-Siddiq (orang yang percaya).
Dalam pandangan saya sebagai pengamat, pembacaan naskah Mi’raje pada komunitas Bugis memiliki empat keunggulan.
Pertama, pembacaan naskah lampau mampu membangun memori kolektif dan memberi makna bagi bangsa tonggak budaya.
Sebagaimana Sudibyo (2017) menyatakan bahwa teks-teks kuno dapat mengingatkan local Wishdom yang memiliki makna spiritual atau religius, sehingga maknanya tidak terkikis oleh zaman.
Kedua, pembacaan naskah Mi’raje melahirkan solidaritas di antara Masyarakat Bugis sekaligus Jamaat Khalwatiyah Samman di Wilayah Sungsang.
Ketiga, pembacaan naskah ini juga terus mengingatkan setiap generasi untuk selalu menjalankan perintah agama, terutama salat.
Berdasarkan narasi naskah, hanya ibadah Salat yang perintahnya harus dijemput di Sidratul Muntaha, sementara ibadah lain hanya turun berdasarkan firman Allah melalui Jibril. Dan terakhir, pembacaan naskah ini dalam aksara Serang juga merupakan bentuk konservasi Bahasa Bugis bagi generasi muda yang terlahir di tengah akulturasi budaya tanah perantauan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.