Berita PALI
Cerita Mulyadi Puluhan Tahun Yang Hidup Dalam Sebuah Kemasan Kopi Bubuk Lokal PALI
Mulyadi menekuni usaha dan tehnik pengolahan kopi dengan alat sangrai kopi tradisional terbuat dari plat drum (Drum Roasting) kapasitas 30 kilogram
Penulis: Apriansyah Iskandar | Editor: adi kurniawan
SRIPOKU.COM, PALI -- Sebuah alat sangrai kopi tradisional terbuat dari plat drum (Drum Roasting) kapasitas 30 kilogram berwarna hitam pekat yang tampak usang terbakar api itu terus mengepulkan asap.
Asap tersebut ternyata berawal dari tempat pengolahan kopi lokal yang beralamat di Jalan Telaga Said, Talang Puyang RT 01 RW 09 Kelurahan Talang Ubi Barat Kecamatan Talang Ubi Kabupaten PALI, Sumatera Selatan.
Walaupun sudah berusia 70 tahun, Mulyadi yang masih terlihat bugar tampak duduk dengan sabar dan telaten sambil memutar tuas besi alat sangrai kopi tradisional yang telah usang disebuah tempat pengolahan kopi rumahan berukuran 2 x 4 meter, beratap seng dengan tiang penyanggah dari kayu tanpa dinding.
Pak Mul, sapan akrab Mulyadi pria kelahiran 22 Juni 1954 itu, adalah generasi ke-2 sebagai tukang kopi tradisional di keluarganya.
Usaha dan tehnik pengolahan kopi itu diwarisi Mulyadi dari Ayahnya bernama Lukmanto, yang terlebih dahulu telah memulai usaha pengolahan kopi sejak tahun 1963 silam, ketika Ayahnya masih bekerja di SVPM, sebuah perusahaan minyak Belanda yang beroperasi di wilayah Talang Akar Pendopo
"Saya tukang kopi, mewarisi semua teknik dan cara penanganan mengolah biji kopi dari ayah saya, yang telah memulai usaha ini sejak tahun 1963, saat dia masih bekerja di SVPM," kata Mulyadi, Kamis (12/9/2024).
Mulyadi sendri baru serius memulai usaha kopi itu pada tahun 1978, sebelum berkecimpung langsung didunia perkopian.
Mulyadi pada tahun 1972 sempat bekerja sebagai karyawan kontrak, menjadi operator disebuah perusahaan pengeboran minyak bumi milik swasta diwilayah Benakat Minyak Talang Ubi.
"Setelah berhenti kerja, kemudian menganggur barulah pada tahun 1978, memulai lagi usah kopi sampai dengan saat ini," ungkapnya.
Ketika kabut asap beraroma harum tercium sampai keluar tempat itu.
Artinya, biji kopi yang berada di dalam alat sangrai berbahan plat drum itu sudah matang.
Mulyadi dengan dibantu oleh seorang pekerja, langsung bergegas mengangkat alat sangrai kopi.
Kemudian biji kopi yang sudah matang didalam alat sangrai itu, ditumpahkan pada sebuah tempat dari jaring kawat untuk dilakukan proses pendinginan selama 1 jam.
"Untuk proses sangrai ini dibutuhkan waktu selama 1,5 jam sampai biji kopi matang. Sebelum disangrai atau dimasak biji kopi ini yang kualitas super, kita pilah terlebih dahulu, agar menghasilkan kualitas kopi bubuk terbaik yang memiliki cita rasa dan aroma kopi Robusta yang khas," terang Mulyadi disela kesibukan nya memindahkan alat sangrai Kopi ketempat yang disediakan.
Setelah proses pendinginan, barulah biji kopi itu dimasukkan ke sebuah mesin penggilingan untuk dijadikan kopi bubuk, kemudian dikemas dalam kemasan pelastik polos tanpa merek dan siap dipasarkan.
Dahulu, Mulyadi melakukan peroses penggilingan kopi masih menggunakan alat tradisional sehingga membutuhkan waktu lama.
Namun sekarang ia telah menggunakan mesin, meski kapasitas nya masih terbatas, sehingga belum bisa menggiling kopi dalam jumlah banyak.
Mulyadi mengatakan, dalam proses pengemasan nya, ada tiga ukuran kemasan yakni ukuran 50 gram yang dibanderol dengan harga Rp 6,500.
Kemudian kemasan 100 gram di banderol dengan harga Rp 13 ribu dan kemasan 250 gram yang dibanderol dengan harga Rp 32 ribu.
Ukuran kemasan itu dipilih atas permintaan pasar saat ini, dikarenakan harga kopi yang melonjak naik, sehingga rata-rata pelanggan mengurangi jumlah pembelian nya.
Hal tersebut juga dilakukannya untuk memudahkan pemasaran nya ke warung- warung, karena dengan ukuran kemasan tersebut lebih diminati oleh pembeli.
"Kalau kemasan ukuran 1 kilo, baru kita sediakan kalau ada pesanan aja, harganya Rp 130 ribu kita jual perkilonya," imbuhnya.
Dalam pemasaran juga, Mulyadi masih menggunakan cara tradisional, dengan dibantu oleh kakak iparnya bernama Siti Aminah (69), kopi bubuk dalam kemasan plastik tanpa brand (merek) itu diedarkan keliling dari rumah ke rumah, warung ke warung hinggah antar kampung.
Selama hampir setengah abad atau 46 tahun sejak 1978 lalu, tentunya suka duka dan jatuh bangun dalam mempertahankan usaha kopi miliknya agar tetap berproduksi.
Banyak juga kendala yang dihadapi oleh Mulyadi dalam menjalankan usahanya, mulai dari kesulitan mendapatkan bahan baku.
Harga bahan baku kopi melonjak tinggi, kesulitan modal usaha hingga penurunan produksi dan Omzet penjualan.
"Kendala saat ini kadang sulit mendapatkan bahan baku, ongkos transport yang mahal, disamping itu harga biji kopi saat ini mahal. Kemarin aja beli Rp 75 ribu perkilo, sehingga produksi kita juga turun, saat ini dalam sebulan nya hanya mampu produksi sebanyak 200 kilogram biji kopi," bebernya.
Sehingga Omzet yang diperoleh saat ini menurun sekitar 25 persen atau sekitar Rp 20 juta setiap bulan nya, jumlah tersebut belum dipotong modal dan biaya operasional.
Hal itu berbanding jauh dari produksi kopi Mulyadi yang bisa mencapai 1 ton dalam sebulan, ketika harga bahan baku biji kopi masih diharga Rp 20 ribu.
Meski terjadi penurunan produksi dan pendapatan, namun dapur produksi pengolahan kopi miliknya tetap bertahan, dikarenakan masih ada pelanggan setia produk kopi miliknya sampai dengan saat ini.
"Kalau pelanggan nya sampai saat ini masih banyak meski jumlah pembelian menurun, biasa yang beli sekilo, sekarang cuma setengah maupun seperempat kilo," katanya.
"Disamping karena pelanggan nya masih banyak, alasan lainnya yang membuat kita tetap berproduksi sampai saat ini karena kebutuhan ekonomi, karena usaha inilah menjadi sumber pendapatan saya bersama keluarga," ucapnya.
Selama puluhan tahun berbisnis kopi, untuk bahan baku yang digunakannya Mulyadi konsisten menggunakan biji kopi Robusta yang diambil dari Semendo dan lahat.
Menurutnya, disamping harganya lebih murah dari kopi jenis Arabika yang 3 kali lipat lebih mahal, kopi jenis Robusta lebih banyak diminati oleh para pelanggan.
"Kalau bahan baku dari dulu kita menggunakan biji kopi Robusta yang diambil dari Semendo maupun lahat, dan juga lebih murah dibandingkan Arabika. Kita juga ga kuat modalnya kalau bahan bakunya menggunakan Arabika yang 3 kali lipat lebih mahal dari Robusta," ujarnya.
Ketika ditanya, kenapa kemasan produk kopi miliknya tanpa merek, Mulyadi mengatakan karena tidak memiliki modal untuk mencetak kemasan packaging yang ada mereknya.
Selain itu, usahanya juga selama ini belum memiliki ijin usaha atau NIB maupun seterfikat halal karena keterbatasan modal yang dimilikinya untuk mengurus semua itu.
Lebih jauh diceritakannya, dahulu usaha pengolahan kopi bubuk ini diberi nama Kopi Menara Bor saat dikelola oleh Ayahnya waktu itu.
Produk kopi bubuk cukup dikenal di Talang Ubi waktu itu dan dipasarkan dari warung ke warung sampai ke pelosok-pelosok desa pada periode tahun 1963-1968 silam.
Saat Ayahnya pensiun pada 1968, usaha tersebut sempat tutup sebentar, dikarenakan Mulyadi bersama keluarganya pindah ke kampung halaman ibunya di Cirebon Jawa Barat.
"Waktu itu saya baru tamat SMA, ikut orang tua pindah ke Cirebon. Usaha Kopi di pendopo ini setop, tapi kita tetap melanjutkan jualan kopi di Cirebon bersama orang tua," tuturnya.
Pada tahun 1970, Mulyadi sekeluarga kembali ke Talang Ubi, dan Ayah nya melanjutkan kembali usah kopi yang selama ini dilakoninya, dan usaha itu pun kembali berjalan sampai dengan tahun 1975.
Namun pada tahun 1975- 1977 akhir, usaha kopi itu sempat terhenti, karena terkendala modal dan baru berlanjut kembali ketika Mulyadi kembali merintis usah itu pada tahun 1978 hingga bertahan sampai saat ini.
Meskipun saat ini jamannya tidak seperti dulu lagi, namun pria yang menikahi seorang wanita bernama Arini (65) pada tahun 1975 yang telah dikaruniai 6 orang anak, 12 orang cucu dan 1 cicit tersebut.
Tetap bertahan demi merawat sejarah yang hidup dalam kemasan kopi lokal PALI, agar dapur rumah tangganya tetap berasap.
Sebagai pelaku UMKM, Mulyadi berharap adanya sentuhan tangan pemerintah agar usaha yang secara puluhan tahun dilakoni keluarga nya ini dapat berkembang dan tetap berjalan.
"Ya sebagai pelaku usaha kecil-kecilan seperti saya ini, berharapnya ada bantuan dari pemerintah, baik itu dari segi permodalan, peralatan yang modern, pemasaran, sampai ijin usah dan sertifikat gratis. Agar usaha ini dapat berkembang lagi," harapnya.
Dikepung Kelelawar, Siswa SMPN 4 Talang Ubi Terpaksa Belajar di Halaman Sekolah Beralas Terpal |
![]() |
---|
Viral Flyover Batu Bara Retak dan Bergoyang di PALI, Warga Cemas Saat Melintas: Kami Takut Ambruk |
![]() |
---|
ULAR Piton Sepanjang 2,5 Meter Tiba-tiba Muncul di Atap Kios Terminal Pendopo PALI, Mendadak Heboh! |
![]() |
---|
Ketahuan Mencuri Sawit di Perkebunan PT SBA, Warga Simpang Tais Kabupaten PALI Diamankan Polisi |
![]() |
---|
PANIK! Dua Cincin Terjepit di Jari Tangan, Pria di PALI Ini Lari ke Kantor Damkar Minta Pertolongan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.