Berita PALI

Cerita Mulyadi Puluhan Tahun Yang Hidup Dalam Sebuah Kemasan Kopi Bubuk Lokal PALI

Mulyadi menekuni usaha dan tehnik pengolahan kopi dengan alat sangrai kopi tradisional terbuat dari plat drum (Drum Roasting) kapasitas 30 kilogram

Penulis: Apriansyah Iskandar | Editor: adi kurniawan
Sripoku.com/Apriansyah Iskandar
Mulyadi (71 tahun) seorang tukang kopi tradisional di PALI, puluhan tahun tetap berproduksi kopi bubuk  

Dahulu, Mulyadi melakukan peroses penggilingan kopi masih menggunakan alat tradisional sehingga membutuhkan waktu lama.

Namun sekarang ia telah menggunakan mesin, meski kapasitas nya masih terbatas, sehingga belum bisa menggiling kopi dalam jumlah banyak.

Mulyadi mengatakan, dalam proses pengemasan nya, ada tiga ukuran kemasan yakni ukuran 50 gram yang dibanderol dengan harga Rp 6,500.

Kemudian kemasan 100 gram di banderol dengan harga Rp 13 ribu dan kemasan 250 gram yang dibanderol dengan harga Rp 32 ribu.

Ukuran kemasan itu dipilih atas permintaan pasar saat ini, dikarenakan harga kopi yang melonjak naik, sehingga rata-rata pelanggan mengurangi jumlah pembelian nya.

Hal tersebut juga dilakukannya untuk memudahkan pemasaran nya ke warung- warung, karena dengan ukuran kemasan tersebut  lebih diminati oleh pembeli.

"Kalau kemasan ukuran 1 kilo, baru kita sediakan kalau ada pesanan aja, harganya Rp 130 ribu kita jual perkilonya," imbuhnya.

Dalam pemasaran juga, Mulyadi masih menggunakan cara tradisional, dengan dibantu oleh kakak iparnya bernama Siti Aminah (69), kopi bubuk dalam kemasan plastik tanpa brand (merek) itu diedarkan keliling dari rumah ke rumah, warung ke warung hinggah antar kampung.

Selama hampir setengah abad atau 46 tahun  sejak 1978 lalu, tentunya suka duka dan jatuh bangun dalam mempertahankan usaha kopi miliknya agar tetap berproduksi.

Banyak juga kendala yang dihadapi oleh Mulyadi dalam menjalankan usahanya, mulai dari kesulitan mendapatkan bahan baku.

Harga bahan baku kopi melonjak tinggi, kesulitan modal usaha hingga penurunan produksi dan Omzet penjualan.

"Kendala saat ini kadang sulit mendapatkan bahan baku, ongkos transport yang mahal, disamping itu harga biji kopi saat ini mahal. Kemarin aja beli Rp 75 ribu perkilo, sehingga produksi kita juga turun, saat ini dalam sebulan nya hanya mampu produksi sebanyak 200 kilogram biji kopi," bebernya.

Sehingga Omzet yang diperoleh saat ini menurun sekitar 25 persen atau sekitar Rp 20 juta setiap bulan nya, jumlah tersebut belum dipotong modal dan biaya operasional.

Hal itu berbanding jauh dari produksi kopi Mulyadi yang bisa mencapai 1 ton dalam sebulan, ketika harga bahan baku biji kopi masih diharga Rp 20 ribu.

Meski terjadi penurunan produksi dan pendapatan, namun dapur produksi pengolahan kopi miliknya tetap bertahan, dikarenakan masih ada pelanggan setia produk kopi miliknya sampai dengan saat ini.

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved