Mimbar Jumat
Memahami Pesan Nabi Ipar Adalah Maut
SEDANG viral di kalangan masyarakat Indonesia saat ini, sebuah film bercorak drama keluarga berjudul Ipar adalah Maut.
Diksi yang digunakan, adalah kata maut yang bermakna kematian. Hal ini memberikan pemahaman mendalam bahwa jika melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam agama dapat membawa dampak serius, seperti kematian moral atau spiritual.
Lebih lanjut Imam Ibn Hajar al-Asqalani menegaskan bahwa ipar dianggap setara dengan maut karena potensi keburukan yang dapat terjadi karena kehadirannya. Tidak hanya sebatas kekhawatiran akan terjerumus pada jurang perselingkuhan.
Kata ipar yang disebutkan dalam hadis tidak menunjuk kepada jenis kelamin tertentu yang saling berpasangan. Sangat tidak lazim akan terjadi perselingkuhan antara ipar yang sama jenis kelaminnya.
Penafsiran lain terhadap makna hadis ipar adalah maut adalah karena apabila ipar sering berkumpul bersama tanpa adanya batasan yang selazimnya maka cenderung akan membuat rumah tangga menjadi rusak akibat adanya kecemburuan.
Masuknya ipar dengan membawa anggapan jika mereka adalah kerabat dekat yang memiliki hak, sehingga kadangkala kebabblasan dan melampaui batas ruang privasi.
Tidak jarang seorang ipar turut campur dalam mengatur arah kebijakan rumah tangga melebihi kapasitas yang seharusnya. Padahal Islam sangat menjunjung tinggi hak privasi dan keutuhan rumah tangga.
Campur tangan pihak ketiga termasuk ipar hakikatnya dapat mengganggu keharmonisan dan kerahasiaan di rumah tangga (Q.S. al Hujurat, 12).
Selanjutnya tidak kalah pentingnya dalam pemahaman hadis adalah memegang prinsip bahwa pesan Nabi tersebut tidak hendak menjauhkan seseorang dari ipar dan keluarga besar.
Akan tetapi Islam sebagai agama manusia sangat memahami potensi diri yang akan menyebabkan dia terjerumus pada kerusakan sehingga mencegahnya.
Sebagaimana penyebab yang sangat banyak dapat mengantarkan seseorang pada kematian maka sebanyak itu pula potensi kemudharatan bisa menghampiri kehidupan manusia dan menyebabkan karamnya biduk rumah tangga.
Tidak harus bertemu dengan singa maka kematian akan menghampiri manusia. Cukup duduk dan berdiam maka kematian bisa saja datang jika sudah waktunya.
Justru tidak sedikit manusia yang bisa hidup damai dengan hewan buas pemangsa manusia. Persahabatan antara Valentin Gruener dan seekor singa bernama Sirga misalnya telah membantah slogan yang berasal dari tanah Arab tersebut.
Pemandangan menyentuh dapat disaksikan manakala keduanya bertemu. Sang singa akan melompat ke dalam pelukan sahabatnya Gruener dengan lengan terbuka, merengkuh dalam pelukan hangat berbulu dan di antara kuku-kuku runcing serta taring-taring yang tajam. Singa dalam realita ini bukanlah kematian bagi seorang Gruener.
Potensi kemudharatan sesungguhnya bisa datang dari mana saja termasuk dari dalam diri manusia sendiri dan orang lain yang seharusnya melindungi.
Karena gagasan untuk menolak atau menahan diri dari tindakan yang dapat menyebabkan bahaya, kerusakan atau konsekwansi negatif hakikatnya berasal dari dalam diri manusia secara individual.
Radikalisme Agama dan Pedagogy of Love |
![]() |
---|
Menjaga Bumi: Warisan Peradaban Islam dalam Menghadapi Krisis Lingkungan |
![]() |
---|
Toleransi dan Pendidikan Agama Islam, Menjaga Harmoni dalam Kehidupan Berbangsa |
![]() |
---|
Serukan Aspirasi Tanpa Anarki Pesan Nabi untuk Penduduk Negeri |
![]() |
---|
Refleksi Ruhani di Bulan Merdeka, Memaknai Kebebasan Jiwa saat Tidur |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.