Opini

Mengulas Orisinalitas Karya Ciptaan Artificial Intelligence Kecerdasan Buatan

BEBERAPA waktu yang lalu, banyak sekali bermunculan media-media yang berisikan video yang kelihatannya unik, namun agak sedikit kontroversial

Editor: Yandi Triansyah
handout
Muslim Nugraha, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan Peneliti Pusat Kajian Hukum Sriwijaya (SLC) 

Muslim Nugraha, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan Peneliti Pusat Kajian Hukum Sriwijaya (SLC)


SRIPOKU.COM -  BEBERAPA waktu yang lalu, banyak sekali bermunculan media-media yang berisikan video yang kelihatannya unik, namun agak sedikit kontroversial yang jika kita mau menelusurinya lagi lebih lanjut.

Tentunya kita sudah tidak heran jika menemukan konten video yang menyebar di media sosial dengan “modifikasi suara”.

Seperti contoh konten seorang penyanyi yang terdengar menyanyikan suatu lagu, namun ternyata unikny, itu malah suara hasil editing dan bukanlah suara asli penyanyi tersebut.

Mungkin bagi yang memiliki euphoria tinggi dalam menjelajah media sosial, sudah tidak asing dengan konten-konten tersebut.

Para konten kreator tersebut dapat mengubah suara seseorang dalam suatu video menjadi suara orang lain sesuai keinginan, layaknya seorang produser yang dapat mengganti setiap pemain dalam suatu film.

Bagi masyarakat, ini mungkin hanyalah sedikit hiburan semata, peredam letihnya tubuh disaat setelah seharian bergulat dengan hiruk-pikuk novel kehidupan.

Namun ternyata ada hal yang menarik sebenarnya disini, “apakah ini merupakan sebuah kebebasan berekspresi di masa sekarang?” yang dimana sebenarnya masyarakat masa kini sudah sering sekali menggaungkan ungkapan tersebut.

Tulisan ini tidak membahas mengenai kebenaran akan kebebasan berekspresi tersebut, namun lebih kepada sarana dalam menciptakan konten-konten tersebut, sebuah “sosok bayangan” yaitu Artificial Intelligence atau yang dikenal Kecerdasan Buatan.

Perlu kita pahami, bahwa ekspresi olah pikir manusia merupakan bukti nyata akan berjalanannya fungsi akal pada manusia yang menopang kehidupan manusia, baik ketika kita membicarakan perkembangan manusia, maupun ketika membahas bagaimana hubungan antar manusia. Ekspresi ini merupakan manifestasi dari kemampuan manusia dalam memanfaatkan akal pikiran yang dianugerahi oleh Tuhan untuk berpikir, merasa, dan mencipta.

Inilah yang merupakan cerminan dari betapa kompleksnya segala hal-hal yang ada dalam hidup manusia, baik dalam hal kedalaman pengalaman manusia, serta kemampuannya untuk mencipta dan beradaptasi dengan berbagai situasi dalam kehidupan.

Hal tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk seperti misalnya dalam penggunaan bahasa dalam berkomunikasi, kesenian yang merupakan hasil olah cipta, rasa, dan karsa, ilmu pengetahuan dan literatur, serta segala hal-hal yang berkaitan dengan teknologi. Setelah mengeluarkan luapan ekspresi, tentunya pasti ada hasil nyata dari ekpresi manusia tersebut. Hasil nyata ini sebenarnya dapat dinilai secara ekonomis dan diukur dengan nilai finansial, meskipun dalam kenyataannya juga banyak hasil luapan ekspresi yang tidak memiliki cukup ruang kesempatan dalam memperoleh keuntungan ekonomis.

Inilah yang disebut sebagai “Kekayaan Intelektual”

Hasil kerja olah pikiran, rasio, dan nalar manusia yang akhirnya menghasilkan sebuah benda immateril (benda tidak berwujud) yang berbentuk “hak” itulah yang bisa diklaim dan bernilai secara ekonomis. Semua fasilitas yang bisa kita nikmati di masa sekarang ini adalah buah karya kerja keras pikiran para penemu-penemu dimasa lampau.

Penemuan-penemuan tersebut dapat mereka nikmati keuntungan ekonomisnya sebagai hasil dari kepemilikan kekayaan intelektual atas benda-benda yang menjadi penemuan mereka. Kita bisa memahami bahwa hal tersebut bukanlah hal yang mudah, karena hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya secara maksimal sajalah yang dapat menghasilkan kekayaan intelektual tersebut. Idealnya hanya orang yang menghasilkan karya dengan kerja olah pikirannya yang berhak menikmati keuntungan ekonomis dari kreativitas intelektualnya.

Hak cipta yang merupakan satu dintara kekayaan intelektual melindungi segala karya ciptaan pada bidang seni, sastra, dan pengetahuan, dan merupakan hak eksklusif Pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.

Itulah yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Dalam kaitannya dengan ekspresi manusia, maka hak cipta itu sendiri merupakan luapan ekspresi manusia yang menghasilkan sesuatu yang nyata, dan bernilai ekonomis.

Seperti contoh lagu, puisi, buku, fotografi, video, drama, dan berbagai hal dalam lingkup seni, sastra, dan pengetahuan.

Jika kita kembali ke wacana mengenai konten modifikasi suara yang dihasilkan melalui kecerdasan buatan, tentunya ini menjadi suatu hal yang menimbulkan berbagai macam polemik yang pada ujungnya memiliki kecenderungan yang sama dan signifikan dengan mempertanyakan keabsahan suatu karya cipta yang dibuat oleh kecerdasan buatan.

Pada prinsipnya, hak cipta melindungi setiap ciptaan setiap manusia baik yang didafttarkan maupun yang tidak didaftarkan. Namun bagaimana dengan kecerdasan buatan? Dapatkah karya-karya yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan juga berhak dilindungi dengan Hak Cipta ?

John McCarthy mendeskripsikan kecerdasan buatan adalah kemampuan komputer untuk mencapai keberhasilan dalam menyelesaikan suatu permasalahan layaknya manusia (Jarot Dian Susatyono, 2018).

Kemampuan manusia dalam menyelesaikan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi menunjukkan tingkat kecerdasan manusia, yang didapatkan dari pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki.

Namun hal yang paling jelas menentukan tingkatan kecerdasan manusia adalah, kemampuannya untuk mengambil keputusan atas suatu permasalahan. Kecerdasan buatan menjadi bagian dari ilmu komputer yang mempelajari bagaimana membuat mesin komputer dapat memecahkan permasalahan sebaik yang dilakukan manusia.

Hal yang membedakan antara teknologi biasa dan teknologi yang berbasis kecerdasan buatan adalah adanya kemampuan dari kecerdasan buatan untuk belajar, beradaptasi, dan membuat keputusan secara otomatis berdasarkan data dan pengalaman, sementara mesin teknologi biasa hanyalah menjalankan tugas-tugas yang telah diprogramkan secara eksplisit oleh manusia tanpa kemampuan beradaptasi. Namun mesti dipahami, keputusan yang diambil oleh kecerdasan buatan umumnya didasarkan pada data yang tersedia dan algoritma yang digunakan. Terkadang malah harus seringkali diawasi atau divalidasi oleh manusia.

Kaitannya dengan hasil karya cipta yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan, maka karya cipta yang dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan kemungkinan tidak memiliki orisinalitas. Alasannya sederhana, karya-karya tersebut hanya bisa dihasilkan oleh data dan algoritma yang sudah disediakan.

Boleh jadi karya tersebut tidak memenuhi standar dengan hanya menggabungkan atau mengubah karya yang sudah ada tanpa elemen orisinalitas yang khas.

Karya tersebut juga tidak memiliki unsur dari luapan ekspresi manusia yang bersifat khas, pribadi, dan melekat pada diri pencipta seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta.

Padahal konsep kekayaan intelektual adalah hasil nyata dari olah pikir manusia, yang memberikan makna bahwa maka hanya ciptaan yang dibuat oleh manusia yang dilindungi, Secara teori, karya-karya yg dibuat oleh bantuan kecerdasan buatan dapat dianggap bebas hak cipta karena tidak dibuat langsung sebagai hasi ekspresi manusia. Dengan demikian, karya tersebut seharusnya dapat secara bebas digunakan kembali oleh siapa saja.

Hal yang cukup kompleks adalah meskipun teknologi kecerdasan buatan bisa mendeteksi adanya dugaan plagiarisme pada karya tersebut, namun tidak ada alasan untuk menuntut ganti rugi karena pembajakan karya yang dibuat oleh kecerdasan buatan tidak mendapatkan perlindungan.

Sebenernya perlindungan hak cipta dapat diberikan kepada karya yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan, dengan catatan, selama masih ada campur tangan manusia yang signifikan dalam pembuatan karya tersebut.

Namun, ketika karya sepenuhnya dihasilkan oleh kecerdasan buatan tanpa kontribusi kreatif dari manusia, maka karya tersebut seharusnya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan hak cipta berdasarkan UU Hak Cipta.

Kembali kepada konsep awal, pada dasarnya kecerdasan buatan merupakan tools yg dibuat untuk membantu mempermudah pekerjaan manusia, terutama dalam menghasilkan karya-karya cipta.

Memberikan hak cipta kepada karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh kecerdasan buatan, secara tidak langsung bermakna telah mengaburkan tujuan diberikannya perlindungan kekayaan intelektual itu sendiri, yakni mendorong kreativitas dan inovasi manusia, sebab kecerdasan buatan tidak memiliki kesadaran, niat, atau kreativitas dalam arti manusiawi.

Secara filosofis, hal ini telah dijelaskan dalam UU Hak Cipta bahwa kekayaan intelektual mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan. Masyarakat harus memahami, bahwa hanya karya yang dihasilkan dari olah pikiran dan ekspresi manusia yang layak mendapatkan perlindungan hak cipta, sebagai wujud penghargaan bagi para pencipta. (*)
 

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved