Mimbar Jumat: Menipu Hakikat dan Konsekuensi

Penetrasi Internet Indonesia 2024 berhasil mengungkapkan bahwa warga Republik Indonesia tercinta rawan menjadi korban penipuan.

Editor: adi kurniawan
Handout
Mimbar Jumat: Menipu Hakikat dan Konsekuensi, (Jumat 17/5/2024) 

Ditulis Oleh: Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag
Dirda LPPK Sakinah Kota Palembang
Dosen Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang


BERDASARKAN riset dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dilakukan pada periode 18 Desember 2023 hingga 19 Januari 2024 bertajuk Penetrasi Internet Indonesia 2024 berhasil mengungkapkan bahwa warga Republik Indonesia tercinta rawan menjadi korban penipuan.

Terlepas dari mana saja pihak yang datang untuk melakukan penipuan dan menggunakan media apapun, faktanya penipuan memang telah semakin merajalela dan membawa kepada dampak negatif serta menelan banyak korban.

Tidak sedikit dari korban penipuan yang depresi bahkan pada akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup.

Menipu merupakan salah satu tindakan yang dapat merusak hubungan di antara sesama manusia.

Menyebabkan hilangnya kepercayaan, timbul rasa curiga yang berkepanjangan, hilangnya rasa empati dan kebersamaan bahkan hati akan senantiasa diliputi oleh dendam.

Karenanya Islam sangat membenci orang yang yang melakukan penipuan. Rasulullah saw bersabda siapapun yang melakukan tindak penipuan maka dia bukan dari golonganku (H.R. Muslim, 147).

Selanjutnya Rasul juga menjelaskan bahwa menipu merupakan sifat dari orang munafik (al-Bukhariy, 33), dan tidak akan masuk surga bagi seorang penipu H.R. Ahmad).

Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag Dirda LPPK Sakinah Kota dan Dosen UIN Raden Fatah Palembang
Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag Dirda LPPK Sakinah Kota dan Dosen UIN Raden Fatah Palembang (Handout)

Di antara beragam jenis bentuk tindak penipuan yang kesemuanya mendapat kecaman dari Allah, maka menipu Allah merupakan tindak penipuan yang memiliki dampak terberat.

Oleh karenanya jangan sampai seorang muslim terjebak pada perilaku menipu Allah meskipun tanpa ia sadari. Pada surat al-Baqarah ayat 9 dijelaskan mengenai hakikat dan konsekwensi perilaku menipu Allah.

Firman Allah: “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedangkan mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta (Q.S. al-Baqarah, 9-10).

Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa sebab yang menjadi latar belakang diturunkannya ayat tersebut adalah Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya ketika suatu hari bertemu dengan beberapa orang sahabat Rasul saw.

Sebelumnya Abdullah bin Ubay berkata kepada teman-temannya: “Lihatlah, bagaimana caraku mempermainkan mereka yang bodoh-bodoh itu!”.

Ia pun mendekat dan menjabat tangan Abu Bakar sambil berkata: “Selamat penghulu Bani Taim dan Syaikhul Islam dan orang kedua yang bersama Rasulullah di Gua (Tsur). Seseorang yang mengurbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah”.

Kemudian ia menjabat tangan `Ali bin Abi Thalib pula sambil berkata: “Selamat saudara sepupu Rasulullah saw, menantunya, dan penghulu Bani Hasyim setelah Rasulullah”.

Setelah itu mereka pun berpisah. Abdullah bin Ubay dengan penuh rasa bangga menasihatkan kepada kawan-kawannya untuk mencontoh apa yang baru saja ia lakukan.

“Berperilakulah sebagaimana kamu lihat perbuatanku tadi, jika kamu bertemu dengan mereka,”. Kawan-kawannya pun memuji-muji Abdullah bin Ubay.

Sementara itu di sisi lain setibanya para sahabat di hadapan Rasul, mereka memberitahukan peristiwa tersebut sehingga turunlah ayat.

Banyak pesan yang disampaikan oleh ayat 9 dan 10 surat al-Baqarah tersebut. Di antaranya adalah ruang lingkup perilaku menipu Allah.

Meskipun perilaku ditujukan kepada seseorang atau kelompok tertentu jika materi penipuan berkaitan dengan keimanan maka orang tersebut hakikatnya telah melakukan penipuan terhadap Allah.

Perlu untuk dipahami bahwa iman adalah pembenaran yang dilakukan oleh hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.

Iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya, selanjutnya pembenaran hati diikrarkan dengan lisan serta dibuktikan dengan amal perbuatan.

Dari sudut pandang fiqh iman dimaknai sebagai perbuatan mengetahui Allah dan sifat-sifatnya disertai dengan perilaku menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya.

Karena itu seorang muslim bisa dikatakan memiliki keimanan sempurna apabila ia telah memenuhi semua unsur yang tersebut.

Tiga unsur keimanan merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Sebab apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbatan maka orang tersebut tidak dapat disebut sebagai mukmin yang sempurna.

Firman Allah swt: Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang yang hanya beriman kepada Allah da Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa (Q.S. Fushilat, 15).

Rasulullah juga menjelaskan tentang ragam cabang keimanan yang disebut sebagai rukun iman, yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir serta iman kepada qada dan qadar (H.R. Muslim, 8).

Keimanan merupakan hal yang sangat penting. Jika diibaratkan sebagai peralatan elektrolik yang super canggih maka tidak akan memiliki fungsi maksimal apabila tidak disambungkan dengan arus listrik atau mesin penggerak lainnya.

Begitupun amal perbuatan dan segala bentuk kebaikan tidak akan sampai kepada nilai baik di sisi Allah bila tidak didasari oleh keimanan.

Bila disandarkan kepada hadis riwayat Muslim tersebut melakukan tindak penipuan terhadap Allah dalam hal keimanan tidak hanya berkaitan dengan pengakuan dan kepasrahan kepada Allah semata, tetapi juga terkait dengan keimanan terhadap adanya malaikat dengan sifat kepatuhannya terhadap perintah Allah, adanya kitab suci yang diturunkan kepada nabi dan rasul yang memuat aturan untuk dijadikan pedoman dalam hidup manusia.

Pengakuan terhadap eksistensi dan fungsi rasul sebagi manusia pilihn yang memiliki keistimewan untuk diteladan dan diikuti syariat Tuhan yang dibawanya.

Keimanan terhadap Hari Akhir yang menjadikan seseorang mampu berpikir, berperilaku baik sesuai rambu-rambu syariat agar dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan kelak.

Keyakinan adanya ketentuan baik dan buruk yang berlaku dalam kehidupan manusia, menjadikannya tidak merasa diri paling hebat dan memiliki kekuasaan karena keyakinan kepada taqdir atau ketetapan Allah yang pasti berlaku di atas semua rencana, ikhtiar dan harapan manusia.

Pesan berikutnya dari surat al-Baqarah ayat 9 dan 10 adalah jika melakukan satu tindak penipuan dalam lingkup keimanan, tidak hanya berarti melakukan penipuan terhadap Allah tetapi satu perilaku yang sama nilainya dengan melakukan penipuan terhadap seluruh umat Islam sejak Nabi Adam sampai dengan akhir zaman.

Dapat dibayangkan apabila satu kasus penipuan saja menjadikan seseorang dapat terlempar jauh dari surga Allah maka bagaimana dengan menipu seluruh ummaat Islam dari semua generasi.

Di penghujung ayat 10 surat al-Baqarah dijelaskan bahwa penipu keimanan akan mendapatkan siksa yang pedih kelak di neraka Jahannam.

Ketika seseorang merasa menang, bangga karena menurutnya telah berhasil menipu manusia lain tetapi sebenarnya yang terjadi adalah ia telah menipu dirinya sendiri.

Perilaku ini secara khusus akan menyebabkan kerasnya hati yang lama kelamaan menjadikan hati mati. Orang yang hatinya keras sangat tercela dan berada dalam kesesatan yang nyata.

Harus dipahami adalah seorang hamba tidaklah dihukum dengan satu hukuman yang lebih besar melaikan ketika Allah menjadikan hatinya keras.

Tidaklah Allah swt marah kepada suatu kaum dengan kemarahan yang termat dahsyat melainkan Allah berkenan mencabut rasa kasih sayang dari dalam hati seseorang.

Hati yang keras diawali dengan perasaan malas untuk mengerjakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah serta menganggap remeh kemaksiatan.

Tidak terpengaruh dengan pesan-pesan yang dibawa oleh al-Qur’an dansunnah. Tidak menjadi baik meskipun telah dihadapkan dengan berbagai macam ujian, musibah, cobaan atau apapun peristiwa yang dialaminya atau terjadi di sekitarnya.

Tidak merasa takut akan janji Allah serta ancaman-Nya. Bertambah-tambah rasa kecintaan terhadap dunia sehingga ia mendahulukannya di atas kepentingan akhirat.

Tidak tenang dan senantiasa merasa gundah. Selanjutnya bertambah-tambah maksiat yang dilakukannya terhadap Allah yang menjadikannya tidak memiliki kemampuan untuk mengenal Allah (Q.S. al-Shaf, 15).

Ketika Allah swt memberitahukan cara efektif yang ampuh untuk dijadikan sebagai penolong dalam menjalani segala bentuk ujian kehidupan, maka pergunakan itu sebaik-baiknya tanpa pernah merasa ragu.

Firman Allah jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu (Q.S. al-Baqarah, 45). Menjadikan shalat sebagai penolong disebabkan shalat adalah penyucian hati, mencegah dari kekejian dan kemungkaran.

Sikap sabar dan menahan diri dari apa yang dibenci merupakan penolong dalam menjalani masalah. Salah satu perintah Allah SWT kepada orang beriman saat berada dalam situasi terzalimi akibat penipuan misalnya adalah sabar menyerahkan segala urusan kepada Allah.

Tidak perlu berputus asa, merasa malu apalagi merasa terhina dan tidak berharga. Pengadilan Allah akan berlaku, meskipun mungkin tidak dihadirkan secara langsung namun percayalah tidak ada yang terlepas dari pengawasan Allah dan Allah adalah Maha Adil lagi Maha Bijaksana.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved