Mimbar Jumat

Mimbar Jumat: Integrasi Ilmu dan Spiritual: Membangun Manusia Seutuhnya

Integrasi ilmu dan spiritual dapat diimplementasikan lebih lanjut dalam sistem pendidikan khususnya perguruan tinggi, sehingga melahirkan manusia...

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
Dr Hj Choirun Niswah MAg. (Dosen FITK UIN Raden Fatah Palembang) 

Oleh: Dr. Hj. Choirun Niswah, M.Ag.

SRIPOKU.COM -- TANTANGAN pendidikan di dunia Islam adalah sekulerisasi akibat penetrasi Barat ke dunia Islam pada masa lalu. Meski ada yang nyaman, ada juga yang ingin untuk mengakhirinya dengan upaya integrasi keilmuan. Karena dengan penerapan integrasi keilmuan maka otomatis kita sudah melakukan penguatan spiritualitas dalam pendidikan kita.

Pada prinsipnya gagasan integrasi ilmu dan agama atau apapun istilahnya sesungguhnya agar tidak lagi terjadi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Sebab secara historis kemajuan dan perkembangan Islam yang pernah dialami pada masa lalu tidak mengenal dikotomi ilmu.

Pada masa kejayaan Islam 650-1250 M. Ilmu dipelajari secara utuh tidak ada perbedaan antara ilmu umum dan ilmu agama, sekolah umum dan sekolah agama, maka tidak mengherankan lahir cendikiawan-cendikiawan muslim yang mahir dalam berbagai bidang ilmu, sebagai contoh Ibnu Rusyd, selain sebagai seorang dokter, beliau adalah seorang ahli ilmu fiqh dengan kitab fiqhnya yang terkenal Bidayatul Mujtahid dan juga seorang filosof.

Para cendikiawan muslim meyakini ilmu pengetahuan sains dan agama sebagai suatu totalitas dan integralitas Islam yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebagaimana dikatakan Amin Abdullah dua “sejoli tersebut sangat serasi karena keduanya tidak sejenis.

Sebagian masyarakat menganggap bahwa ilmu agama itu lebih tinggi kedudukannya, sementara ilmu umum identik dengan ilmu keduniawian. Ilmu umum dihubungkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa ada kejelasan. Ilmu modern menganggap ilmu agama itu rendah karena hal-hal yang dianggap ghaib, seperti Tuhan, malaikat, dan sebagainya.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Bagi mereka, ilmu dapat dikatakan ilmiah apabila objek kajiannya bersifat empiris, sementara pembicaraan mengenai hal-hal yang ghaib tidak dapat dipisahkan dari ilmu agama. Ketika ilmu sekuler dikenalkan dalam dunia Islam melalui impralisme barat, maka terjadinya dikotomi. Penjajah Baratlah yang meracuni pemikiran umat Islam mengenai dikotomi ilmu. Hal ini terlihat dari pembelajaran agama yang kuat di pesantren tradisional dan perbandingannya dengan ilmu umum yang diajarkan di sekolah. Orang-orang dengan pemahaman ilmu tradisional meyakini bahwa ilmu-ilmu umum itu bid'ah atau haram dipelajari karena asal ilmunya dari orang kafir.

Sementara itu, pemegang keyakinan ilmu umum menganggap ilmu agama hanya bercerita tentang makna dan tidak bersifat empiris serta sifatnya bukan fakta. Perbedaan inilah yang sampai saat ini terjadi dan menimbulkan problema-problema baru lainnya dimana orang hanya akan melihat ilmu agama sebagai muatan religi sementara ilmu umum seluruhnya dilihat netral dari segi religi.

Islam memandang, relevansi terjadi antara fenomena yang terjadi di alam semesta dengan kuasa Ilahi. Antara ilmu dan spiritual dalam hal ini adalah agama suatu yang tidak dapat dipisahkan. Karena keduanya berasal dari Allah. Sunnatullah berasal dari Allah melahirkan ilmu pengetahuan dan sains. Begitu juga Wahyu berasal dari Allah yang melahirkan agama. Alam yang menjadi objek sains, dan teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan hadis) yang menjadi objek ilmu agama, Bagaimana mungkin keduanya bertentangan karena berasal dari sumber yang sama yaitu Allah Swt.

Spritualitas menempati posisi puncak sebagai tujuan utama bersama dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Artinya, bahwa proses pelaksanaan tri dharma peguruan tinggi diharapkan akan melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki spiritualitas yang tinggi. Tidak hanya itu, spiritualitas diharapkan menjadi basis nilai yang menjiwai seluruh kegiatan akademik tri dharma Pegurutan Tinggi.

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Youtube Sriwijaya Post di bawah ini:

Logo HUT Sripoku 36 Tahun.

Pentingnya spiritualitas sebagai sebuah basis nilai yang perlu menjadi perhatian karena dua hal; pertama, pendidikan tanpa basis nilai spiritualitas hanya akan melahirkan ilmuwan, tetapi tidak memiliki tanggungjawab sosial, baik pada kehidupan kemanusian maupun lingkungan masyarakat. Kedua, absennya spiritualitas dalam konteks keberagamaan pun memiliki dampak yang sangat ironis.

Religiusitas yang ditandai dengan maraknya simbol-simbol keagamaan, ternyata tidak berbanding lurus dengan penghayatan seseorang terhadap nilai-nilai luhur agamanya. Hal itu dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, fenomena intoleransi dan hate speech, sampai pengkafiran adalah sesuatu yang marak terjadi baik di dunia nyata maupun maya. Bukan hanya dilakukan oleh masyarakat yang awam, tetapi juga masyarakat yang merasa memiliki pendidikan tinggi. Fakta ini tidak lepas dari hilangnya spiritualitas sebagai basis nilai yang membentuk pemahaman keagamaan masyarakat.

Keringnya nilai-nilai spiritualitas merupakan fenomena yang menjadi problema yang semakin luas pada dunia pendidikan era millenial. Di tengah berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa dahsyat, muatan paham sekularisme menyisip erat sehingga menjadikan manusia modern yang bermental kering akan spiritualitas, hal ini dapat mengakibatkan kehancuran pada berbagai bidang kehidupan. Spritualitas sekalipun sesuatu yang abstrak, tapi kemudian dapat dikenali dengan beberapa karakteristik utama di antarnya adalah persepsi tentang hubungan yang sangat dalam antara Tuhan dan individu, yakni Tuhan “tinggal” di dalam dan sebuah perasaan yang mendalam tentang ke-satuan atau kedekatan dengan Tuhan).

Halaman
12
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved