Mimbar Jumat
Menjadi Pendidik Profesional untuk Memperkuat Generasi Milenial yang Rahmatan Lil Aalamien
Pendidikan keterampilan berperan untuk membantu memasuki dunia kerja, sedangkan pendidikan spiritual dan akhlak berfungsi sebagai jiwa.
Oleh: Dr. Fitri Oviyanti, M.Ag
(Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang)
SRIPOKU.COM -- PENDIDIK merupakan komponen manusiawi yang sangat penting perannya dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidik menjadi motivator, dinamisator, dan teladan yang bermakna bagi peserta didik. Rasuliullah SAW merupakan pendidik bagi umat Islam yang diutus oleh Allah SWT untuk mendidik manusia. Hal ini tertulis dalam al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 107: Artinya:” Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Konsep Islam Rahmatan lil ‘alamien.
Sayid Qutub saat menafsirkan Surat Al-Anbiya: 107, mengatakan bahwa makna Rahmatan Lil alamin adalah petunjuk bagi semua manusia, mengajak semua manusia kepada petunjuk, tapi kepada mereka yang siap dan mau menerima petunjuk itu, walaupun kasih sayang diberikan oleh Allah swt orang beriman dan yang tidak beriman. (Arif, 2020).
Rahmatan lil ‘aalamiin, kalimat ini terdiri dari dua kata, pertama: Rahmat yang diambil dari kata رمح yang bermakna Rahim wanita, ketika disebut رمحة maka artinya adalah “kasih sayang dan kelembutan yang diiringi berbuat baik kepada yang disayangi”1 . Kata رمحة disebutkan sebanyak 25 ayat dalam Al-Qur’an dengan tema yang berbeda-beda, yang menunjukkan bahwa pentingnya dan tingginya kedudukan rahmat dalam ajaran Islam.
Kedua kata “Lil ‘alamiin” artinya adalah “untuk alam-alam”. At-Thabari berkata: “Lil ‘aalamiin” merupakan jamak dari kata “’alam”, yaitu nama bagi jenis-jenis umat atau bangsa, setiap jenis suku bangsa disebut “Alam”, karenanya manusia juga disebut alam dan setiap manusia disuatu zaman disebut alam.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Ajaran Islam Rahmatan lil ‘aalamiien sebenarnya bukan hal yang baru, pondasinya sangat kuat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Secara ettimologis, Islam berarti “damai”, sementara rahmatan lil ‘aalamiien berarti “Kasih sayang bagi semesta alam.” Dengan demikian, generasi yang rahmatan lil ‘alamiien berarti generasi yang kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia dan alam semesta. Islam rahmatan lil ‘aalamiien memiliki beberapa ciri, yaitu:
1. At Tawasuth yaitu sikap tengah-tengah, sedang- sedang, tidak extrim kiri ataupun kanan;
2. At Tawazun yaitu seimbang termasuk dalam penggunaan dalil Naqli maupun 'aqli, seimbang vertikal dan horizontal; dan
3. At Tasaamuh yaitu toleran menghargai perbedaan serta menghargai orang.
Generasi Milenial yang Rahmatan lil’alamien.
Generasi milenial merupakan bagian dari pertumbuhan dan perkembangan yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga menimbulkan perubahan yang berjalan dengan sangat cepat. Istilah generasi milenial ditemukan oleh seorang peneliti ahli demografis, Willian Straus dan Neil Howe. (Hardika et al., 2019).
Generasi milenial adalah generasi yang produktif, praktis, kreatif, kritis, dan inovatif. Kita semua sangat mengharapkan hadirnya generasi milenial yang berkualitas dan berkeseimbangan, baik dari aspek agama (akidah, syari’ah, akhlak), aspek Pendidikan dan ketrampilan, aspek keberadaban (budaya, nilai dan teknologi), aspek kesejahteraan (ekonomi dan non ekonomi), serta aspek sosial (kemasyarakatan dan kebangsaan). (Khamida, 2022).
Generasi milenial yang rahmatan lil ‘alamien sangat dibutuhkan di era society 5.0. era ini membutuhkan generasi yang memahami al-Qur’an dan Hadits untuk kebaikan semua manusia, alam, dan lingkungan. Rahmatan lil ‘alamien merupakan ciri keagungan Islam yang didalamnya terdapat makna penjabaran kongkrit bahwa orang lain ikut menikmatinya, merasakan faedahnya, terangkat martabatnya, dan siapa pun yang membutuhkannya akan terbantu olehnya.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Implementasi rahmatan lil ‘aalamien membutuhkan rasionalitas, penguasaan diri, mampu mencari jalan keluar, pemaaf, kasih sayang, berbaik sangka, tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), adil, dan demokratis. Untuk itu dibutuhkan sebuah sikap yang bijaksana dalam mengelolanya, yaitu sebuah sikap yang professional, tidak mudah terpancing, tidak emosional, tetapi tetap sabar sembari memberikan pemahaman yang lengkap tentang Islam. Generasi milenial yang rahmatan lil ‘alamien akan mampu membumikan nilai-nilai al-Qur’an.
Tanggung jawab Pendidik Menguatkan Generasi Milenial yang Rahmatan Lil ‘alamiien.
Tanggung jawab guru sebagai pendidik pada era milenial menuntut guru tidak hanya memiliki kemampuan profesional, tetapi juga guru harus memiliki nilai-nilai yang mampu membentuk watak serta kepribadian peserta didiknya agar siap menghadapi dunianya. Diantara nilai yang harus dimiliki oleh guru adalah nilai-nilai rahmatan lil ‘alamien, yang meliputi humanis, kerja sama, sosial-profetik, toleransi, keteladanan, dialogis, serta peningkatan sumber daya manusia. (Mucharomah, 2017).
Jika konsep Islam rahmatan lil ‘alamien dihubungkan dengan tanggung jawab pendidik pada era milenial, maka dibutuhkan model pendidikan berbasis rahmatan lil ‘alamien yang ditandai dengan ciri-ciri program sebagai berikut:
Pertama, mengembangkan Pendidikan Islam damai, yaitu Pendidikan yang diarahkan kepada pengembangan pribadi manusia untuk memperkuat rasa hormat kepada hak azazi manusia dan kebebasan mendasar serta perlunya kemajuan pemahaman, toleransi dan persahabatan antar bangsa, ras, atau kelompok agama dan akan memajukan aktivitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian. (Saleh, 2020). Visi pendidikan damai harus tercermin dalam seluruh komponen pendidikan: tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar,tenaga pendidik, pelayanan administrasi, lingkungan dan sebagainya.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Tujuan pendidikan harus memanusiakan manusia, kurikulum dirancang bersama guru dan peserta didik, proses belajar mengajar berlangsung secara manusiawi dan menyenangkan; tenaga pendidik yang profesional, hangat, menarik, inspiratif, humoris dan menyenangkan; pelayanan yang adil, manusiawi dan menyenangkan, serta lingkungan yang bersih, tertib, aman, nyaman, dan inspiratif.
Kedua, mengembangkan pendidikan kewirausahaan serta membangun kemitraan antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industri. Pengembangan pendidikan kewirausahaan ini pun harus tercermin pada semua komponen pendidikan. Tujuan pendidikan harus mencakup mempersiapkan lulusan agar bisa hidup di masyarakat; dalam kurikulum harus dimuat mata pelajaran teori dan praktek membuka usaha produk barang dan jasa, tenaga pendidiknya juga harus melibatkan kalangan praktisi.
Ketiga, mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberikan petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan. Tidak hanya mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Yaitu cita-cita yang dimanahkan Allah dalam surat al-Imron ayat 110. (Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan), dan beriman kepada Allah).
Ada tiga unsur paradigma profetik yang terdapat dalam ayat itu, yaitu Humanisasi yang artinya memanusiakan manusia dan implementasi dari nilai amar ma’ruf; liberasi yang berarti pembebasan dan merupakan implementasi dari nilai nahyi munkar; dan transendensi yang merupakan implementasi dari nilai tu’minuuna billahi. (Anisa et al., 2021).
Keempat, memasukkan materi pelajaran tentang toleransi beragama dan pluralisme. Tujuannya agar peserta didik mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang keragaman dalam beragama dan memiliki sikap toleransi dalam beragama.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Youtube Sriwijaya Post di bawah ini:

Rasa kasih sayang dan kemanusiaan harus menjadi dasar di atas semua sikap peserta didik, sehingga tujuan utama agama Islam untuk memanusiakan, memuliakan, mengasihi, dan mensejahterakan manusia dapat terlaksana.
Untuk berbagai faktor yang bisa memicu terjadi konflik antara penganut agama, seperti perbedaan doktrin, kegiatan dakwah, pendirian rumah ibadah, dan sikap-sikap abad pertengahan,yaitu tertutup, sektarian, dendam, benci, dan rasa permusuhan harus dibuang dan diganti dengan sikap yang senantiasa mencari titik temu dengan mengedepankan sikap yang inklusif, toleran, moderat, pemaaf, saling menghormati, berbaik sangka, dan tolong menolong.
Kelima, mengajarkan Islam yang moderat sebagaimana yang telah menjadi mainstreaming Islam yang dianut mayoritas muslim di Indonesia sebagaimana yang dirumuskan kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan organisasi keislaman lainnya. Di dalam paham Islam aswaja ini,perbedaan pendapat sangat dihormati, tidak ada klaim kebenaran mutlak, yang memiliki kebenaran mutlak hanya Tuhan, dan tidak saling mengkafirkan.
Keenam, mengembangkan pendidikan yang seimbang antara kekuatan penalaran dan pengembangan wawasan intelektual, yang meliputi penguasaan sains dan teknologi(head), pengembangan spiritualitas dan akhlak mulia (heart), dan keterampilan bekerja vokasional (hand), yang antara satu dan lainnya saling menopang. Akal pikiran berperan memberikan landasan rasional, pendidikan keterampilan berperan untuk membantu memasuki dunia kerja, sedangkan pendidikan spiritual dan akhlak berfungsi sebagai jiwa.
Wallahu a’lam bisshowab. (*)
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.