Mimbar Jumat

Mimbar Jumat: Perintah Berlaku Adil Adalah Titah Tuhan

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
Otoman SS, MHum. (Dosen Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab & Humaniora Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang) 

Oleh: Otoman, S.S., M. Hum.
(Dosen Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab & Humaniora Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang)

SRIPOKU.COM -- KEADILAN merupakan taraf hidup yang diinginkan masyarakat dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Lembaga-lembaga sosial yang disebut Negara dan lembaga-lembaga serta organisasi-organisasi internasional yang mengikat bangsa-bangsa tampaknya mempunyai visi dan misi yang sama dalam hal keadilan, meskipun persepsi dan pandangan mereka mungkin berbeda mengenai masalah ini. Keadilan adalah konsep yang relatif.

Skala keadilan sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain, dan setiap skala keadilan didefinisikan dan diputuskan secara sosial berdasarkan tatanan sosial masyarakat yang bersangkutan. Dilihat dari sumbernya, keadilan menurut Majid Khaddari (1999) terbagi menjadi dua jenis, yaitu keadilan positif dan keadilan relasional.

Keadilan positif merupakan konsep produk manusia yang dikonstruksikan menurut kepentingan individu dan kolektifnya. Skala keadilan- dalam hal ini- berkembang melalui kesepakatan diam-diam dan tindakan resmi. Singkatnya, keadilan jenis ini merupakan produk interaksi antara harapan dan kondisi yang ada. Sedangkan kebenaran yang diwahyukan adalah kebenaran yang berasal dari Tuhan yang disebut kebenaran Illahi. Keadilan ini dinilai berlaku bagi seluruh umat manusia, khususnya umat beriman yang taat.

Wahbah Zuhayli (1991) dalam tafsir Surah Al-Shura:14 mengatakan bahwa keadilan merupakan salah satu ajaran yang dijalankan oleh setiap rasul, bahkan konsep keadilan tidak berubah dari satu generasi rasul ke generasi berikutnya, dan diakhiri dengan Nabi Muhammad SAW.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Jika Al-Quran dan Hadits dianggap sebagai dua sumber utama, maka umat Islam mempunyai dasar yang kuat untuk memperdalam dan memahami konsep keadilan yang kemudian dapat diterapkan dalam kehidupan pribadi dan sosial, termasuk kehidupan berbangsa secara keseluruhan. Al-Qur'an, sumber utama ajaran Islam, banyak membahas tentang keadilan. Menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi (1987), kata al-Adl dalam berbagai bentuknya disebutkan hingga 28 kali, kata al-Qisth dalam berbagai derivasinya disebutkan hingga 27 kali, dan kata al-Qisth dalam berbagai derivasinya disebutkan hingga 27 kali, dan kata al-Mizan yang mengandung makna terkait keduanya disebutkan sebanyak 23 kali. Banyaknya ayat Al-Quran yang berbicara tentang keadilan menunjukkan bahwa Allah SWT adalah sumber keadilan dan memerintahkan para rasul-Nya serta seluruh hamba-Nya untuk menegakkan keadilan di dunia ini.

Menurut M. Quraisy Shihab (2000), walaupun tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang secara eksplisit menunjukkan bahwa al-‘adl merupakan sifat Allah, namun banyak ayat yang menerangkan keadilan-Nya. Oleh karena itu, dalam kajian al-Asma al-Husna, al-Adl merupakan salah satu asma Allah, tepatnya asma yang ke-30 dari 99 al-Asma al-Husna.

Allah Swt dengan firman-Nya memerintahkan menegakkan keadilan kepada para rasul-Nya dan seluruh hamba-Nya. Perintah itu diantaranya terdapat pada surat al-Hadid:25: "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat menegakkan keadilan". Ayat ini, secara gamblang, mengandung pengertian bahwa setiap rasul adalah pengemban keadilan Tuhan yang tertuang dalam al-Kitab.

Ayat itu juga menegaskan bahwa umat manusia mempunyai tugas yang sama dengan para rasul dalam menegakkan keadilan, dan acuan umat Islam dalam menegakkan keadilan adalah al-Qur’an. Dalam surat al-Maidah:8-9, Allah memerintahkan orang beriman untuk menegakkan keadilan, dan keadilan itu sendiri diklasifikasikan ke dalam amal salih. Oleh karena itu orang mukmin yang menegakkan keadilan dapat dikategorikan sebagai orang yang telah berupaya meningkatkan kualitas ketakwaan dirinya.

Keadilan itu sebagai salah satu indikator yang paling nyata dan dekat dengan ketakwaan. Firman Allah tersebut adalah: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih, bahwa untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Logo instagram.com/sriwijayapost/

Bila ditelisik beberapa ayat tentang keadilan di dalam al-Quran, dapat dipahami bahwa perintah keadilan itu meliputi segala aspek kehidupan manusia. Adil, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1990), berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang kepada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang.

Keadilan berarti kesamaan, berasal dari kata kerja ‘adala dan mashdarnya adalah al-‘adl dan al-idl. Al-‘adl untuk menunjukkan sesuatu yang hanya ditangkap oleh bashirah (akal pikiran), dan al-‘idl untuk menunjukkan keadilan yang bisa ditangkap oleh panca indera. Contoh yang pertama adalah keadilan di bidang hukum, dan contoh yang kedua antara lain: keadilan dalam timbangan, ukuran, dan hitungan (al-Asfahani, 1972). M. Quraisy Shihab (1996) mengatakan bahwa keadilan yang berarti kesamaan memberi kesan adanya dua pihak atau lebih, karena kalau hanya satu pihak, tidak akan terjadi adanya persamaan. Kata al- ‘adl demikian, menurut Quraisy Shihab diungkapkan oleh Al-Qur’an antara lain dengan kata al- ‘adl, al-qisth, dan al-mizan.

Sementara itu, Majid Khadduri (1999) menyebutkan. Sinonim kata al- ‘adl; al-qisth, al-qashd, al-istiqamah, al-wasath, al-nashib, dan al-hishsha. Kata adil itu mengandung arti: pertama; meluruskan atau duduk lurus, mengamandemen atau mengubah, kedua; melarikan diri, berangkat atau mengelak dari satu jalan yang keliru menuju jalan lain yang benar, ketiga sama atau sepadan atau menyamakan, dan keempat; menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam suatu keadaan yang seimbang.

Dari beberapa macam makna keadilan tersebut, para pakar agama Islam, pada umumnya, merumuskan menjadi empat makna.
Pertama, adil dalam arti sama. Jika dikatakan bahwa seseorang itu adil, artinya dia memperlakukan sama antara orang yang satu dengan orang lain. Maksud persamaan di sini adalah persamaan dalam hak. Dalam surat al-Nisa:58 dinyatakan: "Apabila kamu sekalian memutuskan perkara diantara manusia, maka kamu sekalian harus memutuskan secara adil". Kata al-adl pada ayat ini, menurut Quraisy Shihab (1996) berarti persamaan, dalam arti bahwa seorang hakim harus memperlakukan sama antara orang-orang yang berperkara, karena perlakuan sama antara para pihak yang berperkara itu merupakan hak mereka.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Murtadha Muthahari (1992), dalam pengertian yang sama, mengatakan bahwa keadilan dalam arti persamaan ini bukan berarti menafikan keragaman kalau dikaitkan dengan hak kepemilikan. Persamaan itu harus diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hak kepemilikan yang sama. Jika persamaan itu diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hak kepemilikan yang berbeda, yang terjadi bukan persamaan tapi kezaliman.

Kedua, adil dalam arti seimbang. Maksud dari keadilan tersebut identik dengan kesesuaian (proporsional). Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan sarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Petunjuk al-Qur’an yang membedakan antara yang satu dengan yang lain, seperti pembedaan laki-laki dan perempuan pada beberapa hak waris dan persaksian- apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan-harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan persamaan. Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan itu nantinya akan mengantarkan kepada keadilan Ilahi.

Ketiga, adil dalam arti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada para pemiliknya”. Lawan keadilan dalam pengertian ini adalah kezaliman. Murtadha Muthahhari (1992) menamakan keadilan ini dengan keadilan sosial. Individu-individu sebagai anggota masyarakat dapat meraih kebahagiaan dalam bentuk yang lebih baik. Oleh karena itu, hak-hak dan preferensi-preferensi individu itu, mesti dipelihara dan diwujudkan. Keadilan, dalam hal ini, bukan berarti mempersamakan semua anggota masyarakat seperti konsep komunis, sama rasa, sama rata-melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi dan memperoleh kesempatan.
Keempat, adil yang dinisbahkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti memelihara kewajiban atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Keadilan Allah swt pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikannya. Murtadha Muttahari (1992) menjelaskan keadilan yang demikian merupakan persoalan yang menarik semua orang, melibatkan orang-orang desa yang buta aksara dan para filosuf yang pemikir. Oleh karena itu, keadilan Tuhan memiliki urgensi khusus, dan merupakan persoalan yang tiada bandingnya. Para teolog muslim tidak kunjung selesai memperbincangkan masalah tersebut. Syi’ah dan Mu’tazilah memandang keadilan sebagai prinsip kedua di dalam ushuluddin (pokok-pokok agama).

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Youtube Sriwijaya Post di bawah ini:

Abdul Qadir Abu Faris, dalam bukunya yang berjudul sistem politik Islam, beranggapan bahwa keadilan merupakan salah satu dari empat pilar dari sistem politik Islam. Sementara itu, M. Dhiaduddin Rais (2001) menyebutnya sebagai salah satu dari empat prinsip dasar Negara Islam. Selanjutnya, Dhiaduddin mengatakan bahwa keadilan adalah tujuan umum atau tujuan akhir dari pemerintahan Islam, dan merupakan salah satu kewajiban bagi pemimpin politik Islam untuk mewujudkannya. Keadilan politik, demikian kata Madjid Khadduri (1999), diukur dengan perundang-undangan negara, penguasa akan menentukan berapa banyak unsur-unsur keadilan yang terkandung dalam perundang-undangan negara.

Dalam Islam, orang-orang yang beriman memiliki pemikiran terhadap doktrin bahwa tatanan publik mereka sesungguhnya berasal dari sumber Ilahi yang Maha Agung. Dalam bentuknya yang membumi, sumber itu terdiri atas wahyu dan hikmah Ilahiah.
Yang pertama termaktub dalam al-Qur’an dan yang kedua termaktub dalam Sunnah Nabi (Hadis). Sesuai dengan tatanan publiknya, keadilan politik dalam Islam-sudah tentu semua aspek dari keadilan-berasal dari Allah yang Maha Kuasa, yang kehendaknya tidak diujikan secara langsung pada komunitas orang-orang beriman, tapi melalui seorang Nabi dan Imam (penguasa). Orang-orang beriman diperintah untuk menjalankan syari’at dan mentaati para khalifah/ulil amri (pemimpin) yang diangkatnya selagi ia tetap konsisten dan konsekuen dalam menerapkan syari’at Allah. Firman Allah dalam surat al-Nisa:59, menegaskan: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu".

Kewajiban pemimpin sebagai pemegang otoritas politik adalah menegakkan keadilan. Firman Allah, surat Shad:26, menegaskan: "Hai Dawud, sesungguhnya kami menjadikan kamu Khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah".

Dari ayat itu dipahami, bahwa Allah adalah pemberi mandat kekhalifahan kepada seorang Nabi, dan sebagai khalifah, Nabi berkewajiban menjalankan kehendak yang Maha Kuasa, serta diperintah agar menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan kebenaran dan jalan Allah. Kebenaran dan jalan Allah, menurut pendapat kebanyakan ahli tafsir adalah identik dengan kebaikan dan keadilan (Majid Khadduri, 1999). Kewajiban penguasa untuk berbuat adil dan hak rakyat untuk mendapat keadilan itu memang sesuai dengan visi Islam tentang manusia. Islam, demikian kata Abu Farih (1999), memandang manusia dengan satu visi-dalam istilah lain disebut musawat-sebab mereka diciptakan dari asal yang satu; ayah mereka satu-yaitu Adam AS, dan Ibu mereka pun satu- yaitu Hawa. Karena manusia diciptakan oleh Allah dari nenek moyang yang sama, mereka harus mendapat keadilan yang sama, dalam percaturan politik mereka. Ini yang harus mendapat perhatian serius oleh para penguasa sesuai dengan bidangnya masing-masing, baik mereka yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif berdasarkan ketatanegaraan modern.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Bertitik tolak dari paradigma persamaan yang demikian itu, setiap warga negara berhak mendapat perlakuan yang sama pada setiap lapangan kehidupan kenegaraan mereka. Surat al-Nisa:58 menegaskan: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menentapkan secara adil”. Ayat ini secara tegas menggandengkan antara amanat dengan keadilan yang harus diemban, pengemban amanat harus mampu menegakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu, sangatlah wajar kalau pemegang amanat pemerintahan itu harus memenuhi kualifikasi tertentu. Hal ini disebut oleh Mutahhari sebagai makna keadilan yang ketiga. Manusia atau warga negara mempunyai hak yang sama untuk mendapat keadilan di depan hukum. Ingatlah, Ketika Abu Bakar al-Shiddiq setelah terpilih menjadi khalifah pertama, dalam sambutannya mengatakan: “Ketahuilah bahwa orang yang paling lemah diantara kalian adalah orang kuat hingga aku dapat mengambil hak orang lain darinya, dan orang yang paling kuat diantara kamu adalah orang lemah sampai aku dapat memberian hak-haknya” (Jalaludin al-Syuyuthi: tt:64).

Berdasarkan kajian yang telah diuraikan di atas, dapat simpulkan, bahwa keadilan setidaknya mencakup empat makna, yaitu keadilan dalam arti sama atau persamaan, keadilan dalam arti seimbang (proporsional), keadilan dalam arti memberikan hak kepada pemiliknya, dan keadilan Ilahi.

Keadilan diperintahkan kepada para rasul dan amanat bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain, para Rasul dan umat manusia pada dasarnya adalah pengemban keadilan dari Allah yang Maha Adil. Para penguasa pada hakekatnya adalah pemegang mandat dari Tuhan untuk menegakkan keadilan pada pemerintahannya atau rakyatnya. Rakyat mempunyai hak untuk mendapat keadilan dalam segala aspek pehidupan bernegara, di depan hukum, untuk dipilih dan memilih pemimpin, mendapat pekerjaan dan kebebasan berusaha, dan lain-lain. Orang yang kurang beruntung di bidang ekonomi pun berhak mendapat santunan dari pemerintah, baik dari harta zakat, atau lainnya. (*)

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved