Ferdy Sambo Lolos Hukuman Mati
Reaksi Ibu Mendiang Brigadir J Soal MA Sunat Vonis Hukuman Ferdy Sambo CS, Pakar Hukum: Cukup Adil!
Sambo dianggap menembak yang hanya didasarkan pada keterangan Richard tidak berkesesuaian dengan saksi lain, tidak sesuai barang bukti, tidak sesuai
SRIPOKU.COM - Reaksi ibu mendiang Brigadir J Soal MA Sunat Vonis Hukuman Ferdy Sambo CS.
Seperti yang diketahui, Mahkamah Agung (MA) memberi sunatan hukuman terhadap keempat terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Keempat terdakwa tersebut di antaranya adalah eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf.
Kabar mengenai vonis MA yang meringankan hukuman Ferdy Sambo CS akhirnya sampai juga ke telinga keluarga Brigadir J.
Ibunda mendiang Brigadir J, Rosti Simanjuntak mengaku sangat kecewa atas putusan MA tersebut.
Seperti dilansir dari Sripoku.com via Tribunnews, melalui sambungan telepon Rosti mengungkapkan bahwa pada mulanya tak tahu menahu mengenai kabar tersebut.
Baca juga: Nasib Bharada Richard Eliezer, Eks Ajudan Usai Ferdy Sambo Batal Dihukum Mati, Kondisinya Dibongkar
Hingga saat berita tersebut terdengar olehnya dan keluarga, ia merasa sangat terkejut.
Rosti juga mengaka sangat sedih karena melukai rasa keadilannya sebagai orangtua Brigadir J.
“Kami sangat, sangat kecewa," kata Rosti, dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Selasa 8 Agustus 2023.
Ia mengaku bahwa keluarga belum mendapatkan informasi secara lengkap.
Kemudian, ia kembali mengatakan jika dirinya kecewa terhadap putusan hakim MA itu.
Selanjutnya, ia pun berencana akan melakukan komunikasi dengan pengacaranya terkait hasil kasasi tersebut.
"Kalau ini kan kami belum dengar pasti, yang jelas kami sangat, sangat kecewa. Tunggu kami komunikasi dengan pengacara ya," pungkasnya.
Diketahui, sebelumnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak upaya banding yang diajukan Ferdy Sambo yang divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung menjamin tidak ada intervensi dari pihak manapun saat MA menyunat hukuman bagi Ferdy Sambo Cs.
Diketahui, MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo, dan Kuat Ma'ruf.
"Kalau itu sudah pasti, hakim itu dijamin kemerdekaannya, kemandiriannya. Jadi tidak mungkin ada intervensi mereka memutuskan," kata dia di gedung MA Jakarta, Selasa 8 Agustsu 2023.
Sidang kasasi para terdakwa digelar tertutup pada Selasa 8 Agustus 2023, dan sidang dimulai pukul 13.00 hingga 17.00 WIB.
Adapun Hakim Agung yang mengadili kasasi terdiri dari Suhadi, Desnayeti, Suharto, Jupriyadi, dan Yohanes Priyana.
Suhadi duduk sebagai ketua majelis hakim.
Ferdy Sambo CS pun kompak mendapat pengurangan hukuman.
1. Ferdy Sambo yang semula dihukum hukuman mati menjadi penjara seumur hidup.
2. Putri Candrawathi yang tadinya dihukum 20 tahun penjara menjadi 10 tahun bui.
3. Ricky Rizal Wibobo yang awalnya dihukum 13 tahun bui menjadi 8 tahun penjara.
4. Kuat Ma'ruf yang mulanya dihukum 15 tahun penjara menjadi 10 tahun bui.
"Amar putusan kasasi: tolak kasasi PU dan terdakwa dengan perbaikan kualifikasi tindak pidana dan pidana," demikian bunyi putusan dilansir dari situs kepaniteraan MA, Selasa 8 Agustus 2023.

Baca juga: Fakta 5 Hakim MA yang Tangani Kasasi Ferdy Sambo, Diskon Vonis Mati Jadi Seumur Hidup Penjara
Kata Pakar Terkait Peringanan Hukuman Ferdy Sambo
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar merespon soal putusan Mahkamah Agung yang menggugurkan vonis mati Ferdy Sambo menjadi seumur hidup.
Menurut Abdul bahwa dalam hukum modern tidak mengenal hukuman mati.
Karena menurutnya, tujuan akhir dari penghukuman yakni memanusiakan manusia.
"Ya saya kira hukum modern seharusnya tidak mengenal hukuman mati. Karena tujuan akhir penghukuman adalah memanusiakan manusia," kata Abdul dihubungi Selasa (8/8/2023).
Abdul melanjutkan karena itu perubahan dari hukuman mati menjadi seumur hidup, artinya hukum menghargai kehidupan.
"Dan saya kira cukup pantas hukuman maksimal ini untuk Sambo," jelasnya.
Adapun untuk pengurangan vonis Putri Chandrawati juga dinilainya cukup adil dari 20 tahun menjadi 10 tahun.
"Demikian juga Putri dengan pengurangan dari 20 tahun jadi 10 tahun. Saya kira juga cukup adil karena dia termasuk orang yang tidak berdaya. Kesalahannya tidak dapat mencegah suaminya melakukan tindakan penembakan, sementara keadaannya di bawah penguasaan suaminya," tutupnya
Vonis Hukuman Mati Dipertanyakan karena Motif Tak Terungkap

Sebelumnya, pakar hukum pidana, Chairul Huda menjadi bagian eksaminasi putusan hukuman mati yang dijatuhi kepada mantan Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Selain Huda, ada tujuh eksaminator ternama salah satunya Prof. Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej.
Huda mengaku menulis eksaminasi putusan hukuman mati terhadap Ferdy Sambo berbekal pada putusan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut dia, putusan tingkat banding tidak menjadi bagian eksaminasi karena hanya menguatkan putusan tingkat pertama saja.
“Memang cukup banyak hal menarik untuk dipersoalkan bagi kita akademisi maupun praktisi hukum,” kata Huda dikutip dari Youtube LKBH FH UII pada Senin (12/6/2023).
Pertama, Huda mengupas soal pemahaman Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo.
Hal ini, kata Huda, tidak tepat dipahami tentang apa itu pembunuhan berencana.
“Ini adalah kasus pembunuhan, yang memang diperberat hukumannya karena ada hal tertentu terkait dengan pelaksanaannya, yang orangnya juga bisa menyebutnya dengan berencana,” ujar Penasihat Ahli Kapolri ini.
Sebetulnya, kata dia, jika mengutip Prof. Andi Hamzah bahwa pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dipikir-pikir lebih dulu.
Sehingga, pembunuhan berencana itu dibedakan dengan pembunuhan spontan.
“Pembunuhan secara spontan dan pembunuhan si pelaku mempunyai suasana yang tenang untuk memikirkan apa yang mau dilakukan,” jelas dia.
Huda melihat di sini kesalahan majelis hakim adalah posisi Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Ma’ruf.
Justru, Huda mempertanyakan apa kontribusi mereka terhadap matinya Brigadir J di rumah dinas Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
“Sebenarnya tidak ada, tapi kemudian mereka dianggap menjadi bagian pembunuhan berencana yang sebenarnya tidak ada kontribusinya,” katanya.
Sedangkan, kata dia, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada Richard yang punya kontribusi. Sementara, lanjut Huda, peran Ferdy Sambo dalam kematian Brigadir Yosua masih diperdebatkan.
“Richard merenungkan apa yang mau dilakukan di kamar mandi, dia berdoa sebelum melakukan itu. Itu suasana yang tenang memikirkan perbuatannya. Apa hubungannya dengan yang lain, tidak memberikan kontribusi terhadap matinya korban. Kalau kontribusi tidak ada, lalu dianggap sebagai turut serta,” sebutnya.
Makanya, Huda menyebut kurang tepat penerapan pasal pembunuhan berencana terhadap mereka.
Sehingga, kata Huda, perlu dikritisi praktik hukum di Indonesia ketika menggunakan masalah penyertaan terutama turut serta melakukan. Herannya, dianggap turut serta sepanjang orang itu bersama-sama.
“Jadi ada pergeseran makna turut serta, yang di dalam praktiknya selalu diartikan bersama-sama. Padahal, turut serta itu adalah perbuatan yang sangat spesifik dari delik. Dia berkontribusi langsung terhadap perwujudan larangan undang-undang sebagai delik. Tapi praktik hukum biasanya terdakwa bersama-sama, seperti apa bersama-sama ta, itu tidak jelas,” ungkapnya.
Oleh karenanya, Huda mengatakan persoalan utama perkara kematian Brigadir J ini adalah majelis hakim yang memproses dan mengadili. Menurut dia, hakim tidak mampu mengkonstruksi seperti apa perbuatan bersama-sama itu.
“Pemahaman saya, bersama-sama itu tentu kontribusi terhadap matinya korban, karena ini delik pembunuhan bukan delik perencanaan. Di dalam putusan ini seolah-olah deliknya adalah merencanakan, bukan membunuh,” jelas dia.
Selain itu, Huda mengatakan ada hal unik dari kasus ini yang menjerat Ferdy Sambo dengan penyertaan. Padahal, kata dia, hakim menganggap Ferdy Sambo sebagai aktor intelektual tapi juga pelaku.
“Konstruksi majelis hakim seperti ini adalah konstruksi yang terpaksa,” kata Huda.
Menurut dia, majelis hakim dihadapkan dua persoalan yaitu konstruksi pasal dakwaan dan opini publik. Dalam pertimbangannya, kata dia, hakim memandang Ferdy Sambo sebagai aktor intelektual.
Di sisi lain, lanjur Huda, Ferdy Sambo dikatakan turut serta atau pelaku utama karena ikut menembak.
“Jadi, disini hakim terpaksa menggunakan konstruksi itu. Konstruksi yang menjebak hakim sehingga berakrobatik dalam mempertimbangkan perkara ini.
Sambo dianggap menembak yang hanya didasarkan pada keterangan Richard tidak berkesesuaian dengan saksi lain, tidak sesuai barang bukti, tidak sesuai dengan keterangan ahlinya. Tapi itu terpaksa dilakukan agar dapat mengkualifikasi Richard sebagai justice collaborator,” ungkapnya.
Selanjutnya, Huda mengungkap hasil eksaminasi hukuman mati untuk Ferdy Sambo terkait motif.
Memang, ia sependapat bahwa motif bukan bagian unsur yang harus dibuktikan. Akan tetapi, kata dia, perlu dicatat bahwa perkara-perkara yang motifnya belum ada titik terang atau belum terungkap di persidangan, itu tidak boleh dijatuhkan vonis mati.
“Problemnya di situ, hakim ultrapetita. Dia menjatuhkan putusan lebih daripada tuntutan jaksa, padahal dia tidak mampu mengungkap sebenarnya motifnya apa kasus ini. Kalau cuma kecewa, masa seorang Ferdy Sambo kecewa lalu sampai sebodoh itu membunuh. Jadi motif belum jelas tapi divonis mati, yang notabane ultrapetita,” katanya.
Tentu saja, Huda mengatakan hakim boleh saja menjatuhi hukuman ultrapetita sepanjang tidak keluar dari dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum.
Namun, kata dia, tidak boleh juga dijatuhkan tanpa pertimbangan hakim yang cukup.
“Kalau motifnya tidak terungkap, maka ini belum pertimbangannya yang cukup. Maka putusan ini batal demi hukum, karena menjatuhkan vonis mati yang sifatnya ultrapetita tanpa pertimbangan yang cukup. Kalau tidak terungkap motifnya, vonis paling banyak sesuai tuntutan. Artinya tidak boleh pidana melebihi tuntutan, atau tidak boleh vonis mati. Ini obral pidana mati, dalam rangka untuk memenuhi keinginan netizen. Itu berhasil dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” pungkasnya.
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com
Brigadir J
Ferdy Sambo
Putri Candrawathi
Ricky Rizal
Rosti Simanjuntak
Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat
Richard Eliezer
Abdul Fickar Hadjar
Jalani Pidana Seumur Hidup, Ferdy Sambo Dijebloskan ke Lapas Kelas IIA Salemba |
![]() |
---|
Jika Permohonan Kasasi Ferdy Sambo Ditolak, Kenapa Hukumannya Jadi Lebih Ringan? Ini Penjelasan MA |
![]() |
---|
Vonis Mati Jadi Seumur Hidup, Apakah Hukuman Ferdy Sambo Bisa Diperberat ? Ini Jawaban Ahli |
![]() |
---|
Kami Sangat Kecewa, Ibu Brigadir J Sebut Rasa Keadilannya Terluka Usai Hukuman Ferdy Sambo Dianulir |
![]() |
---|
Hukuman Mati Ferdy Sambo 'Diskon' jadi Seumur Hidup, MA Diserang di Twitter, Disamakan Promo 8.8 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.