Breaking News

Mimbar Jumat

Menguasai Ego, Belajar Dari Umat Terbaik

Masing-masing harus mampu menguasai ego dan berupaya peduli terhadap kepentingan dan hak orang lain.

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
John Supriyanto (Dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an Al-Lathifiyyah Palembang). 

Oleh: John Supriyanto
(Dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an Al-Lathifiyyah Palembang)

SRIPOKU.COM -- DI MASA akhir kekhalifahan Abu Bakar ra. terjadi peristiwa Yarmuk, yakni perperangan antara kaum muslimin melawan bangsa Romawi. Tepatnya terjadi pada tahun 13 Hijriyah.

Pada pertempuran dahsyat ini, pasukan Romawi jumlahnya hampir empat kali lipat dari jumlah pasukan kaum muslimin, yakni + 65000 menghadapi +245000 balatentara Romawi yang dibekali persenjataan ekstra lengkap.

Dalam catatan sejarah, perang Yarmuk merupakan peperangan yang sangat penting bagi umat Islam mengingat peristiwa ini adalah peperangan pertama yang terjadi di luar bangsa Arab dan sekaligus menjadi gerbang pertama pernyebaran Islam ke luar wilayah jazirah Arabiyyah, termasuk ke negara-negara Eropa.

Bukan dahsyatnya perang Yarmuk dan kemenangan umat Islam yang akan dibicarakan dalam tulisan ini, tapi teladan sempurna sekaligus unik yang diperankan oleh ‘santri-santri’ Rasulullah Saw., para sahabat yang mulia. Dalam kitab-kitab riwayat dikisahkan terdapat banyak sahabat yang terluka parah di sekujur tubuh mereka akibat pertempuran bersejarah tersebut. Tidak sedikit juga yang menjadi syahid, meninggal di medan tempur tanpa sempat mendapatkan perawatang medis.

Di antara pasukan yang sempat dirawat adalah Ikrimah ibn Abi Jahl (putranya Abu Jahal, sepupu Rasulullah Saw.), Al-Harits ibn Hisyam dan Ayyasy ibn Abi Rabi’ah yang di tubuh mereka terdapat lebih dari 70 luka bekas tusukan dan sabetan pedang.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Pada saat tiga sahabat yang mulia ini dibaringkan -bersama para syuhada’ yang sudah lebih dahulu wafat- dalam kondisi yang sangat lemah dan kritis akibat terluka parah dan kehabisan banyak darah, datanglah seorang sahabat yang bermaksud memberikan minum kepada para korban perang ini. Ketika kendi air itu diberikan kepada Ikrimah ibn Abi Jahl dan baru saja ia hendak meminumnya, ia melihat Al-Harits ibn Hisyam yang berada di sampingnya yang tampak begitu kehausan dan sangat membutuhkan air. Maka Ikrimah berkata: “berikan air ini untuk Al-Harits”. Lalu kendi air berpindah ke tangan Al-Harits ibn Hisyam. Ketika Al-Harits baru saja hendak mendekatkan kendi itu ke bibirnya dan hampir saja meminumnya, iapun melihat di sampingnya ada Ayyasy ibn Abi Rabi’ah yang menatapnya seperti juga sangat kehausan dan lebih membutuhkan air minum itu.

Maka Al-Harits a berkata : “berikan air ini kepada Ayyasy”. Kemudian kendi air itupun berpindah ke tangan Ayyasy, namun belum sempat air itu diminumnya, Ayyasy ternyata telah wafat menjadi syahid.

Lalu sahabat tersebut bergegas mengambil kendi air itu dan segera memberikannya kepada dua orang sebelumnya, Ikrimah dan Al-Harits, namun –sangat disayangkan- belum sempat air tersebut sampai kepada keduanya, Ikrimah dan Al-Harits-pun telah wafat syahid, sebelum air minum itu sampai kepadanya.
Demikian kendi air minum tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, tanpa ada yang meminumnya, karena mereka sama-sama ingin mendahulukan kebutuhan saudaranya di atas kebutuhan dirinya sendiri, meskipun dalam suasana yang sangat sulit.

Fragmen kisah di atas menggambarkan sekaligus mengajarkan sebuah pesan mulia “al-itsar” di mana setiap muslim harus mampu menekan ego dan memposisikan kepentingan orang lain di atas setiap kepentingan pribadinya.

Ketiga shahabat yang mulia ini, -Ikrimah ibn Abi Jahl, Al-Harits ibn Hisyam dan Ayyasy ibn Abi Rabi’ah- mereka bertiga wafat syahid dalam keadaan “taqdim al-ghair”, mengutamakan kebutuhan saudaranya di atas kebutuhan diri sendiri.

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Logo instagram.com/sriwijayapost/

Semua tahu bahwa masing-masing mereka sangat membutuhkan air itu untuk menghilangkan dahaga di akhir hayatnya. Namun, masing masing melihat bahwa saudaranya jauh lebih membutuhkan daripada dirinya.

Ternyata pesan menguasai ego ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat sepanjang masa kenabian dan generasi awal Islam yang direkam dalam banyak kitab riwayat.

Betapa sikap lebih mengutamakan orang lain di atas kepentingan sendiri merupakan akhlak yang sangat mulia dan telah ditanamkan agama kepada setiap pribadi beriman. Agama meletakkan dasar cinta kasih kepada saudara seiman, bagaikan cinta kasih pada diri sendiri.

Tidak tanggung-tanggung, pertaruhannya adalah iman “la yu’minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi mayuhibbu li nafsih” (tidak terkategori beriman orang yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri). Nilai-nilai iman bukan sekedar penyempurna pribadi pemiliknya, namun harus terefleksi dalam tindak akhlak mulia dan meresonansi banyak kebaikan, kemaslahatan, cinta dan kasih kepada orang lain dan lingkungan.

Kisah teladan kepiawaian mengendalikan ego yang diperankan tiga tokoh di atas menunjukkan betapa nilai-nilai iman mampu melahirkan ketulusan cinta saudara seiman walau harus mengorbankan diri sendiri. Tak ubah seperti lilin yang merelakan dirinya hancur demi menerangi lingkungan terdekatnya. Meski mungkin banyak yang tidak sependapat dengan pengibaratan ini.

Tapi hal ini telah disinyalir Al Qur’an sebagai refleksi kesempurnaan iman “wa yu’tsirun ‘ala anfusihim walau kana bihim khashashah” (Qs. al-Hasyr : 9), yakni “mereka lebih mengutamakan saudaranya di atas kepentingan pribadi meskipun dalam kesusahan”. Di tempat lain, Al Qur’an juga mengungkapkan “yunfiqun fi as-sarra’ wa adh-dharra” (Qs. Ali Imran : 134), bahwa ciri khas seorang bertaqwa adalah rela berbagi dalam segala situasi, senang maupun susah, lapang ataupun sempit.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Al-Qurthubi dalam Jami’ li Ahkam al-Qur’an mengungkapkan sabab an-nuzul ayat di atas (Qs. al-Hasyr : 9) sebagaimana riwayat al-Bukhari adalah berkenaan dengan seorang laki-laki yang menghadap Rasulullah Saw. dan berkata: “Ya Rasulullah, saya lapar”. Lalu Rasulullah Saw. meminta kepada para istrinya untuk diberikan makanan dan ternyata tidak ada makanan apapun yang bisa diberikan selain air.

Kemudian Rasulullah Saw. pergi kepada beberapa orang sahabat dan menawarkan kepada mereka “Siapa di antara kalian yang malam ini bersedia menjamu tamuku, semoga Allah Swt. melimpahkan rahmat atasnya”. Lalu seorang dari kaum anshar menjawab :”Saya, wahai Rasul”. Kemudian ia pulang ke rumah dan berkata kepada istrinya : “Hidangkan semua makanan yang ada untuk memuliakan tamu Rasulullah Saw.”. Istrinya menjawab : “Demi Allah, tidak ada makanan apapun kecuali hanya sedikit untuk anak kita”. Lalu ia berkata : “nawwim ash-shabiyyah, wa athfi’i as-siraj wa qarribi li adh-dhaif ma ‘indak” (tidurkanlah anak-anak, matikanlah lampu dan suguhkanlah makanan itu kepada tamu kita).

Ketika tiba saatnya makan malam, sang istri menghidangkan makanan lalu mematikan lampu dan menidurkan anak-anaknya. Lalu ia berdiri seolah hendak memperbaiki lampu dan mematikannya kembali. Dalam keadaan gelap suami-istri itu berpura-pura mengunyah makanan hingga terkesan ikut menikmati hidangan. Makan malam selesai, keduanya pamit beranjak tidur dalam sembari menahan rasa lapar. Esok harinya, suami istri ini menemui Rasulullah Saw. dan bercerita tentang apa yang mereka lakukan terhadap tamu Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw bersabda : “Semalam, Allah Swt. terkagum-kagum atas perlakuan kamu berdua kepada tamuku”.

Teladan di atas menggambarkan bahwa di antara karakteristik orang-orang yang bertaqwa dan memiliki iman sempurna akan mampu menekan dan meminimalisir ego untuk kemudian menjadikan kebutuhan orang lain jauh lebih penting daripada kebutuhan pribadi.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Jujur dikatakan bahwa sikap dan sifat “taqdim al-ghair” mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi sudah demikian langka dalam mu’amalah sosial. Sepertinya masing-masing merasa beruntung jika mampu mendahulukan kepentingan dan kebutuhan pribadi dari pada kebutuhan dan kepentingan orang lain. Bahagia dan bangga luar biasa ketika mampu memperjuangkan hak pribadi dan mengalahkan banyak hak orang lain meski bisa jadi dengan cara yang licik dan menzhalimi.

Lihat saja prilaku sosial saat berada di jalan raya, masing-masing berusaha melaju lebih cepat walau harus mengambil alur jalan orang lain. Begitupun di berbagai fasilitas umum, seperti bandara, terminal atau tempat rekreasi dan lain sebagainya, sudah jarang orang bersedia memberikan tempat duduknya kepada orang lain, bahkan terhadap orang yang lebih tua sekalipun.

Pada skala yang lebih besar, seperti dunia kerja, politik, ekonomi atau aspek lainnya begitu nyata bahwa kepentingan pribadi atau kelompok jauh lebih diutamakan daripada orang lain. Ironisnya lagi, ada orang yang diberi amanah mengurus umat tapi justru berusaha meraup sebanyak mungkin keuntungan pribadi dan melupakan kepentingan masyarakat dan tanggung-jawabnya.

Di sinilah kesadaran al-itsar menjadi sangat penting ditanamkan dan harus menghiasi karakteristik pribadi beriman. Masing-masing harus mampu menguasai ego dan berupaya peduli terhadap kepentingan dan hak orang lain. Dengan begitu akan terbagun al-ukhuwah yang melahirkan kekuatan besar seperti yang terjadi pada generasi awal Islam, para sahabat yang mulia. Wallahu a’lam.***

Update COVID-19 20 Oktober 2022.
Update COVID-19 20 Oktober 2022. (https://covid19.go.id/)
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved