Idealisme Omong Kosong
Manusia bisa mengaktifkan dan menghidupkan gagasan-gagasannya dengan bebas tanpa ada seorangpun yang mampu melarangnnya,
Oleh: Abdurrahmansyah
Dosen Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang
SRIPOKU.COM -- IDEALISME adalah rasionalitas yang mengagungkan gagasan di atas segala hal.
Kebenaran yang berada di dalam ruang gagasan sebagai aktivitas nalar aqliyah manusia sungguhnya sangat tinggi mutunya dari segala apapun.
Manusia bisa mengaktifkan dan menghidupkan gagasan-gagasannya dengan bebas tanpa ada seorangpun yang mampu melarangnnya, karena aktivitas itu berada di alam ide dan pikiran. Sedemikian sucinya alam ide itu sampai-sampai tidak ada yang paling penting dalam hidup ini selain menjadi orang yang idealis dan hidup dipandu oleh nilai-nilai idealisme.
Menurut para penganut idealisme, ide-ide murni jauh lebih tinggi martabatnya ketimbang hukum-hukum pragmatis, syariat agama yang membelenggu, tata nilai semu, dan kaidah-kaidah etik tingkat rendah yang hanya berpotensi mengkerangkeng daya nalar tinggi menembus batas-batas terjauh dari ide-ide murni yang membebaskan.
Ide-ide murni muncul dari proses panjang dan terus menerus untuk menjelaskan makna paling tinggi dari suatu konsep dan tata nilai karena selalu dikonfirmasi oleh hati nurani. Semakin merdeka seseorang dalam memahami suatu konsep, semakin dekat ia kepada ide murni yang bersumber dari akal mustafad atau hati yang disinari cahaya. Konsep-konsep tentang hukum, pengabdian, tanggungjawab, keadilan, kebenaran, kejujuran, dan seterusnya termasuk Pancasila pada dasarnya hasil pemaknaan dari proses berpikir yang kemudian menjadi way of life yang diakui.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Namun seiring perjalanan waktu, konsep-konsep tersebut menjadi kabur, buram, dan melenceng dari pemaknaan awal dari sang penggagas. Disinilah sebenarnya akar persoalan maraknya fenomena hipokrit di kalangan penyelenggara negara saat ini. Semboyan dan jargon-jargon ideal yang ditulis sebagai identitas lembaga sesungguhnya telah menjadi tanpa makna (meaningless) dan bersifat lip service semata. Fenomena inilah yang sesungguhnya sangat dicela dan dikutuk oleh para idealis sejati.
Idealisme Sejati Versus Idealisme Omong Kosong
Menjadi idealis sangat baik untuk menegakkan dengan selurus lurusnya semua konsep dan nilai-nilai kebenaran. Sekali berkata benar maka akan tetap menjadi benar meskipun berakibat buruk baginya. Kebahagiaan tertinggi bagi seorang idealis adalah ketika tetap mampu mengatakan “tidak” terhadap sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya.
Di Indonesia, tercatat beberapa tokoh yang dikenal sebagai idealis sejati karena selalu memegang prinsip kebenaran dan kejujuran. Sosok seperti Hakim Artidjo, Polisi Hoegeng, Ulama Hamka dan Proklamator Mohamad Hatta merupakan di antara para tokoh yang rela tersingkir demi mempertahankan idealisme dan setia pada hati nurani.
Selain para idealis sejati yang jumlahnya semakin sedikit, kini semakin banyak terdapat para idealis omong kosong yang hanya mengucapkan kata-kata baik sehingga terkesan idealis namun sesungguhnya tidak pernah sampai menyentuh sisi afektif dari kediriannya. Ucapan baik itu hanya sekedar lip servis dan basa-basi semata.
Sistem yang korup merupakan atmosfir kerja yang sangat disukai dan menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya karakter idealisme omong kosong. Contoh paling konkrit dan nyata untuk menggambarkan orang-orang hebat, cerdas, berpangkat, dan terhormat namun termasuk kelompok idealis omong kosong, yakni Advokad O.C. Kaligis, Penyidik KPK Stefanus Robin, Pimpinan KPK Lili Pintauli, Jenderal Sambo, Hakim Agung Sudrajad Dimyati, Jaksa Pinangki, Gubernur Atut Choisiyah, Rektor Karomani, dan seterusnya.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Orang-orang ini sangat lancar mengucapkan jargon-jargon ideal dan norma-norma baik sebagai paradigma kinerja di institusi kepolisian, mahkamah agung, kejaksaan, dan di kampus, namun semua itu hanya sampai di ujung lidah dan tidak sampai masuk ke jantung hatinya. Inilah yang dimaksud dengan idealisme omong kosong. Betapa sangat meruginya negara jika banyak dikelola oleh para pejabat yang memiliki mental idealisme omong kosong ini.
Secara psikologis, sangat besar dampak perilaku koruptif dan perangai buruk yang ditunjukkan para pejabat bagi pembentukan komitmen masyarakat sebagai warga negara yang baik.
Masyarakat menjadi ambigu karena merasa tidak mempunyai panutan dan teladan dalam menegakkan aturan dalam pengelolaan negara, sementara masyarakat dituntut untuk selalu mentaati kebijakan negara. Bahkan lebih parah lagi, masyarakat justru dipertontonkan dengan drama yang didesain secara sistematis atas nama prosedur hukum untuk menyelamatkan para pejabat pelanggar hukum.
Berita pembebasan para koruptor secara serentak setelah menjalani proses hukum penjara dengan pengurangan masa tahanan (remisi), sungguhnya suatu pertunjukan yang sangat menghina rasa keadilan rakyat. Belum lagi, kasus jual beli perkara di pengadilan, tidak tersentuhnya pejabat dari jeratan hukum atas tindakan pidana yang dilakukan, juga telah meruntuhkan kepercayaan masyarakat sampai di titik nadir terendah penyelenggaraan negara di negeri ini.
Nagara ini sungguh telah mengidap patologi birokrasi yang sangat akut, hampir tidak ada instansi yang luput dari praktik pelanggaran hukum tanpa adanya kepedulian serius untuk mengamputasi penyebarannya.
Nampaknya benar apa yang pernah dikatakan seorang idealis sejati Actonian bahwa “power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”, yakni kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan yang absolut pasti korup. Karena itu, sebaiknya jangan berpikir untuk menjadikan negara, lembaga, institusi dan kekuasaan itu menjadi kuat, tetapi rakyat lah yang semestinya diberdayakan untuk menjadi kuat dan absolut.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Kekuatan rakyat yang diberdayakan pasti akan digunakan untuk mengontrol kekuasaan agar tidak korup dan menindas. Dalam teologi kekuasaan, suara rakyat diidentikkan dengan suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei).
Penguatan masyarakat civil sangat berpotensi menekan perilaku koruptif para penyelenggara negara. Program-program pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan agama menurut hemat saya penting dikembangkan. Edukasi tentang nilai-nilai kebaikan, kesucian, dan keluhuran harus diajarkan dengan jelas dan nyata kepada masyarakat.
Dalam perspektif ajaran Islam misalnya, mengkonsumsi makanan halal dan thoyyib adalah kunci memutuskan mata rantai korupsi secara genetic. Makanan yang dikonsumsi anak dan keluarga dari uang haram hasil korupsi pasti akan menjadi DNA koruptif yang masuk ke aliran darah sehingga secara turun temurun melahirkan tabi’at koruptif pula.
Inilah yang menjadi penyebab sulitnya menghapus perilaku korupsi, karena sesunguhnya telah menjadi DNA dan mendarah daging pada tubuh anak-anak koruptor yang tinggal menunggu waktu untuk melakukan perilaku koruptif lanjutan di kemudian hari.
Berdasarkan perspektif ini, menurut hemat saya jangan terlalu latah untuk mendukung dan memilih anak, isteri, dan keluarga para pejabat apalagi pejabat keruptif dalam event Pilkada, Pilcaleg, bahkan Pilpres sekalipun. Kerena cepat atau lambat perilaku koruptif itu pasti akan dilakukan karena memang telah memiliki DNA koruptif.
Sistem jaringan DNA yang terbentuk melalui asupan makanan minuman haram akan membelenggu dan mempengaruhi cara berpikir dan bersikap seseorang. Karena itu, seberapapun tingginya pendidikan dan cerdasnya seorang anak jika diasup dengan makanan dan fasilitas hasil korupsi maka pasti suatu saat akan melakukan perilaku koruptif. Ini mirip seperti jaringan setan yang tiada akhirnya.
Berbagai praktik mal-administrasion dan disfuctions of bureaucracy yang banyak terjadi selama ini, jika ditelusuri secara mendalam pasti melibatkan oknum-oknum yang tidak menjaga makanannya dari sumber halal dan baik (thoyyib). Karena itu, seberapa kuatnya sistem yang dibangun jika individu dalam sistem itu bermasalah pasti sistem itu akan diupayakan untuk direkayasa demi kepentingan tertentu.
Semoga negeri ini semakin banyak melahirkan para idealis sejati agar para idealis omong kosong ini tidak mendapatkan tempat pada sistem birokrasi yang berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila ini. Wallahu a’lam bi al-shawwab. ***
