'Racun' CITAYAM Fashion Week dan Keadilan Dalam Ruang Publik
Berawal dari ide untuk menghabiskan waktu dan adu kreativitas serta sekadar bersantai dan bersosialisasi dengan mengenakan pakaian nyentrik.
Oleh: Isni Andriana SE, MFin, PhD
Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya
BELAKANGAN ini istilah Citayam Fashion Week menjadi bahan pembicaraan paling ramai baik di kalangan masyarakat, terutama di media sosial. Ajang Citayam Fashion Week sebetulnya berawal dari semakin indah dan cantiknya Kawasan Sudirman, dimana fenomena para remaja asal daerag penyangga Jakarta, seperti Citayam, Bojong Gede dan Depok yang datang berbondong-bondong sehingga mengubah Kawasan ruang terbuka Dukuh Atas-Sudirman, Jakarta pusat menjadi tempat nongkrong. Lokasi Dukuh Atas adalah tempat yang cukup strategis karena berada di pusat bisnis Ibu Kota Jakarta, dimana area yang berada dekat dengan Jalan Jenederal Sudirman dan Bundaran Hotel Indonesia.
Berawal dari ide untuk menghabiskan waktu dan adu kreativitas serta sekadar bersantai dan bersosialisasi dengan mengenakan pakaian nyentrik. Ide mereka menjadi fenomena dengan menggunakan zebra cross sebagai panggung “catwalk”nya. Kawasan ruang terbuka ini semakin lama semakin dipadati oleh anak-anak muda yang datang dari daerah-daerah penyanggah Jakarta seperti Citayam, Bojong Gede, Depok, Tangerang dan Bekasi. Titik pertemuan Dukuh Atas merupakan lokasi titik pertemuan sejumlah transportasi terpadu di Jabodetabek dengan harga tiket minimum Rp 5.000.
Zebra cross yang menjadi panggung catwalk ikonik dengan kemudahan akses dengan adanya Stasiun MRT atau moda raya terpadu Dukuh Atas. Secara Keseluruhan perjalanan KRL atau kereta rel listrik semakin ramai. KAI Commuter mencatat jumlah pengguna yang naik KRL Jabodetabek meningkat sebesar 8 persen. Dengan semakin ramainya pengunjung Kawasan Dukuh Atas, semakain terlihat kebutuhan akan ruang aktualisasi yang tidak bisa disediakan secara baik. Akses yang mudah ke kota utama menjadi ajang untuk aktualisasi diri dan mencari perhatian kebutuhan ruang publik yang memberikan kenyamanan dan kelegaan bagi kreativitas.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Citayam Fashion Week juga memberikan “racun” inspirasi pada beberapa daerah yang ada di Indonesia. Di Palembang, ajang ini di gelar di Lobi Utara salah satu mall. Dengan menggunakan fasilitas “zebra cross” di salah satu mall, ajang ini menjadi pergelaran Fashion Week di Palembang. Di Bandung, ajang ini menggunakan zebra cross yang berada di pertigaan Jalan Braga dan Asia Afrika. Di Surabaya, pagelaran ini dipamerkan di zebra cross Tunjungan Surabaya. “Racun” inspirasi Citayam Fashion Week tersebar dengan menggunakan fasilitas publik. Kenyamanan dan kelegaaan atas nama kreativitas terhadap ruang publik berakhir dengan pro dan kontra.
Citayam Fashion Week yang digelar di zebra cross kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, terus menuai polemik dan pro kontra. Terbaru, pihak kepolisian memblokade penggunaan zebra cross itu untuk fashion show karena dianggap menimbulkan kemacetan. Zebra cross hanya boleh digunakan untuk warga yang ingin menyebrang. Banyaknya remaja yang berkumpul dan berekspresi tersebut menyebabkan kepadatan di Jalan Jenderal Sudirman.
Sebetulnya ruang atau tempat publik merupakan tempat dimana siapapun berhak datang tanpa merasa terasing karena kondisi ekonomi maupun sosialnya. Sifat umum dari ruang publik adalah tidak dipungut bayaran dan tidak ada diskriminasi latar belakang bagi pengunjungnya. Jalan, jalur pedestrian, zebra cross, alun-alun atau taman merupakan ruang publik yang paling umum. Ruang publik juga di untuk dapat memfasilitasi dan mendukung aktivitas manusia sesuai kebutuhan yang menggunakannya.
Ukuran yang menentukan kualitas ruang publik adalah tatanan aktivitas orang atau pengguna ruang yang ada dan bagaimana hubungan dengan elemen-elemen pembentuk tatanan fisik kawasan. Pengertian ruang bukan sekedar space tetapi merupakan place karena terjadi integrasi antara pengguna dengan ruang yang mewadahinya dan sekaligus merupakan ruang yang mempunyai karakter yang jelas. Perubahan dalam satu aspek akan membawa konsekuensi terhadap aspek lain. Perubahan tidak dapat dihentikan, namun perlu diakomodasikan dengan baik agar tidak merusak lingkungan dengan identitas yang telah ada yang dibentuk oleh tatanan aktivitas atau tatanan fisik spatial. Hal yang perlu diobservasi dari aktivitas atau fungsi adalah cara-cara pengguna memanfaatkan tempat yang ada. Makna/jiwa tempat terkait dengan pengalaman visual ketika orang berada di suatu tempat sehingga terbentuk visual image tentang tempat tersebut.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Saat ini, kehidupan kota yang ditawarkan semakin tidak jelas dan rumit. Kota telah kehilangan kebijaksanaan dan ketenangan, kota tidak lebih dari pusat-pusat kekuasan dan poros kapital. Kota lahir melalui pemusatan surplus produksi secara spasial dan sosial. Kehidupan di kota dewasa ini seyognyanya berada dalam panggung utama secara politis dan etis dalam mengusung cita-cita hak asasi manusia (human right cities). Terdapat upaya dan energi dalam tersebut dalam membangun sebuah kota yang lebih baik yang dilakukan secara top down maupun insiasi buttom up. Namun sebagian terbesar konsep-konsep yang bergulir itu, secara mendasar tidak menantang hegemoni logika pasar liberal dan neoliberal, atau pun modus dominan dari tindakan dan legalitas negara. Kita malah hidup di dunia dimana hak-hak pemilikan pribadi, perkara dan penguasaan tingkatprofit(kapital) membayangi segenap pemaknaan tentang hak.
Hak atas ruang publik bukanlah semata kemerdekaan individu untuk mengakses sumber daya urban : melainkan hak untuk merubah diri sendiri dengan cara merubah ruang publik, sebagai arena kontestasi hidup dan penghidupan warganya. Lebih jauh, hak atas ruang publik merupakan hak umum ketimbang individual, mengingat transformasi ini secara tak tertolak bergantung pada perwujudan daya-kuasa kolektif untuk membentuk-ulang proses urbanisasi yang nyatanya memainkan peran amat krusial dalam menyerap surplus-surplus kapital, pada setiap peningkatan skala spasial tertentu.
Hambatan yang besar dalam merealisasikan kultur wargawi yang inklusif dan kependudukan yang utuh memperparah pula ketimpangan di ruang perkotaan (urban inequalities) oleh karena hak-hak tersebut menjadi eksklusif yang hanya dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat yang memiliki akses terhadapnya. Selain faktor tersebut, kemiskinan di perkotaan (urban poverty) dilanggengkan oleh terbatasnya kemampuan pemerintah daerah unruk terlibat dalam kompleksitas penyelesaian isu kemiskinan di perkotaan. Parnell menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh neoliberalisme dan individualisasi pemahaman tentang bagaimana hak asasi manusia diwujudkan dalam konteks urban. Keberadaannya mengakar pada infrastruktur fisik maupun sosial yang telah terbentuk selama puluhan tahun dari proses pembangunan yang tidak merata.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Keadilan dalam ruang publik baik pada tataran teoritis maupun praktis dipandang sebagai bagian dari upaya untuk melakukan intervensi terhadap status quo perkotaan yang menjadi bejana atas berbagai fenomena ketimpangan. Pada buku yang berjudul Spaces of Hope, Harvey (2000) menunjukkan optimismenya untuk mewujudkan keadilan spasial termasuk untuk merealisasikan hak asasi manusia dan keadilan lingkungan melalui gerakan-gerakan akar rumput sebagai bagian dari intervensi terhadap tren kebijakan yang tidak berkeadilan. Harvey pada buku tersebut untuk melakukan rekonsepsi terhadap globalisasi yang awalnya ia dalilkan sebagai salah satu penyebab tumbuhnya ketidakadilan spasial. Globalisasi menimbulkan banyak kontradiksi, termasuk perannya dalam membuka kemungkinan untuk mewujudkan arah politik dan gerakan yang progresif melalui universalisasi akan hak dan martabat sebagai hak semua manusia.