'Terlalu Dibesar-besarkan' Mantan Menkes Siti Fadilah Sebut Varian Omicron Tidak Berbahaya

"Nah, kemudian didramatisasi gitu kayaknya, (sampai dikatakan) mati lo kalau kena Omicron," ujarnya.

Editor: Yandi Triansyah
(KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo)
ilustrasi omicron 

SRIPOKU.COM - Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Siti Fadilah Supari menyebur varian Omicron terlalu dibesar-besarkan dan hanya membuat masyarakat ketakutan.

Pernyataan Siti Fadilah sampaikan di kanal YouTube Realita TV.

Video tersebut telah tayang dua pekan lalu.

Menurut dia, Omicron mutasi dari sedikit protein.

Hanya saja kata dia, strainnya tetap yang lama, yang berubah sifatnya adalah yang ada di ujung protein itu.

"Nah, kemudian didramatisasi gitu kayaknya, (sampai dikatakan) mati lo kalau kena Omicron," ujarnya.

Siti mengatakan, jika virus mudah menyebar maka dampak yang ditimbulkan akan semakin ringan.

"Sifat virus memang begitu, kalau cepat menular seperti flu keganasannya rendah. Tetapi kalau semakin ganas, dia semakin sulit untuk menular," demikian kata Siti dalam keterangannya.

INFO Terkini, Terlacak 2 Negara Eropa Asal Muasal Omicron Masuk Indonesia, Semua Siaga

Lantas apa kata pakar soal pendapat mantan Menkes Siti Fadilah yang menyebut Omicron tidak berbahaya ?

Dosen program magister biomedik di Universitas Yarsi, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo angkat bicara mengenai pernyataan Siti tersebut.

"Kita harus mendefinisikan dulu berbahaya maknanya apa, pada siapa, dan bagaimana mekanismenya.

Faktanya, memang omicron ini menularnya cepat, kalo kita bilang berbahaya ini kita berbicara berbahaya terhadap orang yang seperti apa karena virus Omicron ini kan masih virus corona yang sama," kata Ahmad saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/12/2021).

Menurut dia, karena varian Omicron berasal dari virus yang sama, artinya risiko atau dampak jangka panjang akibat infeksi virus pun cenderung sama.

"Kata tidak berbahaya ini hati-hati ya, karena komunikasi publik perlu detail jangan sampe justru membuat orang akhirnya abai prokes (protokol kesehatan), itu yang harus kita waspadai," tutur Ahmad.

Lebih lanjut, menanggapi pernyataan mantan Menkes Siti Fadilah, Ahmad berkata, bahwa masyarakat harus tetap waspada terhadap lonjakan kasus Covid-19, termasuk akibat varian Omicron.

Di sisi lain, dia mengungkapkan sejauh ini belum ada data yang menunjukkan bahwa varian Omicron 'lebih ringan' dibandingkan varian virus corona sebelumnya.

"Kita harus tahu juga bahwa kita sekarang hidup di era vaksinasi di mana cukup banyak kota-kota besar yang (warganya) sudah divaksinasi. Akan tetapi, cakupannya, kan, tidak (belum) 100 persen, masih ada sebagian warga yang belum mendapatkan vaksin," tambahnya.

Ahli biologi molekuler ini juga menambahkan, meski laju vaksinasi Covid-19 di negara-negara maju cenderung tinggi, tetapi lonjakan kasus Covid varian Omicron tetap terjadi.

Terutama pada mereka yang tidak mau divaksin, atau yang belum mendapatkan vaksinasi dan tidak taat protokol kesehatan.

Sedangkan, orang yang sudah mendapatkan vaksinasi lengkap dan tetap menjaga protokol kesehatan masih memiliki risiko terpapar varian virus baru yang relatif lebih kecil.

Mantan menkes Siti Fadilah mengungkapkan bahwa mutasi varian Omicron dari sedikit protein, sehingga menurutnya yang berubah hanya pada ujung protein spike, yakni yang digunakan virus untuk menginfeksi inangnya.

Ahmad pun menjelaskan jika para ilmuwan terutama di bidang biologi molekuler telah mengamati ada pola yang sangat berbeda terkait mutasi varian Omicron.

Pertama, menurut di, jumlah mutasi varian Omicron sangat tinggi dibandingkan varian Delta.

Mutasi varian Omicron mencapai 30, sedangkan mutasi varian Delta adalah 8.

"Mutasi yang muncul 30 itu identik dengan mutasi yang sebelumnya yang kita ketahui. Kita masih mempelajari perangai seperti apa yang berubah ketika terjadi mutasi di 30 titik sekaligus," imbuh Ahmad.

Lebih lanjut Ahmad memaparkan bahwa jumlah mutasi virus yang berhubungan dengan mudahnya virus menyebar.

"Yang dikhawatirkan oleh para ilmuwan, karena ini masih virus yang sama targetnya sama kalo misalkan angka kematiannya masih sama, katakan 2 persen dikalikan jumlah yang lebih banyak, kan, jadi lebih banyak," ujar Ahmad.

Menjawab hal ini, dia menuturkan karena saat ini vaksin Covid-19 sudah tersedia, maka dengan adanya program vaksinasi, virus menghadapi target yang berbeda.

"Jadi itu yang bisa menjelaskan mengapa banyak orang terkena virus ini gejalanya ringan karena bisa saja orang tersebut sudah pernah terpapar atau sudah divaksinasi.

Artinya, untuk mengatakan (varian Omicron) 'tidak berbahaya' kita harus tahu dulu populasi mana," jelas Ahmad.

Sebab, lanjut Ahmad, pastinya, orang yang belum divaksinasi, lansia atau orang dengan komorbid, memang harus dilindungi jangan sampai mereka terkena Covid, apapun variannya.

Sementara, dia mengungkapkan bahwa Covid-19 adalah penyakit yang masih terus dikaji oleh para ilmuwan.

Para ilmuwan juga sedang memahami mengapa tidak banyak pasien bergejala berat meski telah terkonfimasi terinfeksi varian Omicron.
"Kita juga lagi memantau bagaimana imunitas mereka yang divaksin di awal tahun, terutama pada kelompok lansia dan komorbid dalam kurun setahun mereka masih bertahan enggak imunitasnya.

Apakah nanti perlu booster atau tidak, kita masih memantau kasus Covid pada mereka yang belum divaksin dengan gejala serius," imbuh Ahmad.

Apabila nantinya terbukti varian Omicron menyebabkan peningkatan gejala serius, serta persentase angka kematian antara orang yang divaksinasi dengan mereka yang tidak divaksin sama, maka pemberian vaksin dosis ketiga atau vaksin booster dinilai perlu.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved