Opini
Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas II Lahat dalam Penanganan ABH
(Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama Bapas Kelas II Lahat, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan)
Oleh : Bastian Willy, S.Sos.
(Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama Bapas Kelas II Lahat, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan)
BALAI Pemasyarakatan (BAPAS) adalah unit pelaksanaan teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan dan sidang tim pengamat pemasyarakatan.
Penulis berdinas di Bapas Kelas II Lahat di bawah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan memiliki wilayah kerja yang terdiri dari 5 kabupaten dan kota diantaranya Kabupaten Lahat, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten PALI, dan Kota Pagar Alam.
Dalam hal ini Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang ada di Bapas mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan pendampingan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) sejak saat dalam proses penyidikan, kemudian pelaksanaan putusan hakim, sampai dengan setelah putusan hakim.
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) ini tidak dapat dilakukan seperti terhadap orang dewasa.
Indonesia sebagai negara hukum berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi hak asasi anak untuk mewujudkan pertumbuhan yang optimal bagi anak-anak.
Negara menjamin hak konstitusional anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Anak merupakan pewaris bangsa dan penerus di masa yang akan datang dan memiliki harapan hidup yang masih panjang, serta cita-cita yang tinggi.
Anak pun berbeda dengan orang dewasa dalam lingkup kematangannya secara berpikir.
Sehingga, apabila terjadinya sebuah tindak kriminal maka diharapkan anak-anak mendapatkan perlakuan khusus ketika berhadapan dengan hukum.
Sebagai manusia, anak termasuk sebagai anggota masyarakat, juga mempunyai hak untuk dilindungi dan dihargai dan tidak diperlakukan dengan sewenang- wenang oleh orang yang lebih dewasa terutama dalam hal ini oleh masyarakat, yang diharapkan dapat membantu mengawasi anak yang berhadapan dengan hukum.
Peran serta Pembimbing Kemasyarakatan sangat perlu untuk mendampingi anak dalam menjembatani kebutuhan anak yang sedang berhadapan dengan hukum.
Pada proses pembuatan berita acara di Kepolisian misalnya, selain didampingi oleh orang tua dan Penasehat Hukum, perlu juga didampingi oleh Ketua Rukun Tetangga atau Ketua Rukun Warga atau pemerintah setempat yang mengetahui sikap dan laku anak ditengah masyarakatnya.
Keterlibatan profesi Pembimbing Kemasyarakatan harus berjalan secara optimal.
Namun apabila tidak, hal ini dapat menyebabkan hak-hak anak untuk mendapat keadilan dan perlindungan tidak dapat terpenuhi.
Anak akan kembali melakukan pelanggaran hukum, apabila anak kembali pada lingkungan awal saat anak melakukan tindak pidana.
Sehingga selain pengawasan dari orang tua, pendampingan oleh Pembimbing Kemasyarakatan terhadap anak yang belum melakukan tindak pidana maupun yang telah selesai menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, perlu ditingkatkan, khususnya peran Pembimbing Kemasyarakatan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Balai Pemasyarakatan melalui peran Pembimbing Kemasyarakatan yang dimilikinya, berperan penting dalam proses peradilan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tulisan ini akan dipaparkan pelaksanaan peran dari Pendamping Kemasyarakatan (PK) dalam menjalankan fungsi Balai Pemasyarakatan pada penanganan ABH pada setiap tahap dalam proses peradilan yang dijalani oleh ABH, yaitu pada tahap sebelum peradilan (pra-adjudikasi), tahap peradilan (adjudikasi), dan tahap setelah peradilan (post-adjudukasi).
Pemerintah melindungi hak ABH melalui instrumen-instrumen HAM nasional, antara lain Keputusan Presidan No. 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA, Pasal 64 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Selain itu, pemerintah berpedoman pada instrumen internasional HAM, yaitu Konvensi Hak Anak (KHA) 1989, Riyadh Guidelines 1990 tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak, Beijing Rules 1985 tentang Aturan Minimun Administrasi Peradilan Anak, dan Komentar Umum Komite Hak Anak No.10/2007 tentang Hak Anak dalam Peradilan Anak.
Adapun salah satu dasar hukum yang dapat digunakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yaitu Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Terbitnya Undang-undang ini merupakan upaya serius negara dalam menjaga dan melindungi anak-anak Indonesia saat menjalani proses hukum.
Anak yang berhadapan dengan hukum, baik pelaku, saksi, dan korban merupakan kelompok yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik maupun mental selama menjalani proses hukum.
Sebelum berlakunya UU SPPA, setiap anak yang melakukan perbuatan pidana dikenakan proses hukum yang sama dengan proses hukum orang dewasa, di mana sanksi yang diberikan didominasi oleh hukuman penjara.
Hukuman penjara yang diberikan pada anak-anak akan berdampak pada fisik dan psikis mereka dan apabila mereka bebas pun, masyarakat akan memberikan label sebagai mantan narapidana.
Pada Undang-undang SPPA di dalam Pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) adalah anak berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Dengan kata lain umur 12 tahun menjadi ambang batas anak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya, walaupun tidak secara penuh seperti halnya orang dewasa.
Untuk anak yang berada di bawah 12 tahun tidak dapat dikenai pidana, namun hanya dapat diberikan tindakan sesuai dengan pasal 21 ayat 1.
Dari segi penanganan perkara ABH ini diperlukan peran serta Aparat Penegak Hukum, masyarakat, juga lembaga-lembaga terkait seperti Advokat, Pembimbing Kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas), Pekerja Sosial Profesional (Peksos), Tenaga Kerja Sosial (TKS), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Aparat penegak hukum terdiri dari tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Kemudian LSM yang terlibat adalah LSM yang berkecimpung dalam bidang anak, seperti Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan sebagainya.
Terkait dengan hal tersebut maka Bapas Kelas II Lahat terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas Pembimbing Kemasyarakatan Kelas II Lahat sesuai dengan yang dimaksud dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tersebut.
Upaya dilakukan antara lain dengan memberikan bimbingan teknis, pelatihan-pelatihan dan mengikutkan PK kedalam Diklat-diklat Pembimbing Kemasyarakatan.
Selain itu juga dilakukan sinergi dan koordinasi dengan Lembaga Penegak Hukum yang lain guna menambah wawasan dan pengetahuan Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Kelas II Lahat. (*)
