Gugurkan Janin Mahasiswi, Bripda Randy Paksa Pacar Berhubungan Badan, Korban Alami Pendarahan
"NWR sudah terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran menyebabkan terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi," kata dia.
SRIPOKU.COM - Mahasiswi NWR (23) ternyata dipaksa mengugurkan janin oleh sang pacar Bripda Randy.
Upaya mengugurkan janin yang dikandung mahasiswi 23 tahun tersebut dengan berbagai cara.
Mulai dari meminum pil KB, jamu-jamuan hingga memaksa berhubungan badan.
Sebab Bripda Randy beranggapan sperma dakan dapat mengugurkan janin.
Hal ini diungkap oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, korban NWR sudah berulang ulang mengalami kekerasan dalam 2 tahun sejak 2019 lalu.
"NWR sudah terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran menyebabkan terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi," kata dia, Senin (6/12/2021).
NWR ditemukan meninggal dunia diduga bunuh diri dengan meminum racun.
Korban ditemukan tak bernyawa di makam sang ayah di TPU Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Kini Polda Jawa Timur sudah menahan dan memproses Bripda RB yang merupakan kekasih korban.
Bripda RB terbukti memiliki hubungan asmara sebagai pacar korban sejak 2019.
• Saya Hanya Tengkulak, Ayah Bripda Randy Bukan Anggota Dewan, Sebut Mahasiswi NRW Calon Mantunya
Dari penyelidikan polisi, Bripda RB ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana aborsi atau pasal dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan janin.
RB telah memaksa NWR untuk aborsi sebanyak dua kali, yakni pada Maret 2020 dan Agustus 2021.
Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebaai anggota kepolisian memaksnya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara.
"Si pelaku memaksa NWR menggugurkan kehamilannya dengan memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan sperma akan dapat menggugurkan janin," jelas Ami.
Ami mengatakan, pemaksaan aborsi terjadi hingga dua kali,
Pada kedua kalinya korban mengalami pendarahan hingga trombosit berkurang dan jatuh sakit.
Dalam keterangan korban kata dia, pemaksaan aborsi oleh pelaku ternyata didukung oleh keluarga dengan alasan pelaku masih ada kakak perempuan yang belum menikah.
Kemudian bahkan menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Selain itu, pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain.
Namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban.
"Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya," jelasnya.
Ami melanjutkan ceritanya bahwa dalam kasus NWR, korban telah berupaya meminta bantuan untuk menyikapi peristiwa kekerasan yang ia alami.
Korban telah berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan hukum di daerahnya yang menyarankan korban untuk segera melaporkan tindakan pelaku ke Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
Untuk diketahui, Propam adalah salah satu wadah organisasi Polri berbentuk divisi yang bertanggung jawab kepada masalah pembinaan profesi dan pemanganan dilingkungan internal organisasi Polri.
Juga, dengan mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan di tengah Agustus 2021.
Komnas Perempuan berhasil menghubungi NWR pada 10 November untuk memperoleh informasi yang lebih utuh atas peristiwa yang dialami, kondisi dan juga harapannya.
"Sebelumnya, Komnas Perempuan telah berupaya menjangkau korban (melalui) aplikasi whatsapp (WA) dan sempat direspons korban untuk menanyakan prosedur pengaduan.
Juga, melalui telpon, tetapi tidak terangkat," ceritanya.
Pada saat berhasil dihubungi, korban menyampaikan bahwa ia berharap masih bisa dimediasi dengan pelaku dan orangtuanya, dan membutuhkan pertolongan konseling karena dampak psikologi yang dirasakannya.
Setelah mendengarkan keterangan korban, Komnas Perempuan kemudian mengeluarkan surat rujukan pada 18 November 2021 kepada P2TP2A Mojokerto.
"Karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak maka penjangkauan tidak dapat dilakukan sekerap yang dibutuhkan, tetapi juga sudah dilakukan dan dijadwalkan kembali di awal Desember," kata dia.
"Berita mengenai korban telah mengakhiri nyawanya menjadi pukulan bagi kita semua, khususnya kami yang berupaya menangani kasus ini," tambahnya.
Lebih lanjut, kata Ami, kasus NWR adalah akibat yang sangat memilukan dari situasi lonjakan kasus yang terjadi sepanjang 2020-2021, menyebabkan antrian kasus yang panjang, tetapi jumlah kapasitas psikolog yang terbatas,sehingga sistem untuk penyikapan pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan, dan pemberian rekomendasi juga ikut terlambat.
"Situasi lembaga layanan serupa ini jelas merupakan bom waktu terutama di hadapan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual," kata dia.
"Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga bagi kita semua," imbuhnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com