Mimbar Jumat
Refleksi Memperingati Hari Pahlawan. Aqidah Yang Melahirkan Spirit Hubbul Wathan
Istilah hubbul wathan awalnya sering didekatkan dengan istilah jihad sebagai resolusi dan komitmen umat Islam untuk terus memperjuangkan kemerdekaan
Oleh : DR. Abdurrahmansyah MAg
Dosen Pascasrjana UIN Raden Fatah Palembang
Latar Belakang
Istilah hubbul wathan atau cinta tanah air adalah kalimat konsep yang sangat penting bagi bangsa Indonesia.
Istilah ini muncul dan populer di kalangan santri dan umat Islam Indonesia di masa awal perjuangan kemerdekaan.
Istilah hubbul wathan awalnya sering didekatkan dengan istilah jihad sebagai resolusi dan komitmen umat Islam untuk terus memperjuangkan kemerdekaan dari bangsa penjajah.
Pusat perjuangan umat Islam yang digerakkan oleh semangat jihad bermula di Surabaya yang ditandai oleh komando takbir Bung Tomo pada 10 Nopember 1945.
Setting sejarah munculnya peristiwa pertempuran 10 Nopember ber-mula tewasnya Jenderal Mallaby yang menyebabkan pihak Inggris mengutus Jenderal Robert Mansergh yang selanjutnya mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan diri dengan batas akhir 10 No-pember 1945.
Ultimatum Inggris justru direspon dengan penolakan oleh para pejuang di Surabaya yang mengakibatkan terjadinya pertempuran besar dan meluas di Surabaya.
Tokoh dibalik penolakan ultimatum Inggris ini adalah para Ulama di bawah komando Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdhatul Ulama yang memobilisasi para pejuang dan santri untuk melawan serangan tentara Inggris.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:
Semangat juang yang berkobar-kobar di dada para santri dan pejuang Surabaya pada saat itu diindikasikan sebagai pengaruh psikologis yang ditanamkan ulama melalui fatwa jihad melawan penjajah yang selan-jutnya melahirkan semangat juang berbasis spiritualitas yang dalam.
Saat ini, masa perjuangan fisik melawan kolonial telah berlalu namun tantangan dan problem kebangsaan masih sangat banyak untuk di-selesaikan.
Pertanyaannya adalah masih relevankah spirit jihad dan hubbul wathan untuk terus ditanakan di dalam jiwa para pemuda dan generasi penerus bangsa ini dalam konteks membangun kemajuan bangsa menghadapi tantangan modernitas kekinian.
Aqidah, Jihad, dan Cinta Pertiwi
Aqidah adalah sisi kesadaran manusia dengan keyakinan terhadap ke-beradaan Tuhan yang disembah.
Kekuatan keyakinan dalam bentuk keimanan yang tertanam dalam hati selalu melahirkan sikap religiusitas, yakni perilaku hidup yang didasari oleh prinsip-prinsip keimanan.
Sentimen keagamaan biasanya muncul dalam diri seseorang sesuai ka-dar keimanannya.
Sikap tidak peduli, masa bodoh, acuh tak acuh terhadap kondisi sekitar merupakan sikap yang mencerminkan lemahnya aqidah atau iman seseorang.
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad Rasulullah berberkata: “Tidaklah disebut mukmin orang yang kenyang sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan.”
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Hadits ini menegaskan bahwa sikap sosial seseorang menjadi ukuran kuat atau lemahnya iman seseorang.
Dalam kaitan dengan semangat jihad dalam memperjuangkan kemer-dekaan juga menjadi indikasi kuatnya keimanan seseorang.
Karena seorang muslim yang lemah iman atau tidak kuat aqidahnya pasti tidak akan sanggup melakukan jihad untuk memperjuangkan nilai-nilai universal termasuk nilai-nilai untuk hidup merdeka.
Secara normatif, penegasan mengenai kaitan aqidah dan jihad ini ditemukan dalam QS. al-Hujarat: 15, bahwa; “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”
Ayat ini selain menjelaskan indikasi orang memiliki aqidah dan iman yang kuat adalah seorang mujahidin, sekaligus menjelaskan sarana ji-had dalam bentuk jiwa dan harta.
Kondisi damai di alam kemerdekaan tentu tidak membutuhkan jihad dalam bentuk perang fisik (qital), sebab haram melakukan pertum-pahan darah di negeri yang aman dan damai (Darussalam).
Pemaknaan jihad di era kekinian adalah berjuang sekuat daya upaya untuk mewujudkan kemakmuran umat.
Jihad harta justru sangat relevan terutama di masa pandemic Covid-19 yang telah menimbulkan dampak pelemahan ekonomi umat.

Update 11 November 2021. (https://covid19.go.id/)
Semakin meningkatnya data statistik masyarakat miskin sebagai dampak pandemic saat ini harus diatasi melalui semangat dan aksi jihad harta.
Filantropi Islam dianggap sebagai solusi yang paling efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan di masa pandemic covid-19.
Kerelaan berbagi dan selalu memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan di masa sulit merupakan implementasi dari kesadaran keberimanan seseorang.
Orang yang lemah iman akan sulit berbagi kepada sesama. Sifat egois dan hanya mementingkan diri sendiri merupakan ciri orang yang lemah aqidahnya.
Pemusatan energi jihad umat Islam pada sektor ekonomi, pendidikan, dan sosial merupakan sebuah interpretasi terhadap makna jihad secara kontekstual.
Perjuangan umat Islam kini adalah mengasah pedang analisis akademik intelektual dan menajamkan anak panah untuk menembus market dan mencari peluang pasar bagi pengembangan ekonomi umat secara luas.
Komitmen ini harus dilakukan secara serentak oleh semua potensi umat Islam.
Semua kekuatan umat di berbagai organisasi sosial keagamaan harus diarahkan pada perjuangan menegakkan supremasi kemakmuran (welfare) secara sinergis dan efektif.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Dalam kaitan ini, musuh bersama (common enemy) umat Islam saat ini adalah kebodohan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan secara sosial.
Pada era sekarang, peran sebagai penjajah dan belenggu kemajuan u-mat Islam itu sesungguhnya adalah person yang menghambat dis-tribusi kemakmuran umat.
Kebijakan ekonomi, pendidikan, dan sosial yang berpotensi mengikat gerak laju pengembangan dan pemberdayaan umat adalah indikasi masih eksisnya semangat kolonialisme.
Karena itu, sasaran jihad regulasi harus diarahkan pada upaya meng-hentikan semua pikiran dan ide yang melemahkan potensi umat.
Ruang gerak para koruptor harus dibatasi seketat mungkin sampai perilaku koruptif dapat diminimalisir dan ditekan pada titik nadir paling rendah dari aktivitas penyelenggaraan negara.
Perilaku koruptif sangat merusak semangat jihad.
Sejarah perang Uhud yang mencatat kekalahan pasukan kaum muslimin di antaranya disebabkan perilaku koruptif dalam perjuangan pada saat itu.
Posisi para pemanah andal (sniper) dari pasukan kaum muslim yang berjaga-jaga di bukit Uhud tidak lagi menunjukkan komitmen yang baik.
Para pemanah muslim justru turun dan meninggalkan posisi di atas bukit karena tergiur dengan harta benda musuh yang berserakan di hadapan mereka.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Hasrat dan nafsu menguasai harta rampasan perang merupakan perilaku koruptif yang menyebabkan kegagalan pasukan umat Islam.
Instruksi Nabi Muhammad agar para pemanah andal tetap pada posisi awal diabaikan dan mereka lebih memilih dorongan nafsu koruptif yang bersifat materialistik kebendaan semata.
Jika motivasi perjuangan tidak lagi digerakkan oleh iman dan ketaatan pada sistem dan instruksi pimpinan yang mulia, maka tuungglah masa kehancurannya.
Sejarah selalu membuktikan bahwa semangat mementingkan keben-daan (materialistik) akan mendorong seseorang bersifat egois dan anti sosial.
Sebaliknya, iman yang kuat dan ketundukan pada sistem yang benar akan melahirkan atmosfir kebersamaan, peduli, dan bertanggung-jawab.
Oleh karena itu, pemaknaan semangat jihad dan cinta tanah air (hubbul wathan) di era post-modern ini sesungguhnya berpusat pada kesadaran untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia dari segala u-paya yang akan melemahkan potensi dan eksistensi kemajuan bangsa.
Dengan demikian, semangat perang melawan kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan hukum dan perilaku koruptif harus dianggap sebagai jihad dan bagian dari upaya mencintai bangsa ini. wallahu a’lam bi al-shawwab.