Mimbar Jumat

Membangun Harmoni Melalui Pendidikan Moderasi

Perbedaan dari sisi agama, bahasa, suku, & golongan politik sekalipun tidak boleh menghambat untuk membangun suasana harmoni antar sesama warga bangsa

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
DR Abdurrahmansyah MAg / Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Raden Fatah 

Oleh : DR Abdurrahmansyah MAg
Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Raden Fatah

SRIPOKU.COM -- Istilah harmoni setara pemahamannya dengan rukun, guyub, damai, saling meng-hargai, meskipun terdapat perbedaan dalam beberapa aspek.

Perbedaan dari sisi agama, bahasa, suku, dan golongan politik sekalipun tidak boleh menghambat untuk membangun suasana harmoni antar sesama warga bangsa.

Indonesia sebagai nation state melingkupi berbagai perbedaan di dalamnya.

Secara cultural, masyarakat Indonesia sejak awal terdiri atas berbagai suku bangsa dengan varian artikulasi budaya masing-masing.

Slogan Bhinneka Tunggal Ika merupakan kalimat bertuah yang mampu menyadarkan seluruh komponen budaya bangsa di Indonesia untuk bersatu di atas perbedaan.

Realitas budaya sangat beragam yang tumbuh dan hidup di nusantara harus dili-hat sebagai anugerah.

Potensi keragaman yang berkembang di masyarakat harus dipelihara, bukan justru saling menafikan.

Apalagi mematikan salah satu entitas yang sudah sangat lama eksis dan dipelihara oleh suatu satu komunitas tertentu secara turun temurun.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Keinginan melenyapkan entitas budaya dalam masyarakat yang sudah dihidup sejak lama merupakan pengingkaran atas nilai-nilai kebhinnekaan.

Bahkan dalam tinjauan yang lebih mendalam, pemikiran dan aksi menolak kera-gaman budaya ini merupakan penentangan terhadap konsep beragama yang bersi-fat rahmatan lil ‘alamin.

Mengelola keragaman budaya membutuhkan kearifan yang dibentuk, dikemba-ngkan, dan dibangun melalui proses edukasi.

Mendidik seseorang agar memiliki sikap menghormati berbedaan secara paripurna memerlukan strategi dan pendekatan yang tepat.

Ketidaktepatan dalam mengajarkan nilai-nilai kebersamaan di tengah-tengah realitas multikultural hanya akan melahirkan harmonisasi semu.

Pseudo harmony atau harmoni semu biasanya muncul dalam upaya-upaya mem-bangun harmoni melalui pendekatan formal, politik, dan official action.

Justru harmoni harus ditumbuhkan melalui pendekatan kultural dan mengedepan sisi-sisi local wisdom dan sistem budaya yang tumbuh di masyarakat itu sendiri sebagai living values.

Pemahaman Moderat Kunci Membangun Harmoni
Spirit moderasi beragama atau semangat beragama secara moderat yang santer di-sosialisasikan pemerintah melalui Kementerian Agama akhir-akhir ini sebenarnya bukan hal baru.

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Terminologi tentang ummatan washathan atau umat garis tengah yang sejak awal telah dikenal dalam tradisi nabi (prophet tradition) merupakan konsep dasar mengenai sikap moderasi beragama.

Menurut narasi yang dikembangkan oleh Kementerian Agama konsep moderasi beragama bertujuan untuk mencari titik temu (kalimatun sawaa) dari dua kutub extreme dalam beragama yaitu kutub para penganut agama yang meyakini kemutlakan satu cara pandang.

Atau, penafsiran teks agama, sehingga menganggap sesat cara pandang atau mo-del penafsiran lain di luar pemahaman kelompoknya.

Sementara kutub extreme lainnya adalah penganut agama yang secara sangat longgar (liberal) mengabaikan aspek kesucian agama sehingga menghilangkan aspek kepercayaan yang mendalam demi untuk bersikap toleran kepada orang lain.

Kedua kutub extreme itu harus dimoderasi dan dijembatani oleh pemahaman moderat dalam beragama.

Secara etimologis, moderat adalah sebuah kata sifat atau turunan dari kata mode-ration yang mengandung makna tidak berlebih-lebihan atau sedang-sedang saja.

Moderasi beragama merujuk pada sikap mengurangi kekerasan atau menghindari sikap extreme dalam hal cara pandang, sikap, dan praktik beragama.

Ajakan untuk memiliki sikap moderat ini tentu saja ditujukan pada semua penganut agama, karena potensi untuk menjadi penganut yang berpandangan extreme itu ada pada semua agama, termasuk agama Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, dan seterusnya.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Karena itu, tanggungjawab untuk membangun pemahaman dan sikap moderat dalam beragama adalah semua umat beragama agar tidak menjadi radical, extreme, dan excessive sebagai lawan kata moderasi.

Femonena maraknya radikalisme yang menimbulkan mafsadat dan kerusakan in-frastruktur fisik dan telah memporakporandakan sendi-sendi harmonisasi yang te-lah tumbuh dan terbangun sejak lama, adalah indikasi masih lemahnya pemaham-an moderat dalam beragama.

Padahal secara substantif, pemahaman moderat itu adalah esensi dari sikap beragama yang sangat relevan dengan konteks kebangsaan Indonesia yang plural dan multikultural.

Perjalanan sejarah politik kebangsaan Indonesia diwarnai oleh tarik menarik kepentingan ideologi politik yang bernuansa Islam diwakili oleh peristiwa PRRI. Selain itu tarikan ideologi politik yang menolak tradisi agama yang diwakili PKI.

Sebenarnya semua itu cukup menyadarkan kita untuk memilih sikap moderat dalam beragama dan berbangsa.

Memilih pandangan moderat dalam beragama adalah penegasan atas jati diri se-bagai warga bangsa Indonesia.

Moderasi beragama adalah perekat antara spirit beragama dengan komitmen berbangsa dan bernegara.

Bagi warga Indonesia bahwa beragama pada hakikatnya ber-Indonesia dan ber-Indonesia pada hakikatnya adalah beragama.

Karena itu, moderasi beragama harus dijadikan sebagai wasilah untuk mengejawantahkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa secara rukun, guyub, harmonis, toleran, damai, dan tenteram.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Untuk membangun sikap moderat pada diri seseorang membutuhkan proses pen-didikan agama yang benar dalam perspektif konsep moderasi.

Posisi pendidikan dengan berbagai komponennya seperti guru, kurikulum, bahan ajar, fasilitas, dan metodologi pengajaran menjadi sangat penting.

Sebab jika semua komponen pendidikan itu tidak diarahkan, maka proses pendidikan moderasi beragama menjadi kurang efektif.

Kualifikasi guru sebagai pengajar (teacher) dan pendidik (educator) kurikulum moderasi menempati posisi yang sangat strategis.

Guru agama yang mumpuni akan mampu menjelaskan teks yang tertulis dalam kitab suci dengan konteksnya yang benar.

Sebaliknya guru agama yang tidak mencerahkan hanya mengajarkan teks tanpa menjelaskan konteks, sehingga cenderung sempit dalam memahami teks suci.

Cara pandang sempit dalam memahami teks suci akan melahirkan sikap tertutup (ekslusif) dan sangat potensial membentuk sikap extreme dan radikal.

Kelompok extremist menganggap teks suci sebagai corpus tertutup dan kehilangan konteks.

Idealnya sebuah teks suci yang dirujuk dari sumber yang sama dapat diinterpre-tasikan ke dalam berbagai konteks secara luas dan multidimensi.

ilustrasi
Update 7 Oktober 2021. (https://covid19.go.id/)

Khazanah literatur keagamaan yang ditulis oleh para ulama masa lampau dengan konteks zaman, latar pendidikan, setting sosial, dan suasana psikologis penulis kitab sangat mempengaruhi cara pandang mereka dalam melihat sebuah realitas.

Sehingga jika khazanah itu dibaca pada konteks saat ini, tentu akan muncul analisis dan pemaknaan-pemaknaan baru yang lebih substantif, mencerahkan, dan kekinian.

Tradisi membaca literatur keagamaan secara sistematis sesuai cabang keilmuan se-cara luas menjadi sangat penting untuk menghindari pemahaman sempit dan ekslusif.

Kurikulum pendidikan dan model pembelajaran agama dengan pendekatan multi-kultural penting dikembangkan sebagai perangkat penting untuk mendukung so-sialisasi percepatan penguatan pemahaman moderasi beragama.

Pendidikan multikultural harus segera diperkuat dengan berbagai pilihan model dan pendekatannya di lembaga pendidikan mulai tingkat dasar.

Bahkan penetrasi pembiasaan sikap saling menghargai sesama sudah harus dilatih sejak dini di usia kanak-kanak pada lingkungan keluarga.

Proses mendidik nilai-nilai multikulturalisme tidak cukup hanya bermuatan konten kognitif saja, tetapi akan lebih efektif jika menyediakan pengalaman belajar dalam bentuk pembiasaan berinteraksi positif dengan orang lain secara heterogen.

Mengkondisikan anak-anak dengan lingkungan yang serba sama akan menyulitkan siswa untuk merasakan perbedaan dan belajar menghargainya.

Pesan-pesan bermuatan isu dan konten multikultural perlu disuarakan di semua tempat di berbagai kesempatan.

Semua pranata sosial dan institusi agama seperti madrasah, masjid, majelis taklim, dan forum-forum pengajian penting diingatkan untuk menyampaikan informasi agama berbasis pemahaman multikultural.

Penguatan paham multikultural dalam membangun harmoni sangat efektif melalui sektor pendidikan, tanpa mengabaikan posisi keluarga dan masyarakat.

Jika saat ini ancaman munculnya komunitas beragama dengan cara pandang sempit dan anti toleransi, termasuk kemunculan kelompok takfiri yang anti keberagaman, maka tantangan pendidikan multikultural di negeri ini semakin berat dan membutuhkan desain program dan strategi yang lebih efektif.

Karena bagaimanapun bangsa ini sangat membutuhkan cara pandang beragama mengenai keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta penghapusan berbagai jenis prasangka (prejudice) untuk membangun kehidupan masyarakat yang adil, beradab, dan sejahtera lahir batin. Wallahu a’lam bi al-Shawwab.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved