Kebebasan Pers, Kemerdekaan Pikiran dan Kebebasan Hakim
Hak hak asasi manusia inheren pada sifat kodrat manusia sendiri yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan karena itu harus dihormati
Albar S Subari SH.MH
Ketua Koordinator JPM Sriwijaya Sumsel
Hak hak asasi manusia di negara kita adalah asas negara yang fundamental.
Hak hak asasi manusia inheren pada sifat kodrat manusia sendiri yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan karena itu harus dihormati, dilindungi dan dijamin.
Dalam garis besarnya hak hak asasi manusia dimuat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dan secara positif dalam Pasal 27,28,29,-30,¬31,dan 34 UUD 1945.
Dilihat dari sudut materi yang diatur oleh pasal pasal itu, ternyata UUD 1945 mengakui hak hak asasi manusia dalam semua bidang, yakni sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain lain.
Dalam tulisan ini, khususnya kita akan menguraikan hak hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 dalam hubungan dengan prinsip kebebasan hakim.
Pasal tersebut mengatakan : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagai nya ditetapkan dengan undang undang.
Meskipun rumusan ini tidak jelas, namun dalam prinsipnya mengakui kebebasan pers, dan kemerdekaan pikiran.
Prinsip tersebut merupakan syarat mutlak dalam alam demokrasi.
Dalam negara demokrasi, pers harus dapat merupakan penjaga, pelindung dan pengawal proses demokrasi itu sendiri.
Fungsi utama pers dalam negara demokrasi adalah sebagai alat social control.
Fungsi tersebut harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, dengan tujuan : dengan mengabdikan diri kepada masyarakat, kepada kepentingan umum, menegakkan kebenaran dan keadilan.
Berdasarkan fungsi utama, pers harus bertugas sebagai barometer pendapat umum yang sehat.
Untuk itu, pers berhak menyingkapkan segala kesalahan, ketidak-beresan secara jujur, berani dan konsekwen, tetapi dengan penuh tanggung jawab.
Yakni ketentuan bahwa setiap orang sekalipun sudah ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai dijatuhkan vonis hakim yang telah memeroleh kekuatan hukum yang tetap.
b. Dalam mengeluarkan pikiran atau pendapatnya, tindakan itu tidak boleh bersifat atau ditujukan untuk memberikan tekanan agar suatu perkara tertentu diputuskan oleh pengadilan secara yang dikehendakinya.
Kadang kadang kita dikejutkan oleh pemberitaan dalam media sosial yang salah terhadap seorang sedang diusut, dituntut dan diadili.
Tanpa berikhtiar dulu untuk memperoleh keterangan yang benar dari pihak atau instansi yang berwenang, pers apriori telah mengecap seseorang yang diusut atau dituntut atau sedang diperiksa di pengadilan sebagai penjahat, pengkhianat, biang keladi subversi dan sebagainya.
Ada kalanya tidak segan segan pula mengambil kesempatan kesempatan yang bukan bukan.
Sebagai alat "social control" dalam negara demokrasi pers wajib menyelidiki lebih dahulu kebenaran sumber sumber berita yang hendak dimuat, wajib menjauhkan diri dari segala sentimen, prasangka, dan sensasi.
Pemberitaan yang diliputi dengan sentimen dan prasangka dapat memanaskan suasana dan menggerakkan golongan golongan yang tidak bertanggung jawab dan mengadakan gelombang gelombang reaksi yang tidak sehat.
Hal itu mungkin mempengaruhi pengasut, para penuntut dan hakim untuk mengarahkan pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan ke suatu tuduhan yang dikehendaki oleh golongan golongan tertentu tersebut, bukan kebenaran dan ketidak adilan yang harus dicapai akan tetapi "kebenaran dan keadilan” menurut tafsiran golongan golongan tadi.
Sejarah peradilan negara kita mengenal gelombang gelombang reaksi terhadap pemeriksaan per-kara yang sedang dilakukan dalam persidangan pengadilan atau terhadap suatu keputusan hakim.
Beberapa diantaranya ialah:
a. Proses Jungschlaeger : sewaktu perkara tersebut sedang diiadili koran koran penuh dengan tulisan tentang perkara itu. Resolusi dan demonstrasi silih berganti.
Akhirnya kita tidak diberikan kesempatan melihat akhir proses itu, karena Peradilan Tuhan mengambil alih peradilan umum dengan mencabut nyawa terdakwa dalam proses tersebut. (lihat kasus Kapten HCJG. Schmidt, LN. Jungschlaeger.
Keduanya warga negara Belanda diperiksa oleh pengadilan dengan tuduhan subversi masa hubungan Indonesia Belanda sedang memburuk pertengahan 1950an --lihat Sri Widoyati Wiratmo Soekito" : hakim agung wanita pertama (1968-1981).
b. Proses cikini, peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di jalan Cikini Raya: Resolusi resolusi membanjir pula ke Jakarta.
Gelombang reaksi datang dari segenap pelosok tanah air dan memusat pada proses peradilan yang sedang berjalan pada waktu itu.
Presiden Soekarno mengalami penggranatan seusai menghadiri perayaan di sekolah anak anaknya di jalan cikini raya jakarta, 30 November 1957.
Ia selamat, tetapi 9 orang lainnya tewas termasuk 6 anak anak dan 150 orang luka luka (ibid).
Bagaimana pengaruh gelombang gelombang reaksi itu bagi peradilan pada umumnya dan khususnya pada vonis hakim?.
Hakim pidana dalam suatu pemeriksaan perkara pidana pertama tama bertugas mencari dan meneliti fakta fakta (identifikasi fakta istilah Prof. Dr. Soedikno Mertoku-sumo, SH, Guru Besar Hukum Acara di FH UGM) dalam perkara tersebut.
Hakim harus mendapatkan keyakinan bahwa perbuatan perbuatan yang dituduhkan penuntut umum kepada tertuduh benar benar terjadi adanya.
Biarpun yang bersangkutan mengakui bahwa benar dialah yang melakukan suatu kejahatan tertentu.
Hakim tidak boleh menerima hal itu sebagai suatu yang benar.
Hanya berdasarkan pengakuan itu saja.
Harus diteliti dulu lebih lanjut dan disesuaikan dengan keterangan lain yakni berupa saksi saksi dan alat bukti lainnya.
Kenyataan senyatanya itulah yang diukur kan pada hukum pidana yang berlaku, apabila benar merupakan pelanggaran atau tidak.
Dalam pencarian dan penelitian kenyataan senyatanya ini, banyak bahan keterangan yang diperlukan hakim.
Dari sudut ini amatlah berharga bagi kepentingan peradilan suara suara masyarakat yang tertib dan teratur melalui saluran tertentu, terutama tulisan tulisan media sosial.
Suara spontanitas dari masyarakat ini tidak semestinya dianggap angin lalu saja oleh hakim.
Bahkan dia harus membuka mata dan telinga dan mengetuk hati nuraninya untuk dapat menanggapi rasa keadilan masyarakat yang dilahirkan secara jujur dan objektif untuk dipergunakan sebagai bahan dalam menentukan keadaan berdasarkan keyakinan hati nuraninya sendiri.
Dari segi ini gelombang gelombang reaksi yang tadi disebut kan merupakan penambahan bahan bahan bagi pengadilan yang dapat membantu hakim dalam pencaharian kenyataan senyatanya.
Selain itu gelombang gelombang reaksi tersebut dapat dijadikan ukuran oleh hakim untuk menentukan sampai di mana rasa keadilan masyarakat terguncang oleh tindak tindak pidana tertentu.
Istilah tindak tindak pidana adalah istilah Prof. Dr. Wirjono Prodjodokoro, sedangkan Prof. Muljatno, SH menggunakan istilah Perbuatan Pidana. Hal ini berfaedah sekali untuk menetapkan proporsi hukuman yang patut dan setimpal.
Sebaliknya ada kalanya reaksi masyarakat yang berlebihan melalui media sosial mengandung sensasional dan provokatif dalam berita misal melalui surat kaleng atau atas nama bikinan.
Resolusi resolusi diambil dari rapat rapat panas, telpon atau SMS/WA yang mengancam hakim, bila tidak memutuskan perkara yang sedang sesuai dengan keinginan mereka atau orang orang tertentu, "kattebellces" dari pejabat pejabat tinggi.
Cara yang demikian tidak berfaedah sama sekali bagi peradilan dan tidak menguntungkan siapa pun juga, bahkan dapat membahayakan wibawa hukum.
Para hakim menerima gelombang reaksi masyarakat secara keliru tersebut pada saat saat itu terutama menyadari betapa beratnya asas "kebebasan Hakim".
Terasa padanya berat nya tugas dan besarnya kepercayaan yang diletakkan oleh negara, masyarakat dan terutama pihak pihak yang sedang berurusan dengan hukum dan meminta keadilan di atas bahunya.
Pada saat saat demikian, apabila masyarakat secara keliru memaksa menuntut ini dan itu, lebih lebih akan dirasakan beratnya "Kebebasan" dalam mengadili oleh hakim.
Karena, ia senantiasa harus menyadari bahwa betapapun beratnya tugas untuk mengadili, lebih berat dan kongkrit akan dirasakan keadilan yang diputuskan nya oleh masing masing pihak yang berkepentingan bertentangan dan yang masalah-nya dihadapkan kepadaNya.
Akibat dari putusan hakim akan lebih berat dan lebih kongkrit dirasakan oleh pihak yang dimenangkan atau dikalahkan, dibebaskan dari hukuman atau dihukum sekian waktu lebih atau kurang.
Hak asasi terdakwa yang telah disinggung terdahulu dalam tulisan ini selalu harus dijunjung tinggi dan tidak boleh dilanggar atau dikurangi walau pun hakim mendapatkan tekanan atau ancaman dari masyarakat.
Pada saat saat demikianlah sangat diperlukan ketabahan hati para hakim dalam menjalankan tugasnya.
Ketabahan hati menyangkut pula unsur moral, karena hakim dalam me-nunaikan tugasnya senantiasa harus mengadakan dialog antara panca indra dan hati nuraninya.
Justru karena itu setiap pertimbangan dan keyakinan hakim dapat dinilai kebenaran dan kejujuran nya oleh orang lain selain hakim itu sendiri.