Wawancara Eksklusif

Wawancara dengan Maestro Seni Tari dan Songket, Anna Kumari: Songket Tua Ditawar Orang Rp 150 Juta

Gedogan ini saya serahkan agar ada generasi penerus mengetahui adanya alat tenun tradisional ini dan dapat dijaga dengan baik oleh pihak museum.

Penulis: Odi Aria Saputra | Editor: Soegeng Haryadi
SRIPO/ODI ARIA SAPUTRA
Anna Kumari, maestro seni tari dan songket asal Palembang. 

ANNA Kumari (maestro seni tari dan songket asal Palembang) dengan ikhlas menyerahkan alat tenun tradisional atau gedogan yang sudah dimiliki tiga generasi keluarganya ke Museum Balaputra Dewa Palembang beberapa waktu lalu. Apa yang mendorong wanita kelahiran Palembang tanggal 10 November 1946 ini menghibahkan alat tenun tersebut? Berikut wawancara bersama Sriwijaya Post.

Anda ikhlas menyerahkan alat tenun songket (gedogan) yang dimiliki selama tiga generasi ke museum. Bisa dicerita latar belakang menyerahkan alat itu?
Kalau saya memberikan sesuatu, itu dari lubuk hati saya yang paling dalam. Saya sangat ikhlas. Gedogan ini saya serahkan agar ada generasi penerus mengetahui adanya alat tenun tradisional ini dan dapat dijaga dengan baik oleh pihak museum.

Apakah alat itu masih berfungsi dan menghasilkan songket?
Tentu saja masih berfungsi, tidak mungkin saya menghibahkan barang yang sudah rusak.

Soal gedogan itu, bagaimana ceritanya sampai bisa Anda miliki?
Keluarga saya ini sebenarnya bukan pengrajin songket. Tetapi sangat menyukai adat-istiadat. Sehingga benda-benda lam itu di koleksi oleh nenek saya.

Nenek saya menggunakan alat gedogan untuk ia menenun songket saat ia menikah zaman dahulu. Dari nenek saya kemudian diwariskan ke ibu saya, lalu gedogan itu diwariskan ke saya.

Selain Anda, apakah masih ada di Palembang atau Sumsel yang memiliki alat tenun tradisional tersebut?
Selain saya mungkin ada saja orang di Palembang memilikinya. Namun untuk jumlah persisnya saya tidak paham.

Apa tidak merasa rugi sebab barang yang diserahkan itu terbilang langka dalam artian tidak semua orang memiliki lagi?
Kalau untung rugi itu berdagang, saya ini bukan berdagang.

Tetapi secara ikhlas menghibahkan ke museum agar disimpan dengan baik. Dari lubuk hati saya paling dalam memang saya niat menyerahkannya.

Apa tidak khawatir barang itu nantinya tak terpelihara hingga rusak setelah lepas dari tangan Anda?
Penyerahan Gedogan ke museum ini saya kira sudah sangat tepat. Dengan diletakkan di museum saya yakin akan terpelihara dengan baik.

Sebelum menyerahkan ke museum, terpikir ndak untuk menjual ke kolektor barang antik, atau ada orang yang datang menawar barang itu dengan harga tinggi?
Tidak ada terbersit di benak saya untuk menjual Gedogan itu. Karena saya tidak pernah mau menjual barang keluarga, apalagi ini diwariskan secara turun-temurun dari nenek saya. Maka harus dijaga dengan baik.

Selain gedogan, Anda punya barang antik apa lagi, misal songket tua dan lain-lain?
Masih ada beberapa songket tua dari turun-temurun keluarga seperti motif Bungo Pacik, Bungo Inten, Bungo Cino, Limar Mentok dan lain-lain yang usianya sudah ratusan tahun. Bahkan songket Limar Mentok saya sempat ada yang menawar Rp 150 juta.

Apakah Anda berniat menyerahkan barang langka lainnya?
Mungkin saja ada nanti yang akan saya serahkan barang-barang antik saya. Tetapi tidak tahu kapan.

Bagaimana menurut pandangan Anda terhadap songket Palembang pada masa kini dan apakah mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman?
Adanya perkembangan songket baru itu saya nilai bukan dari kita, apalagi menggunakan alat. Kain songket itu identik dengan alat tenun dan ditenun secara manual.

Itu yang membuat songket menjadi istimewa. Karena proses pembuatannya tidak gampang dan butuh waktu yang lama untuk membuatnya.

Menurut Anda, masih adakah generasi muda sekarang, baik itu keluarga atau diluar keluarga yang tertarik mengikuti jejak Anda?
Sekarang sangat sulit orang yang mau menenun atau menekuni seni Palembang. Dari keluarga saya saja kebanyakan hanya mengikuti dari seni tarinya saja.

Punya kiat agar generasi sekarang tak melulu tik-tokan dan tertarik menyelami seni Palembang?
Kita tidak bisa menentang perkembangan zaman dengan adanya joget tik tok. Tetapi kembali lagi kita harus memilih joget yang sopan. Joget tiktok ini beda dengan tari. Semua orang bisa tiktok, tetapi tidak semua orang bisa tari. (oca)

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved