Munarman Ditangkap
56 Advokat yang Tergabung dalam Korsa Minta Munarman Dibebaskan, Dinilai Melanggar Hukum dan HAM
Tindakan Densus 88 Anti Teror yang telah mempertontonkan kesewenang-wenangannya, dianggap melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Kelompok Solidaritas Advokat (Korsa) untuk Munarman menyatakan, penegakan hukum tindak pidana terorisme dan penangkapan terhadap mantan Sekjen Front Pembela Islam (FPI) Munarman oleh pihak kepolisian terlalu prematur, dan terkesan sangat dipaksakan.
Selain itu, tindakan Densus 88 Anti Teror yang telah mempertontonkan kesewenang-wenangannya, dianggap melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Baca juga: Rektor Universitas IBA Palembang Dr Tarech Rasyid MSi: Berlebihan Tuding Munarman Terlibat Terorisme
"Bahwa benar tindak pidana terorisme sebagai extra ordinary crime, akan tetapi upaya tersebut wajib tetap menghormati hukum dan menjunjung tinggi harkat martabat sebagai manusia," kata Sofhuan Yusfiansyah salah satu perwakilan Korsa untuk Munarman.
Menurut Korsa untuk Munarman yang terdiri dari 56 advokat se Indonesia dengan koordinator Chairil Syah, tindakan aparat kepolisian (Polri) termasuk tim Densus 88 Anti Teror sangatlah sewenang-wenang, melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia.

"Persangkaan, upaya paksa penangkapan dan penyitaan barang yang dilakukan terhadap Munarman telah menyalahi prosedur, prinsip hukum dan dilakukan secara represif adalah merupakan preseden buruk yang tidak perlu dipertontonkan,” tuturnya.
Baca juga: ANDA Diam Kalo Saya Ngomong, VIRAL Video Munarman Siram Air Panas ke Pengamat Saat Debat di TV
Dimana, dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam peristiwa penangkapan Munarwan setidaknya telah melanggar Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, dimana menyatakan bahwa pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindakan Pidana Terorisme yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia.
Sehubungan dengan hal tersebut Korsa untuk Munarman, menyampaikan 4 sikap tegas:
Pertama, bahwa persangkaan dan upaya paksa penangkapan yang dilakukan terhadap Munarman, atas dugaan melakukan kejahatan terorisme adalah merupakan tindakan sewenang-wenang, melanggar hukum dan HAM.
Sikap tidak profesional Aparat Kepolisian (Polri) dan patut diduga sebagai upaya kriminalisasi terhadap diri Munarman, dimana peristiwa penangkapan tersebut juga telah melanggar ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Baca juga: Menurut Ketua RT, Munarman Salat Ashar Sebelum Dibawa Densus 88 ke Polda Metro Jaya
Kedua, bahwa quad non kepolisian sangat berkeyakinan Munarman cukup bukti melakukan kejahatan terorisme, tidak berarti Densus 88 Anti Teror berhak untuk melakukan tindakan yang tidak berprikemanusiaan dalam menangani perkaranya dengan melanggar ketentuan serta prinsip hukum dan HAM, termasuk melanggar prosedur hukum acara (KUHAP dan UU Tindak Pidana Teroris), terutama prinsip Due Process of Law yang menekankan prinsip “perlakuan” dan dengan “cara yang jujur” (fair manner) dan “benar”.

Ketiga, bahwa selain itu proses penyidikan dan tindakan paksa yang dilakukan tidak dibarengi dengan pemberian hak-hak kepada tersangka.
Dimana tersangka dan keluarganya tidak diberikan hak untuk mendapatkan infromasi, serta hak atas bantuan hukum (Penasehat Hukum).
Baca juga: Munarman Ngaku Hadir di Baiat ISIS di Makassar, Mantan Sekretaris FPI : Itu Seminar
Tindakan ini jelas bertentangan dengan Prinsip hukum dan HAM, sebagaimana dimaksud didalam Miranda Rule.
Keempat, bahwa penangkapan terhadap Munarman bertentangan pula dengan tugas dan fungsi Polri sebagai perlindung, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat serta kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM.
Hal ini jelas diatur dalam UU Kepolisian dan Perkap No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam penyelenggaraan tugas kepolisian negara Republik Indonesia terutama Pasal 11 ayat (1); Sehingga karenanya, tindakan penangkanpan tersebut dilakukan tidak berdasar pada bukti permulaan yang cukup.
