Apa Hukum Memanjangkan dan Memelihara Jenggot? Apakah Haram Memangkasnya? Begini Penjelasan Tepatnya
Berdasarkan Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah, berikut ini hukum memanjangkan dan memelihara jenggot.
Penulis: Tria Agustina | Editor: Sudarwan
Pendapat yang menyatakan makruh hukumnya mencukur jenggot juga dinyatakan oleh ulama dari luar Mazhab Syafi’i.
Diantara mereka adalah Imam al-Qadhi ‘Iyadh pengarang kitab asy-Syifa, salah seorang ulama Mazhab Maliki.
Ia berkata, “Makruh hukumnya mencukur jenggot, memotong dan membakar jenggot”
Terlihat bahwa ahli Fiqh yang mewajibkan memelihara jenggot dan mengharamkan mencukur jenggot, mereka memperhatikan aspek lain, ada unsur tambahan terhadap teks hadits, bahwa mencukur jenggot itu sesuatu yang dianggap sebagai aib, bertentangan dengan bentuk wajah manusia saat itu, orang yang mencukur jenggot pada zaman itu dipandang hina, ditunjuk di jalan-jalan.
Imam ar-Ramli berkata tentang hukum Ta’zir, bahwa hukum Ta’zir tidak dijatuhkan bagi orang yang mencukur jenggot.
Teksnya: “Ucapannya: Tidak ada hukuman Ta’zir bagi orang yang mencukur jenggot. Guru kami berkata, “Karena mencukur jenggot itu aib, orang yang melakukannya sangat dikecam, bahkan terkadang anak-anaknya pun ikut dikecam”
Jika hal ini terkait dengan kebiasaan dan tradisi, maka itu menjadi indikasi yang mengalihkan makna perintah dari bermakna wajib kepada makna anjuran.
Jenggot itu termasuk kebiasaan dan tradisi.
Para Fuqaha’ menganjurkan banyak hal, padahal dalam nashnya secara jelas dalam bentuk perintah, karena berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi.
Misalnya sabda Rasulullah Saw:
“Rubahlah uban. Janganlah kamu menyamakan diri dengan orang-orang Yahudi”. (HR. at-Tirmidzi).
Bentuk kata perintah dalam hadits perintah merubah uban kejelasannya menyerupai hadits perintah memelihara jenggot.
Akan tetapi karena merubah uban bukanlah suatu perbuatan yang diingkari di tengah-tengah masyarakat, maka tidak dilakukan.
Para ahli Fiqh berpendapat bahwa merubah uban itu hukumnya dianjurkan, mereka tidak mengatakan diwajibkan.
Para ulama berpendapat berdasarkan metode ini.
Para ulama bersikap keras dalam hal pemakaian topi dan memakai dasi, mereka menyatakan bahwa siapa yang melakukan itu berarti kafir.
Bukanlah karena perbuatan itu kafir pada zatnya.
Akan tetapi karena perbuatan itu mengandung makna kekafiran pada masa itu.