Oknum Polisi Berpangkat AKBP Dipenjara 4 Tahun, Kasus Penerimaan Casis Polri 2016 di Polda Sumsel

Ditemui usai persidangan, kuasa hukum AKBP Edya Kurnia, Supendi SH MH mengatakan, pihaknya menerima atas vonis yang dijatuhkan hakim. 

Editor: Refly Permana
sripoku.com/chairul nisyah
Sidang vonis terdakwa Dugaan Gratifikas, AKBP Edya Kurnia Dijatuhi Hukuman 4 Tahun Penjara, Senin (19/4/2021). 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Oknum perwira polisi di Polda Sumsel yang terlibat kasus gratifikasi penerimaan calon siswa Bintara Polri tahun 2016, AKBP Edya Kurnia (52), divonis hukuman 4 tahun penjara.

Hal tersebut diketahui dari persidangan virtual yang diketuai oleh hakim Abu Hanifah SH MH di Pengadilan Negeri Tipikor Palembang, Senin (19/4/2021).

Terdakwa AKBP Edya Kurnia dijatuhi vonis 4 tahun penjara dan denda Rp.200 juta subsider 4 bulan kurungan.

Daftar Yuk! IPB University Buka Jalur Mandiri, Tutup 16 Juni 2021

Dimana vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan JPU, yang menuntut terdakwa dengan hukuman 5 tahun penjara, denda 200 juta, subsidair 5 bulan.

Dari fakta persidangan, terrdakwa menempati posisi Ketua Tim Psikologi Panitia Seleksi Penerimaan Bintara Umum dan Bintara Penyidik Pembantu Polri saat perkara korupsi itu terjadi. 

"Mengadili menyatakan terdakwa AKBP Edya Kurnia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagai mana dakwaan pertama," ujar ketua Majelis hakim yang dipimpin Abu Hanifah SH MH, Senin (19/4/2021). 

Hakim mengatakan perbuatan terdakwa terbukti melanggar ketentuan pasal 12 Huruf a Undang-Undang No 20 Tahun 2001 KUHP Tentang Tindak Pidana Korupsi. 

Adapun hal-hal yang meringankan yakni terdakwa dinilai jujur dan mengakui perbuatannya saat persidangan. 

Ramalan Zodiak Besok, Selasa 20 April 2021: Gemini Beruntung, Cancer Sukses, Scorpio Jadi Pahlawan

Sedangkan hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa tidak sejalan dengan program pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 

"Perbuatan terdakwa juga merusak citra Polri khususnya dalam perekrutan calon anggota baru," ujar hakim ketua.

Ditemui usai persidangan, kuasa hukum AKBP Edya Kurnia, Supendi SH MH mengatakan, pihaknya menerima atas vonis yang dijatuhkan hakim. 

Sehingga tidak ada upaya banding dari terdakwa.  "Terdakwa menerima jadi tidak ada langkah banding," ujarnya. 

Saat disinggung terkait kejujuran terdakwa selama persidangan sebagai yang jadi pertimbangan putusan hakim, Supendi menjelaskan bahwa kejujuran itu diantaranya pengakuan bersalah dari terdakwa. 

Ini yang Dilakukan Melisa Istri Penganiaya Perawat RS Siloam Palembang, Sempat tak Ada di Kayuagung

Dalam persidangan secara gamblang terdakwa mengakui telah melakukan tindak pidana korupsi atas perintah dari atasannya. 

"Diakui bahwa terdakwa ini memang melakukan (tindak korupsi) tapi dilakukannya atas perintah dari atasannya," ujar dia. 

Sementara itu, Kasi Pidsus Kejari Palembang, Dede M Yasin mengatakan, pihaknya masih akan pikir-pikir terkait vonis yang dijatuhkan hakim kepada AKBP Edya Kurnia

"Dan untuk kemungkinan ada kelanjutan terdakwa baru dari kasus ini, kita serahkan kepada mabes Polri karena kita hanya membackup saja," ujarnya. 

Sebelum AKBP Edya Kurnia, dua perwira tinggi Polri lainnya yakni Kombes Pol Soesilo Pradoto., M.Kes dan AKBP Syaiful Yahya S.Si. Apt  telah lebih dulu divonis bersalah oleh majelis hakim dalam perkara ini. 

Dede menjelaskan, total kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp.7 miliar. 

Penumpang Sriwijaya Air Meningkat 20 Persen Sebelum 6 Mei, Mayarakat Ramai-ramai Mudik Lebih Cepat

Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp.4,4 miliar sudah dikembalikan kepada negara. 

"Dimana terdakwa AKBP Edya Kurnia mengembalikan sebesar Rp 2 miliar dari jumlah Rp 4,4 miliar yang dikembalikan kepada negara," ujarnya.

Pembelaan AKBP Eddy Kurnia

Dalam pembelaannya, Edya mengaku jika tidak ada perintah atasannya, tidak mungkin semua ini terjadi.

Biasanya Kami Main ke Sawah, Kenangan Adik Serka Edi Anggota TNI di OKU Timur yang Tewas Ditikam

"Mungkin sidah jadi nasib saya. Seandainya saat itu tidak ada perintah atasan, mungkin semua itu tidak terjadi.

Saya salah dan terlalu naif mengikuti kehendak orang lain. Saya menyesal," ujar Edya pada majelis hakim melalui sambungan telekonfrensi, Senin (5/4/2021).

Dalam pledoi yang disampaikan oleh terdakwa Edya, diketahui fakta baru yakni, ada 13 nama anggota yang terkena kode etik penerimaan casis Bintara Polri Polda Sumsel tahun 2016.

Dari 13 nama, hanya 2 katim yang kasusnya dianggkat, yakni dirinya dan katim kesahatan bernama almarhum dokter Susilo (terpidana dalam kasus sama).

Dalam artian dua nama lainnya tidak diangkat kasusnya.

"Dengan kerendahan hati, saya meminta majelis hakim untuk memutus seadil-adilnya dalam perkara ini," ujar terdakwa Edya.

KABAR Buruk Datang dari Mbak You, Orang Ketiga Mencoba Masuk: Aurel Diminta untuk Sabar

Usai persidangan, dikonfirmasi pada kuasa hukum terdakwa, Supendi SH MH mengatakan pihaknya tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

"Menurut kami, klien kami hanya ikut serta saja. Maka kami menilai tuntutan jaksa tidak sesuai pada klien kami," ujar Supendi, Senin (5/4/2021).

Supendi juga menegaskan bahwa dalam kasus ini terdakwa Edya bukanlah pelaku utamanya.

"Klien kami ini hanya menjalankan sesuai perintah atasannya. Bukanlah semata karena keinginan klien kami sendiri," ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, JPU Kejari Palembang Dede M Yasin SH MH,menerangkan sebagaimana tuntutan bahwa terdakwa telah terbukti melanggar pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang R.I Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Selasa (30/3/2021).

"Terdakwa dituntut pidana penjara selama 5 tahun dengan pidana denda Rp 200 juta dengan subsider 5 bulan kurungan," jelasnya.

Dede juga menyebutkan terhadap barang bukti uang sejumlah Rp 2 miliar dinyatakan dirampas untuk negara serta memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan di Rutan.

Dalam perkara ini, seorang perwira kepolisian bernama AKBP EK, diduga melakukan tindakan grafitikasi, sehingga menjeratnya menjadi tersangka.

Kasi Tindak Pidana Khusus Kejari Palembang, Dede M Yasin, melalui Kasubsi Penuntutan Kejari Palembang, Hendy mengatakan penundaan tersebut dikarenakan tuntutan terhadap terdakwa EK, tuntutan masih akan dirampungkan.

"Ditunda dikarenakan masih merampungkan surat tuntutan.Untuk pembacaan tuntutan tentu kami tidak bisa sembarangan, kami mencoba untuk mematangkan tuntutan kepada terdakwa," jelas Endi saat di Konfirmasi di Kejari Palembang, Senin (15/3/2021).

Ia menjelaskan bahwasanya tuntutan terhadap terdakwa AKBP EK, sendiri dimatangkan oleh pihak JPU Kejari Palembang.

"Namun untuk diketahui di dalam P16 nya, selain nama Jaksa dari Kejari Palembang, juga ada nama jaksa dari kejagung. Maka untuk tuntutan terhadap terdakwa nantinya juga diketahui oleh pihak jaksa kejangung," jelasnya.

Disinggung akan ada penetapan nama tersangka baru dalam perkara ini, hendi mengatakan pihaknya tidak bisa berbicara banyak.

Pasalnya hal tersebut merupakan wewenang dari pihak penyidiknya.

"Karena berkas-berkas perkara ini merupakan dari Polri, JPU hanya menyidangkan berkas yang diajukan atau dilimpahkan oleh penyidik. Terkait nanti adanya calon tersangka baru itu kewenangan penyidik," ujar Hendy.

Sekalipun adanya penetapan dari majelis hakim, atau pengadilan negeri jika nama baru ditetapkan menjadi tersangka, JPU hanya menjalankan penetapannya saja.

Yang mana pada dasarnya jika adanya penetapan tersangka baru, merupakan wewenang dari penyidik, dalam perkara ini yakni Penyidik Polri.

Dikonfirmasi terpisah, Kuasa Hukum terdakwa, Supendi SH MH mengatakan pihaknya hanya menunggu saja.

Sejumlah Tokoh NU Sumsel Dukung Muhaimin Iskandar Maju ke Piplres 2024, Gus Ami tak Diragukan Lagi

"Tuntutan itukan haknya JPU, kami selaku kuasa hukum terdakwa hanya bisa menunggu jadwal sidang selanjutnya, dan dari hasil sidang nantinya baru kami akan menyiapkan apa saja yang diperlukan untuk perkara ini selanjutnya," ujar Supendi.

Diberitakan sebelumnya, Pada sidang yang digelar secara virtual, yang diketuai oleh hakim Abu Hanifah SH MH, Senin (15/2/2021), Jaksa Penuntut Umum menghadirkan 4 orang saksi.

Saksi yang dihadirkan yakni, BM (polri dari mabes polri), AS (polri)

Kemudian AKBP DD (polri), dan MS (Psikologi).

Dalam persidangan tersebut, salah seorang saksi bernama Deni Dharmapala memberikan keternagan dan mnyebut adanya keterlibatan Ibu Kapolda didalam perkara ini.

Dalam keterangannya DD menyampaikan, saat proses penerimaan calon siswa (casis) Bintara Polri tahun ajaran 2016 lalu, ia sempat menerima titipan amplop dari orang terdekat petinggi Polda Sumsel yang diberikan melalui saksi Rf.

"Ada amplop titipan dari Rf. Kata Rf ini dari i.. k...da, tolong diatensi," ujarnya saat memberikan kesaksian kemarin, Senin (15/2/2021).

Mendengar kesaksian tersebut, majelis hakim yang diketuai Abu Hanifah lantas meminta Deni untuk mempertegas kesaksiannya.

"Kamu tahu dari mana kalau itu atensi i... k....da," ujar hakim.

Secara gamblang, DD langsung menjawab bahwa itu adalah perintah langsung dari Rifan.

"Oh Rf yang ajudan ka...da itu ya," ujar hakim yang langsung dibenarkan oleh DD.

Tak cukup disitu, hakim kembali mencecar DD dengan pertanyaan terkait isi amplop yang dititipkan.

DD menerangkan bahwa saat dibuka, ia mendapati ada 30 nama casis tahun angkatan 2016 yang akan dibantu hingga lulus.

DD mengakui, setelah mendapat amplop titipan tersebut, ia langsung menyerahkannya ke AKBP SY yang saat itu menjabat sekretaris panitia pemeriksaan kesehatan seleksi penerimaan casis bintara polri tahun angkatan 2016.

Diketahui saat ini AKBP SY sudah diputus bersalah atas kasus serupa dan divonis menjalani 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta karena terbukti menerima uang suap sebesar Rp.6,5 miliar dalam penerimaan bintara Polri tahun angkatan 2016.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved