Korupsi mantan Menteri Sosial
Ketua Komisi VIII DPR RI Diperiksa KPK, Kasus Korupsi Mantan Mensos Juliari Batubara
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto, dipanggil penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait perkara korupsi bantuan sosial Covid-19.
SRIPOKU.COM --- Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto, dipanggil penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penyidik KPK membutuhkan keterangan Yandri Susanto terkait kasus korupsi penyaluran paket bantuan sosial Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Anggota DPR RI dari Fraksi PAN Yandri Susanto, akan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Menurut jurubicara KPK, Ali Fikri, keterangan Yandri dibutuhkan penyidik untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemensos, Matheus Joko Santoso.
Baca juga: Ancaman Hukuman Mati Bayangi Edhy Prabowo dan Juliari Batubara dari KPK
Baca juga: Kasus Korupsi PT Asabri: Matahari Mall Hingga Hotel Maestro Milik Benny Tjokro Disita
"Yang bersangkutan (Yandri Susanto) diperiksa sebagai saksi untuk tersangka MJS (Matheus Joko Santoso)," kata Ali Fikri dalam keterangan di Jakarta, Selasa (30/03/2021).
Belum diketahui secara pasti materi yang bakal didalami penyidik saat memeriksa Yandri. Namun, Komisi VIII DPR RI ruang lingkup tugas dan fungsinya di antaranya di bidang sosial dengan mitra kerja Kementerian Sosial.
Selain memeriksa Yandri, dalam mengusut kasus suap bansos, tim penyidik menjadwalkan memeriksa seorang Notaris Sahat Simanungkalit dan seorang swasta bernama Prospelany.
Keduanya juga diperiksa untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka Matheus Joko Santoso.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan eks-Mensos Juliari Batubara serta dua PPK Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai tersangka.
Baca juga: Mantan Mensos Juliari Batubara Sering Sewa Pesawat untuk Kunjungan Kerja
Ketiganya diduga sebagai pihak penerima suap terkait penyaluran bantuan paket Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.
Selain itu, penyidik KPK telah menetapkan dua pihak swasta sebagai tersangka, yakni Ardian Iskandar dan Harry Van Sidabuke yang diduga sebagai pemberi suap.
Juliari bersama Adi dan Matheus diduga menerima suap senilai sekira Rp17 miliar, dari Ardian dan Harry selaku rekanan Kemensos dalam pengadaan paket bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Sebelumnya diberitakan, kasus korupsi paket bantuan sosial untuk penanganan virus corona atau Covid-19 semakin terungkap.
Mantan Mensos Juliari P Batubara yang berstatus tersangka, disebut KPK diduga "menyunat" Rp 10.000 dari setiap paket paket untuk masyarakat.
Baca juga: Mantan Mensos Juliari Batubara Titip Uang Rp500 Juta ke Pengurus Partai Politik
Seharusnya, nilai paket bantuan itu Rp 300 ribu per paket, namun harga nyata setiap paket yang diterima masyarakat tidak lebih dari Rp200.000.
Dari fee Rp 10 ribu per paket itulah, total akumulasi dana korupsi yang dinikmati Juliari diduga mencapai Rp 17 miliar.
Aktivis anti-korupsi dari MAKI (Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia) mengungkap perhitungan lain. Koordinator MAKI Boyamin Saiman, menduga fee yang didapat Juliari lebih dari Rp 10 ribu per paket, seperti perhitungan KPK.
Menurut Boyamin, Jumlah yang dikorupsi Juliari mencapai Rp 33 ribu per paket.
”Kalau berapa kira-kira gambarannya per paket yang dikorup, dugaannya dari hitung-hitunganku adalah Rp 28 ribu ditambah Rp 5.000 adalah Rp 33 ribu,” kata Boyamin beberapa waktu lalu.
Boyamin menguraikan rincian dana yang dianggarkan, yakni Rp 300 ribu per paket bansos hingga diduga dikorupsi lebih dari Rp 10 ribu.
Menurutnya, dugaan itu dia dapatkan dari survei harga barang yang beredar di pasaran.
”Jadi anggaran kan Rp 300 ribu, terus dipotong Rp 15 ribu untuk transpor, Rp 15 ribu untuk tas goody bag. Jadi seakan-akan pemborong mendapatkan Rp 270 ribu," katanya.
"Kalau berdasarkan barang yang ada di lapangan yang diterima masyarakat senilai Rp 188 ribu. Jadi artinya dugaan yang dikorupsi adalah 82 ribu," ujar Boyamin.
Harga Rp 88 ribu itu didapat setelah menyelidiki isi bansos dengan membeli bantuan yang diterima tetangganya. Pertama-tama, harga tasnya di bawah Rp7.000.
Kemudian, dua kaleng sarden dengan harga satuan Rp 6.000. "Dan ini pun isinya, adalah lebih banyak air. Jadi, ikannya cuma sedikit, dan sausnya juga sedikit, diisi air paling banyak," tutur Boyamin.
Selanjutnya, ada minyak goreng seharga Rp22.000 dan susu bubuk kotak seharga Rp44.160. Sementara itu, beras yang diberikan hanya berkisar Rp6.000 per kilogram, karena kualitasnya rendah.
"Paling tidak, ini saya hargai di angka Rp 8.000, jadi Rp80.000," kata dia mencoba menaikkan harga beras tersebut.
Dalam setiap paket sembako, masyarakat mendapatkan 10 kilogram beras beserta kutu-kutu di dalamnya. Terakhir, ada satu kaleng biskuit senilai Rp30.000. Dengan begitu, keseluruhannya mencapai Rp186.160.
"Dan ini sudah saya cek di pasar, di pasar slipi, di grosir, ada toko grosir dan juga tetangga yang toko kelontong, ya harganya segitu-gitu," kata dia.
Bonyamin menyebut sebelumnya Menteri Sosial pernah menyatakan barang-barang bansos didapatkan dari pabrik karena mendesak.
"Jadi, harganya mestinya lebih murah karena belinya partai besar," ujarnya. "Pasti rasanya tidak mungkin kok kemudian karena ini diborong, harus keuntungan dan sebagainya," ucap koordinator MAKI itu.
Selain itu, pihak kontraktor utama ternyata melakukan subkontrak ke perusahaan lain. Ia menduga pengadaan barang dan jasa untuk bansos Covid-19 disubkontrakkan dengan nilai Rp210.000 per paket sembako. "Sehingga harganya jadi wajar ketika ini tinggal Rp188 ribuan," kata dia.
Tak hanya itu, Boyamin mengatakan dalam program pengadaan bansos itu pemenang tender boleh mengambil keuntungan maksimal hingga 20 persen. Menurutnya, 20 persen dari Rp 270 ribu itu Rp 54 ribu.
”Dari selisih tadi, Rp 82 ribu dikurangi Rp 54 ribu. Jadi kira-kira yang dikorup adalah per paket Rp 28 ribu, itu untuk barang ya. Untuk goody bag juga ada sekitar Rp 5.000 yang dikorup. Karena goody bag itu anggap saja harganya Rp 10 ribu dari Rp 15 (ribu). Jadi 28 ribu ditambah 5.000 sekitar Rp 33 ribu," kata Boyamin.
”Berarti Rp 23 ribu tadi bisa saja untuk bancakan, ada yang ke pejabat, ada yang ke pemborong sendiri. Jadi (pemborong) mengambil untungnya lebih dari 20 persen."
"Karena apa? Selain dugaan untuk bancakan antara pemborong dan pejabat senilai Rp 23 ribu tadi, karena sudah dipotong untuk Mensos Rp 10 ribu," katanya.
Terkait dugaan tersebut, Juru Bicara KPK Ali Fikri menngatakan bahwa KPK akan menelusuri semua data dan informasi dugaan tersebut.
"Seluruh data dan informasi terkait pengadaan bansos tersebut tentu akan didalami dan digali dari keterangan para saksi yang akan dihadirkan dalam proses penyidikan," kata Ali kepada wartawan, Kamis (10/12).
Ali menyebut KPK akan menggali informasi dari keterangan sejumlah saksi. Menurut Ali, saksi-saksi akan segera dipanggil KPK untuk diperiksa oleh penyidik.
KPK terus melakukan penyidikan terkait korupsi dana bansos yang dilakukan Juliari. Penyidik lembaga antirasuah itu sudah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi terkait kasus dugaan korupsi dana bansos Covid-19. Termasuk rumah dinas dan rumah pribadi Juliari.
"Hari Selasa (8/12) tim penyidik KPK melakukan upaya paksa penggeledahan di 4 lokasi berbeda, yaitu di rumah pribadi dan rumah jabatan dinas tersangka JPB," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, kepada wartawan, Kamis (10/12).
Selain itu, KPK telah menggeledah dua kantor perusahaan yang diduga bekerjasama dengan Kemensos dalam penyaluran Bansos. Ali menyebut sejumlah dokumen terkait penyaluran bansos Covid-19 diamankan. "Adapun barang-barang yang ditemukan dan diamankan di antaranya berbagai dokumen yang terkait dengan perkara ini," ujar Ali.
Menurut Ali, tim penyidik akan menganalisa lebih dulu beberapa dokumen yang diamankan. Selanjutnya, KPK segera menentukan barang-barang apa saja yang menjadi sitaan KPK. "Tim akan menganalisa lebih dahulu terhadap beberapa dokumen dimaksud untuk selanjutnya segera melakukan penyitaan," katanya.****
Sumber: Tribunnews.com, judul "kpk-periksa-ketua-komisi-viii-dpr-di-kasus-bansos-covid-19-juliari-batubara"