Presiden Tiga Periode

Polemik Masa Jabatan Presiden Tiga Periode

Adalah Amien Rais melalui akun You Tube, Amien Rais Offcial, melontarkan isu per­panjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Editor: Salman Rasyidin

Oleh: Mahendra Kusuma, SH, MH

Dosen PNSD LLDIKTI Wilayah II Dpk FH Universitas Tamansiswa Palembang

Adalah Amien Rais melalui akun You Tube, Amien Rais Offcial, melontarkan isu per­panjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Beliau mengungkapkan ke­curigaannya terkait adanya usaha dari pemerintahan Presiden Joko Widodo akan men­dorong adanya sidang istimewa MPR untuk melaksanakan perubahan terhadap dua pasal.

Satu diantara dua pasal itu akan memberikan hak bagi presiden bisa dipilih tiga kali (Sriwijaya Post, 15/3/2021).

Isu ini kemudian menjadi bola liar dalam jagat perpolitikan kita.

Berbagai tanggapan muncul. Partai Demokrat dan PDIP kompak menolak apa yang dilontarkan Amien Rais.

Bahkan Ketua MPR, Bambang Soesatyo menegaskan tak pernah ada pem­ba­hasan perpanjangan ma­sa jabatan presiden di MPR (Kompas, 16/3/2021).

Dalam tu­lis­an ini penulis ingin mem­berikan sedikit ulasan tentang periodesasi masa jabatan presiden.       

Di negara yang berbentuk republik dan menganut sistem pemerintahan presidensial a­dalah hal yang lazim jika seorang presiden dibatasi masa jabatannya.

Dengan pem­ba­tasan jabatan ini memungkinkan terjadinya alih generasi atau kaderisasi kepe­mim­pin­an suatu negara dari pemimpin yang terdahulu.

Pembatasan jabatan presiden di­berbagai negara telah dicantumkan dalam konstitusi mereka.

Di negara kita, para the founding fathers yang menyusun UUD 1945 telah men­can­tumkan pengaturan tentang masa jabatan presiden Republik Indonesia sebagaimana ter­muat dalam Pasal 7.

Dalam Pasal 7 dinyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden me­megang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.

Namun ironis, ketentuan Pasal 7 ini dikebiri di era orde lama.

Presiden Soekarno se­te­­lah ditunjuk oleh PPKI sebagai presiden sampai akhir masa jabatannya tidak per­nah dipilih oleh MPR dan terus saja berkuasa.

Bahkan MPRS lewat Ketetapan MPRS No. III/1963 menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.

Dan ini merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945.

Demikian juga dengan Presiden Soeharto terus menjadi presiden selama 7 periode (1968-1998).

Tentu saja tidak ada yang dilanggar oleh presiden Soeharto terhadap UUD 1945.

Yang salah adalah UUD 1945 tidak memberikan batasan periodesasi sampai berapakali seseorang bisa menjabat presiden.  

Penjelasan UUD 1945 tidak memberikan penjelasan yang lengkap terhadap pasal 7 ini.

Dalam penjelesan pasal 7 dinyatakan bahwa pasal ini “telah jelas”.

Namun dari ka­ta-kata telah jelas, menurut Prof. Abu Daud Busroh (1991) justru masih meng­an­dung hal yang belum jelas yakni berapakali seseorang itu dimungkinkan menurut ketentuan dapat memegang jabatan presiden.

Banyak pengamat menyatakan bahwa ketidakjelasan mengaturan masa jabatan presiden inilah yang menjadi pangkal persoalan presiden mengakumulasi kekuasaannya.

Pengalaman Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun menyebabkan salah satu fokus perubahan UUD 1945 adalah pembatasan masa jabatan presiden dan wa­kil presiden.

Pembatasan masa jabatan tersebut dipandang sangat penting mengingat su­dah menjadi karakter kekuasaan apabila semakin lama dijabat maka akan semakin mem­besar, mengeras, dan menguat.

Tahapan berikutnya kekuasaan yang demikian mem­buka peluang bagi berkembangnya kekuasaan yang otoriter yang akan meng­ancam demokrasi dan hak asasi manusia (Patrialis Akbar, 2013).

Tumbangnya rezim  Soeharto memunculkan babak baru perpolitikan di Indonesia ter­utama yang berkaitan dengan masa jabatan presiden.

Pada Sidang Istimewa MPR tahun 1998, MPR mengeluarkan Ketetapan No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Ketetapan inilah yang kemudian menjadi titik tolak untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945.

Pasal 7 UUD 1945 ha­sil amandemen berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama li­ma tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Pembatasan masa jabatan ini dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan yang pada gilirannya menjadi seorang tirani dan untuk mendorong terjadinya siklus ke­pemimpinan dan kaderisasi dapat berjalan dengan baik.

Dengan adanya ketentuan konstitusi ini maka pada masa yang akan datang tidak a­kan mungkin terulang kembali ada presiden yang menjabat lebih dari dua periode.

Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terkena aturan ini.

Beliau tidak di­mungkinkan kembali menjadi presiden untuk periode ketiga.

Kendati pada waktu itu kader Partai Demokrat mengusulkan amandemen terhadap Pasal 7 agar seorang pre­siden bisa menjabat sampai tiga periode.

Namun usulan tersebut mendapat pe­no­lakan yang luas dari publik sehingga kandas.

Di era Jokowi isu tersebut muncul kembali.

Ketua MPR Bambang Soesatyo sempat me­lontarkan wacana genit untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 yang memu­ng­kinkan presiden menjabat selama 3 periode.

Wacana ini menurut beliau atas ma­suk­an dari masyarakat dengan dalih agar program pembangunan bisa ber­ke­sinam­bungan.

Pro kontra pun muncul di masyarakat.

Peneliti LIPI, Siti Zuhro, dalam dis­kusi bertema “Menyoal Periode Ideal Jabatan Presiden” di Jakarta (24/11/2019),  menganggap wacana tersebut tidak relevan dan belum ada urgensinya.

Wacana ini me­nurut beliau akan jadi preseden buruk bagi negara demokrasi Indonesia.

Selain perpanjangan periodesasi masa jabatan presiden, isu yang sempat berkembang juga adalah masa jabatan presiden dan wakil presiden hanya satu periode dengan durasi 7-8 tahun saja.

Wacana ini dikemukakan agar presiden terpilih nantinya tidak ter­bebani atau terganggu dengan keinginan untuk dipilih kembali pada periode selan­jutnya.

Presiden akan fokus bekerja sampai akhir masa jabatannya.

Kebijakan yang di­ambil oleh presiden tidak akan dicurigai oleh lawan politiknya sebagai kampanye terselubung untuk menggalang dukungan publik.

Dan bagi para calon presiden peng­ganti dapat bersaing secara fair dan  punya peluang yang sama untuk menang karena presiden yang sedang berkuasa tidak dapat lagi   mengikuti pilpres.

Di beberapa negara,  pengaturan masa jabatan presiden hanya satu periode telah ba­nyak diterapkan.

Pola ini telah berlaku di Filipina (sesudah pemerintahan Ferdinand Marcos).

Masa jabatan presiden Filipina 6 tahun dan hanya untuk satu kali masa ja­batan.

Presiden Mexico juga dipilih hanya untuk satu kali masa jabatan yaitu 6 tahun (Bagir Manan, 1999).

Banyak yang menduga bahwa wacana genit untuk mengutak-atik masa jabatan pre­siden ini dilakukan oleh pendukung Presiden Jokowi.

Namun hal tersebut dibantah o­leh Jokowi.

Bahkan Jokowi dengan gusar dan rasa kecewa menyatakan “Kalau ada yang mengusulkan (masa jabatan) presiden tiga periode, itu ada tiga (kemungkinan) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya, dan ingin cari muka. Ketiga, ingin men­jerumuskan (saya)” (Kompas, 3/12/2019).

Sebagai akhir tulisan ini, penulis berpendapat bahwa wacana amandemen terhadap masa jabatan presiden dan wakil presiden sah-sah saja kalau itu merupakan kehendak rak­yat.

Namun jika keinginan amandemen tersebut hanya untuk memenuhi  syahwat po­litik para politisi penulis kurang setuju.

Oleh karena itu, kalau memang masa ja­bat­an presiden mau diamandemen  alangkah baiknya kalau dimintakan pendapat rak­yat lebih dahulu melalui referendum. Referendum terhadap konstitusi lazim dila­ku­kan oleh berbagai  negara.

Contoh, Mesir pada tahun 2014 melakukan referendum ter­hadap masa jabatan presiden.

Hasil referendum memperpanjang periode pe­me­rin­tahan Presiden Abdel  Fattah al-Sisi dari 4 tahun menjadi 6 tahun.

Perubahan kons­ti­tu­si juga  memungkinkannya mencalonkan kembali sebagai presiden Mesir untuk pe­riode ketiga pada 2024.

Referendum terhadap masa jabatan presiden juga dilakukan di Turki pada tahun 2017.

Hasil referendum  merubah sistem pemerintahan Turki dari sistem parlementer men­­jadi sistem presidensiil.

Pergantian sistem pemerintahan ini akan diimple­men­ta­si­­kan pada tahun 2019.

Dalam amandemen tercakup perpanjangan masa jabatan pre­siden menjadi 5 tahun, dan boleh menjabat 2 periode.

Dengan demikian, Presiden Re­cep Tayyip Erdogan berpotensi memimpin Turki hingga 2029.(***)

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved