Jaringan Narkoba

Ketika Polisi  Terjerat Jaringan   Narkoba

Narkoba adalah musuh bersama. Pemakai dan pengedar narkoba di Indonesia dari waktu ke waktu tampaknya semakin banyak.

Editor: Salman Rasyidin

Oleh: Mahendra Kusuma, SH, MH

Dosen PNSD LLDIKTI Wilayah II Dpk FH Universitas Tamansiswa Palembang

Narkoba adalah musuh bersama. Pemakai dan pengedar narkoba di Indonesia dari waktu ke waktu tampaknya semakin banyak.

Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat padat pen­duduknya, tentu saja merupakan pasar potensial narkoba.

Angka kejahatan narkoba tidak per­nah mengalami degradasi, ia selalu mendapatkan promosi ke tingkatan yang sulit untuk kita lampaui.

Indonesia telah menjadi great market and good price bagi peredaran gelap narkoba.

Menurut da­ta Badan Narkotika Nasional, transaksi narkoba di Indonesia mencapai angka fantastis, Rp 48 triliun pada 2014.

Bandingkan dengan nilai transaksi narkoba di seluruh negara ASEAN se­jumlah Rp 160 triliun.

Itu artinya sepertiga transaksi narkoba di ASEAN terjadi di In­do­ne­sia.

Jumlah penduduk yang besar dengan wilayah yang luas menjadi daya tarik peredaran narkoba di negara ini.

Tidak tanggung-tanggung 1 jaringan mampu menciptakan transaksi de­ngan jumlah lebih dari 1 Triliun Rupiah (Hinca IP Pandjaitan XII, 2019).

Peningkatan peredaran narkoba tidak terlepas dari kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional yang beroperasi di berbagai negara dalam suatu jaringan kejahatan inter­na­si­onal.

Hal itu dilakukan karena keuntungan yang diperoleh sangat besar. Organisasi kejahatan ter­sebut berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan dan mengembangkan terus u­sa­ha peredaran gelap narkoba dengan cara menyuap, mencampuri, dan merusak struktur pe­me­rintahan. Usaha perdagangan dan keuangan tersebut termasuk yang tidak sah serta kelompok-kelompok ber­pe­ngaruh dalam masyarakat.

Indonesia darurat narkoba, teriakan ini begitu memekikan telinga kita karena para petinggi negeri semuanya membicarakan hal ini.

Terlebih Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan statement ini pada tahun 2015. “Indonesia kini sedang dalam kondisi yang benar-benar da­rurat narkoba. Setiap harinya 40-50 orang meninggal dunia karena narkoba”, ujar Presiden Jokowi.

Hingga saat ini seluruh negara di muka bumi masih berupaya menemukan formula terbaik untuk menepis kejahatan narkoba agar tidak masuk dan menusuk relung kehidupan warga me­­reka.

Formula yang dibuat juga beragam, setiap negara memiliki pendekatan yang ber­beda.

Di beberapa negara, memusuhi narkoba memiliki arti melakukan perang besar-besaran ter­hadap bandar dan sindikat.

Sedangkan di beberapa negara lagi, menghilangkan narkoba bukan dengan melakukan perang melainkan mengontrol pemakaian dan mengutamakan pen­dekatan medis kepada mereka yang sudah mengalami ketergantungan.  

Tindakan ekstrim per­nah dilakukan oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam mengatasi narkoba di negaranya, dengan cara menembak mati di tempat para terduga pengedar dan bandar narkoba, termasuk aparat kepolisian yang terlibat.

Di negara kita pemberantasan narkoba semakin sulit dilakukan.

Kita dihadapkan oleh kom­ple­ksitas kejahatan narkoba yang semakin rumit.

Peredaran dan pemakaian narkoba sudah ma­suk ke lingkungan aparat penegak hukum, terutama Polri.

Entah sudah berapa banyak ok­num polisi yang dipecat dari berbagai lingkungan wilayah  kepolisian di tanah air, mulai  dari tingkat Polres sampai ke tingkat Polda.

Mereka terdiri dari para bintara sampai perwira me­ne­ngah.

Namun ironisnya, pemecatan tersebut tidak membuat polisi jera untuk bermain-main dengan narkoba.

Berbagai macam modus yang dilakukan oleh oknum polisi untuk bermain dengan narkoba.

Pertama, ada oknum polisi yang menjadikan bandar narkoba sebagai “mesin ATM”, mereka ini kerap dilindungi oleh segelintir oknum polisi.

Kedua, ada oknum polisi yang “memeras” ter­sangka pemakai dan pengedar narkoba untuk menyerahkan sejumlah uang yang nilainya puluhan sampai ratusan juta rupiah agar kasusnya tidak diteruskan.

Ketiga, ada oknum polisi yang menjadi pengedar narkoba,

Keempat ada oknum polisi yang menjadi kurir narkoba.

Kelima,  ada pula oknum polisi yang menjadi pemakai barang haram ini.

Modus terakhir ini yang dilakukan oleh Kapolsek Astana Anyar Kompol Yuni Purwanti Ku­suma Dewi beserta anggotanya ditangkap karena diduga terlibat narkoba.

Yang menarik dan kon­tradiktif adalah Kompol Yuni Purwanti  Kusuma Dewi justru sempat menjabat sebagai Ke­pala Satuan Narkoba Polres Bogor.

Kala itu, Yuni sempat masuk dalam tayangan televisi 86 ketika memimpin operasi penggerebekan rumah bandar narkoba pada 28 Januari 2016 di Ci­leungsi, Bogor, Jawa Barat (Tajuk Sriwijaya Post, 23/2/2021).

Mengapa polisi terjerat narkoba?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Banyak variabel yang harus diteliti.

 Namun, paling tidak secara psikologis banyaknya oknum polisi yang ter­je­rat kasus narkoba kemungkinan disebabkan jam kerja yang tidak terbatas menimbulkan frus­tasi dan stres. Setiap saat harus bertemu dengan pelaku pelanggaran hukum, melihat ber­bagai kekerasan dan perilaku buruk dari anggota masyarakat.

Belum lagi  dilema moral ber­ha­dapan dengan iming-iming uang untuk membebasakan peng­edar narkoba.

Juga ambisi i­ngin cepat dapat uang banyak guna mengembalikan  modal saat masuk menjadi anggota po­lisi.

Namun apa pun dalihnya, ulah para oknum polisi yang bermain-main dengan narkoba me­rusak profesi polisi.

Kita tahu bahwa profesi polisi adalah profesi terhormat yang mem­be­ri­kan pelayanan kepada masyarakat. Jasa polisi sangat dibutuhkan  oleh masyarakat.

Kepada po­lisi senantiasa diharapkan jasanya untuk melindungi masyarakat dati segala macam bentuk ke­jahatan, termasuk kejahatan narkoba.

Polisi berani bermain dengan narkoba karena mereka punya kekuasaan.

Itu yang dengan mudah bisa dilihat dari banyak kasus penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh oknum polisi.

Kecenderungan oknum polisi yang terlibat kasus narkoba, sesungguhnya bukan monopoli kepolisian di Indonesia.

Polisi Malaysia terus berupaya keras memberantas narkoba, ter­ma­suk di kalangan mereka sendiri.

Menurut pihak berwenang, Malaysia adalah titik transit utama narkoba.

Kepala Polisi Diraja Malaysia Abdul Hamid Bador mengatakan, jumlah pecandu terus bertambah.

Tidak hanya di antara orang biasa, tetapi juga di antara orang-orangku sendiri (Kompas, 30/7/2019).

Bagi polisi yang kurang memiliki integritas moral yang baik, kekuasaan yang melekat padanya tentunya sangat menggoda untuk dipergunakan ke arah yang lain yang bukan untuk tegaknya hukum dan keadilan masyarakat.

Untuk mencari polisi yang berintegritas dimulai saat rekrutmen.

Dalam rekrutmen anggota polisi, bagian psikologi Polri atau Polda perlu juga  melibatkan psikolog independen  untuk mengetahui kejiwaan calon anggota polisi.

Jangan sampai terulang kembali kolusi di bagian  psikologi yang pernah terjadi pada saat penerimaan calon siswa bintara  Polda Sumsel tahun 2016 yang sekarang perkaranya masih dalam proses persidangan.

Dalam proses persidangan terungkap uang suap yang diterima tersangka AKBP Edya Kurnia (Kabag Psikologi) sebesar Rp 20 juta per orang (Sumatera Ekspes, 23/2/2021).

Dengan pemeriksaan psikologi yang tepat, dapat diketahui motivasi mereka masuk menjadi anggota polisi.

Apakah memang untuk mengabdi pada bangsa dan negara ataukah untuk memupuk kekayaan dengan melakukan penyimpangan.  

Rekrutmen sumber daya manusia Polri, meminjam istilah Jenderal Pol Tito Karnavian harus clear and clean.

Yang harus di clear and clean-kan adalah panitia seleksi.

Tidak boleh lagi ada praktik-praktik permainan, suap, pungli, dan kasak kusuk cari dukungan sponsorship atau katabelece.

Dengan sistem dan pola seperti itu, yang lolos seleksi adalah mereka yang benar-benar berkualitas unggul dan punya daya saing. 

Rekrutmen sebagaimana dikatakan oleh ASSDM Polri Irjen Pol Arief Sulistyanto memakai konsep bersih, transparan, akuntabel, dan humanis (Betah).

Banyaknya oknum polisi yang terjerat narkoba disinyalir karena sistem rekrutmen yang tidak bersih.

Jeratan narkoba bisa membuat oknum polisi lupa diri, mereka biasanya pamer kemewahan dan bergelimang harta.

Padahal ketika Jenderal Pol Idham Aziz menjadi Kapolri, beliau meminta agar polisi hidup sederhana.

Banyak bintara-bintara muda polisi yang baru beberapa tahun menjadi polisi bergonta ganti kendaraaan.

Publik pun sering bertanya dari mana harta yang mereka dapati.

Bukankah gaji dan remunerasi polisi tidak begitu besar.

Apabila masyarakat mencurigai harta kekayaan polisi yang tidak wajar, bisa saja menga­du­kan oknum tersebut kepada KPK.

Dan oknum anggota polisi tersebut tak usah khawatir.

Oknum polisi tersebut bisa menjelaskan bahwa harta yang ia punyai diperoleh secara wajar me­lalui mekanisme  sistem pembuktian terbalik pada sidang pengadilan.

Bisa saja harta terse­but diperoleh karena warisan misalnya.

Terkait dengan tertangkapnya Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung merespons dengan mengeluarkan Instruksi yang tertuang dalam surat telegram Kapolri bernomor ST/831/II/HUK.7.1/2021 tertanggal 19 Februari 2021yang di­tu­jukan kepada jajarannya antara lain sebagai berikut:

Kapolri akan memberikan reward atau penghargaan kepada jajarannya yang dapat mengungkap kasus penyalahgunaan narkoba yang me­libatkan sesama personel Polri;

Terhadap anggota yang menyimpang mengedarkan, meng­konsumsi ataupun terlibat dalam jaringan organisasi narkoba diberi hukuman.

Hukuman juga berlaku bagi mereka yang memfasilitasi ataupun menyalahgunakan we­wenang dan jabat­an­nya dalam memberikan beking terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkoba.

Melakukan kegiatan tes urine kepada seluruh anggota Polri di setiap wilayah, serta meminta pimpinan ke­polisian langsung dapat memberian kepedulian terhadap anggota yang mulai berperilaku negatif.

Kita sangat mengapresiasi instruksi Kapolri  tersebut, namun pelaksanaannya jangan anget-anget tahi ayam.

Biasanya,  instruksi dikeluarkan sebagai respons terhadap suatu kasus  yang men­coreng institusi Polri, setalah itu hampir tidak pernah lagi diperhatikan.

Menurut hemat penulis, selain instruksi  Kapolri tersebut, salah satu cara lain untuk menekan keterlibatan oknum polisi dalam kasus narkoba adalah dengan meminta pertanggungjawaban kepala sa­tuan wilayah.

Bila terdapat kasus narkoba yang melibatkan anggota polisi, selain yang ber­sangkutan dijatuhi hukuman maksimal, juga Kapolresnya dicopot dari jabatannya.

Dengan de­mikian, kepala satuan wilayah kepolisian lebih  berhati-hati dan peduli serta  dapat me­wan­ti-wanti anak buahnya untuk tidak terjerat kasus narkoba. *

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved