Isu Kemiskinan
Polemik Isu Kemiskinan yang Tak Kunjung Reda
“Kemiskinan” selama bertahun-tahun sejak pasca kemerdekaan hingga saat ini merupakan isu yang menjadi beban besar bagi Pemerintah.
Oleh : Tri Ratna Dewi, S.Si, MM
Fungsional Statistisi Madya, BPS Provinsi Sumatera Selatan
“Kemiskinan” selama bertahun-tahun sejak pasca kemerdekaan hingga saat ini merupakan isu yang menjadi beban besar bagi Pemerintah.
Terutama jika dikaitkan dengan kesenjangan antara kaya dan miskin. Dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan konsep pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Namun permasalahan tentang kemiskinan seringkali dipahami secara subyektif dan komparatif sehingga menimbulkan penafsiran yang keliru di masyarakat.
Belum lama ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Menjadi polemik manakala angka kemiskinan tertinggi suatu wilayah dimaknai sebagai “wilayah termiskin”.
Konteks wilayah termiskin dapat dicirikan oleh berbagai indikator, antara lain berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Selain itu, angka harapan hidup yang rendah, tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, aktivitas masyarakat pada umumnya menggunakan sarana dan prasarana tradisional, perkembangan iptek yang lambat serta pendapatan yang relatif rendah.
Sementara itu, besaran angka kemiskinan suatu wilayah yang dirilis BPS menunjukkan jumlah penduduk di wilayah tersebut yang tergolong tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) akan makanan dan bukan makanan, sehingga dikategorikan miskin.
Mereka yang masuk dalam kategori miskin berdasarkan data BPS adalah penduduk yang rata-rata pengeluaran per kapita per bulannya di bawah Garis Kemiskinan.
Sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin.
Provinsi Sumatera Selatan dengan jumlah penduduk sebesar 8,47 juta jiwa (hasil Sensus Penduduk 2020).
Berdasarkan rilis BPS pada Senin (15/2) mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2020 sebesar 12,98 persen atau 1.119,65 ribu penduduk yang tersebar di 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan.
Bila dibandingkan dengan data Maret 2020, terjadi penambahan 0,32 persen poin. Meskipun masih tercatat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin yang relatif besar dibandingkan jumlah penduduk miskin di provinsi lain, bukan berarti Provinsi Sumatera Selatan menjadi salah satu “provinsi termiskin”.
Sumatera Selatan dengan luas wilayah 91.592,43 km2 memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah dan dikelola oleh SDM yang mumpuni, menjadi provinsi dengan share PDRB tertinggi ke-3 di Sumatera, yaitu lebih dari 13 persen, setelah Sumatera Utara dan Riau.

Memang tidak mudah mengatasi isu kemiskinan, meskipun program pengentasan telah diupayakan dalam setiap periode kepemimpinan Kepala Daerah.
Namun prospek dan harapan penurunan sudah mulai terlihat dari tahun ke tahun.
Terpantau selama lima tahun ke belakang, mulai 2015 hingga 2019 jumlah dan persentase penduduk miskin Provinsi Sumatera Selatan konsisten mengalami menurun, dari kisaran 13-14 persen terus menurun 12,56 persen pada September 2019.
Ini menunjukkan keberhasilan atas upaya yang telah dilakukan Pemerintah Daerah dalam menekan angka kemiskinan.
Namun memasuki tahun 2020, pada kondisi Maret angka kemiskinan sedikit mulai meningkat pada posisi 12,66 persen, dan kembali meningkat menjadi 12,98 persen.
Selama periode Maret 2020-September 2020, Garis Kemiskinan naik sebesar 0,51 persen, yaitu dari Rp 439.041- per kapita per bulan pada Maret 2020 menjadi Rp 441.259,- per kapita per bulan pada September 2020.
Penambahan penduduk miskin di tahun 2020 lebih dikarenakan dampak pandemi Covid-19 yang dialamsi sebagian besar masyarakat, terutama penduduk miskin, rentan miskin dan mereka yang bekerja di sektor informal.
Pandemi COVID-19 bagi keluarga miskin dan rentan miskin melumpuhkan sumber ekonomi mereka yakni berkurangnya pendapatan dan kehilangan pekerjaan yang berakibat pada kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Efek domino pandemi Covid-19 dan penanganannya telah berdampak luas pada dinamika ketenagakerjaan di Sumatera Selatan.
Penerapan SOP pencegahan penyebaran COVID-19 serta kekhawatiran masyarakat pada umumnya menyebabkan banyak pelaku usaha menutup sementara kegiatan usahanya serta merumahkan para pekerjanya.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang gulung tikar dan mem-PHK para pekerjanya. Berdasarkan Survey Dampak Covid-19 yang dilakukan BPS pada pertengahan tahun 2020 terhadap 1.792 responden di Sumatera Selatan.
Sekitar 2,70 persen responden menyatakan baru saja mengalami PHK akibat perusahaan/tempat usaha mereka bekerja ditutup sementara atau permanen.
Sementara itu, sebanyak 14,90 persen responden mengaku bekerja tetapi sementara dirumahkan.
Hasil survey juga menyatakan terdapat 70 persen responden berpenghasilan kurang dari 1,8 juta rupiah per bulan mengaku mengalami penurunan pendapatan dan 32 persen responden berpenghasilan 1,8-7,2 juta rupiah per bulan juga mengalami penurunan pendapatan sejak pandemi merebak.
Hal ini memungkinkan terjadinya penambahan orang miskin baru dan tingkat keparahan/kedalaman kemiskinan yang semakin menjauh di bawah Garis Kemiskinan pada situasi pandemi ini.
Di sisi lain, Pemerintah Pusat dan Daerah tentunya tidak tinggal diam, dan berupaya mengatasi berbagai persoalan akibat dampak pandemi di tengah masyarakat.
Melalui kebijakan refocusing dan realokasi anggaran untuk memitigasi resiko penyebaran COVID-19 Pemerintah telah menggelontorkan dana ratusan triliun untuk berbagai program perlindungan sosial selama pandemi, dengan tujuan untuk membantu masyarakat miskin dan warga terdampak COVID-19 agar mampu mempertahankan kehidupannya tidak jatuh miskin yang lebih dalam.
Program perlindungan sosial tersebut di antaranya adalah Program Keluarga Harapan (PKH), BNPT Sembako, Bantuan Sosial Tunai, Kartu Prakerja, BLT, Dana Desa, Banpres Produktif untuk Modal Kerja UMKM, Subsidi Gaji, dan diskon listrik.
Penanganan dampak Covid-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga telah diupayakan oleh Pemerintah Daerah di Sumatera Selatan dengan berupaya mempercepat realisasi Bantuan Sosial (Bansos) tahun 2020.
Upaya percepatan penanganan dampak Covid-19 juga tergambar dari meningkatnya besaran pagu porsi Belanja Penanganan Covid-19 dalam APBD Pemerintah Daerah se-Provinsi Sumatera Selatan.
Antara lain diperuntukkan bagi Program Bantuan Usaha Ekonomi Produktif (BUEP), penyaluran stimulan UKT Mahasiswa dan bantuan kepada masyarakat terdampak pandemi lainnya.
Upaya penanganan dampak Covid-19 dan bantuan sosial lainnya tidak saja untuk menekan laju pertambahan penduduk miskin, tetapi juga meminimalisir kesenjangan pendapatan masyarakat Sumatera Selatan.
Ditinjau dari ukuran ketimpangan/kesenjangan pendapatan berdasarkan Ratio Gini periode September 2019-September 2020 turun dari 0,339 menjadi 0,338 atau turun 0,001 poin, demikian juga untuk periode Maret 2020-September 2020.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemerataan pengeluaran penduduk di Sumatera Selatan melalui program pembangunan di bidang kesejahteraan rakyat telah mulai membaik walaupun belum sesuai dengan yang diharapkan.
Jika ditinjau berdasarkan daerah tempat tinggal, Gini Ratio di daerah perkotaan lebih besar dari perdesaan.
Selama pandemi, Gini ratio perkotaan pada September 2020 sebesar 0,352 turun 0,006 poin dari Maret 2020 sedangkan di perdesaan sebesar 0,310 justru meningkat 0,002 poin dari Maret 2020.
Ketimpangan pendapatan selama pandemi Covid-19 lebih terasa dialami oleh penduduk di daerah perdesaan.
Menjadi evaluasi bagi Pemerintah Daerah agar program Jaring Pengamanan Sosial dan bantuan-bantuan sosial lainnya agar lebih efektif dan tepat sasaran untuk membantu keluarga miskin dan rentan di daerah episentrum COVID-19 untuk meringankan beban mereka selama pandemi.
Percepatan laju penurunan angka kemiskinan menjadi PR besar bagi Pemerintah Daerah agar tetap konsisten dan tepat sasaran melaksanakan program pengentasan kemiskinan untuk benar-benar mewujudkan “Sumsel Maju untuk Semua”.
Persoalan kemiskinan perlu dilihat dalam kerangka multidimensi, karenanya kemiskinan bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan.
Melainkan menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin, menyangkut ada atau tidak adanya pemenuhan hak dasar warga dan ada atau tidak adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Perlu sinergitas, kesungguhan dan ketulusan yang kuat bagi semua pihak, baik Pemerintah maupun Masyarakat untuk bersama-sama memerangi dan memberantas kemiskinan yang ada di muka bumi Sriwijaya tercinta.