SKB 3 Menteri

Majelis Ulama Indonesia Resmi Minta SKB 3 Menteri Direvisi Karena Langgar UUD 1945 . 

Persoalan terbitnya Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 menteri terkait seragam sekolah masih menjadi sorotan berbagai pihak tidak terkecuali dari MUI

Editor: Salman Rasyidin
@cholilnafis
MUI mengeluarkan tausiyah terkait SKB 3 menteri yang mengatur pakaian seragam sekolah. MUI meminta agar SKB 3 menteri itu direvisi karena bertentangan dengan UUD 1945. 

 

SRIPOKU.COM—Persoalan terbitnya Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 menteri terkait seragam sekolah masih menjadi sorotan berbagai pihak tidak terkecuali dari Mejelis Ulama Indonesia (MUI).

Bahkan MUI dalam tausiahnya menyebutkan SKB 3 Menteri Terkait Pakaian Seragam Sekolah Langgar UUD 1945.

Dikutip dari WARTAKOTALIVE.COM menguraikan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi meminta Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 menteri untuk direvisi.  

MUI berpandangan, SKB 3 menteri berpotensi menimbulkan polemik, kegaduhan, dan ketidakpastian hukum, terutama terkait diktum ketiga putusan tiga menteri tersebut. 

Setidaknya ada lima poin dalam Tausiyah MUI terkait SKB 3 Menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-1999 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021 tentang Penggunaan Pakaian Seragam Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemda pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Tausiyah MUI itu diteken Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar dan Sekjen Amirsyah Tambunan pada 11 Februari 2021.

Copy surat MUI itu disampaikan ke publik dan antara lain dibagikan di akun twitter Ketua MUI KH M Cholil Nafis Ph.D,  Jumat (12/2/2021) dan kemudian mendapat komentar sejumlah netizen (warganet) dan tokoh, termasuk Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

Dalam pandangan MUI, SKB 3 menteri, terutama pada diktum ketiga itu mengandung tiga muatan dan implikasi berbeda, yaitu:  

1. Pertama, implikasi “Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu” karena memberi perlindungan pelaksanaan agama dan keyakinan masing-masing peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan. 

2. Kedua, ketentuan yang mengandung implikasi “Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu”, harus dibatasi pada pihak (peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan) yang berbeda agama, sehingga tidak terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain. 

3. Ketiga, pewajiban, perintah, persyaratan, atau imbauan itu diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak perlu melarang. Sekolah dapat saja memandang hal itu bagian dari proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik.  Hal itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan para pemangku kepentingan (stakeholders), termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak, mengimbau atau tidak.

"Pemerintah tidak perlu campur tangan pada aspek ini," Kata Umum MUI Miftachul Akhyar dalam surat tausiyah yang ditandatangani di Jakarta pada Kamis (11/2/2021) tersebut.

MUI meminta, pemerintah hendaknya membuat kebijakan yang memberikan kelonggaaran kepada sekolah yang diselenggarakan pemda dan membuat pengaturan yang positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan, dan mendidik para peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian seragam kekhasan agama. Hal ini sesuai Pasal 29 UUD 1945 ayat (1).

MUI berpandangan, pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi penanaman nilai-nilai (transfer of values), dan pengamalan ilmu serta keteladanan (uswah).

Halaman
1234
Sumber:
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved