Sengketa Lahan PTPN VIII
FPI Persilakan Tanah di Megamendung Diambil, Lahan PTPN VIII Tak Boleh Dijual
Pengurus Pesantren Markaz Syariah di Megamendung mempersilakan pihak PTPN VIII apabila ingin mengambil kembali lahan, tetapi harus ganti rugi.
SRIPOKU.COM --- Pengurus Pesantren Markaz Syariah Front Pembela Islam milik Muhammad Rizieq Shihab, menyatakan tak masalah apabila harus melepas lahannya apabila diminta PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.
Kuasa Hukum FPI Aziz Yanuar menyampaikan, pihak pesantren juga mengajukan syarat adanya ganti rugi uang yang telah dikeluarkan dalam pembelian lahan hingga pembangunan pesantren.
"Bahwa pengurus MS-MM (Markaz Syariah Megamendung) siap melepas lahan tersebut, jika dibutuhkan negara. Tapi, silakan ganti rugi uang keluarga dan umat yang sudah dikeluarkan untuk beli Over-Garap tanah," kata Aziz Yanuar seperti dalam keterangan yang diterima Tribunnews, Jumat (25/12/2020).
Aziz mengatakan, uang ganti rugi itu nantinya akan digunakan pengurus untuk membangun pesantren Markaz Syariah FPI di tempat lain.
Baca juga: Kami Bayar ke Petani Bukan Merampas, Rizieq Shihab Klaim Tanah Pesantren Dibeli Secara Sah
Baca juga: CATATAN: Rizieq Shihab Dihajar Persoalan Hukum Bertubi-tubi, PTPN VIII Somasi Pondok Pesantren
"Biaya ganti rugi tersebut bisa digunakan untuk kembali membangun Ponpes Agrokultural Markaz Syariah di tempat lain," kata Aziz Yanuar.
Aziz Yanuar membantah apabila ada anggapan bahwa Rizieq Shihab dan pengurus Yayasan Ponpes Agrokultural Markaz Syariah mendirikan ponpes dengan cara merampas lahan. Karena lahan itu diperoleh dengnan membayar kepada petani setempat.
"Petani tersebut datang membawa surat yang sudah ditandatangani oleh lurah dan RT setempat. Jadi tanah yang didirikan Ponpes Agrokultural Markaz Syariah itu semuanya ada suratnya. Itulah yang membeli tanah Over-Garap," tegasnya.
"Dokumen tersebut lengkap dan sudah diserahkan ke instansi negara, mulai dari bupati sampai gubernur. Dan benar tanah tersebut HGU nya PTPN VIII yang digarap oleh masyarakat. Jadi kami tegaskan sekali lagi bahwa kami tidak merampas dari PTPN VIII tetapi kami membeli dari para petani," ujar Aziz.
Baca juga: Sengketa Lahan Pesantren Rizieq Shihab di Megamendung, Berikut Penjelasan PTPN-VIII
Sebelumnya, beredar di media sosial, surat somasi yang diarahkan kepada pondok pesantren Markaz Syariah pimpinan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab di Megamendung, Bogor. Dilihat Tribun, surat tersebut berasal dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII tertanggal 18 Desember 2020.
Tertulis di sana, ada permasalahan penggunaan fisik lahan HGU PTPN VII, Kebun Gunung Mas seluas kurang lebih 30,91 hektare oleh Pondok Pesantren Agrokultur Markaz Syariah sejak tahun 2013 tanpa izin dan persetujuan dari PT Perkebunan Nusantara VIII.
"Tindakan saudara tersebut merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan atau pemindahan sebagaimana yang diatur dalam pasal 385 KUHP, Perpu no 51 Tahun 1960 dan atau Pasal 480 KUHP," demikian antara lain isi surat somasi tersebut.
Markaz Syariah diminta untuk menyerahkan kembali lahan tersebut kepada PTPN VIII selambat-lambatnya 7 hari setelah surat tersebut dilayangkan.
"Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini saudara tidak menindaklanjuti maka kami akan melaporkan ke kepolisian cq. Kepolisian Daerah Jawa Barat," lanjut isi surat itu.
Sementara itu di akun YouTube FPI, FRONT TV, Rizieq Shihab menyampaikan bahwa masalah lahan MS dalam sebuah forum di Markaz Syariah. Dia menyebut, sudah beberapa tahun terakhir ada pihak yang ingin MS pindah dari Megamendung.
"Pesantren ini, beberapa tahun terakhir, mau diganggu, Saudara. Jadi ada pengganggu mau gusur ini pesantren, mau usir ini pesantren, mau tutup ini pesantren, dan menyebar fitnah. Katanya pesantren ini mau nyerobot tanah negara," kata Rizieq Shihab dalam video tersebut.
Rizieq mengakui bahwa PTPN VIII memiliki hak guna usaha (HGU) tanah yang menjadi Ponpes Markaz Syariah. Namun, ia menyebut lahan konsesi tanah itu ditelantarkan PTPN VIII dan tidak ditanami kebun teh.
"Tanah ini, Saudara, sertifikat HGU-nya atas nama PTPN, salah satu BUMN. Betul, itu tidak boleh kita mungkiri. Tapi tanah ini sudah 30 tahun lebih digarap oleh masyarakat. Tidak pernah lagi ditangani oleh PTPN. Catat itu baik-baik," katanya.
Habib Rizieq lantas berbicara tentang UU tentang Agraria. Menurut dia, jika ada tanah yang telantar selama 20 tahun, tanah itu bisa menjadi milik penggarap.
"Saya ingin garis bawahi, ada UU di negara kita, satu UU Agraria. Dalam UU Agraria tersebut disebutkan, kalau satu lahan kosong atau telantar digarap masyarakat lebih dari dua puluh tahun, maka masyarakat berhak untuk membuat sertifikat, Saudara," ujar Rizieq.
"Ini bukan 20 tahun lagi, tapi 30 tahun, Jadi masyarakat berhak tidak? (dijawab berhak oleh pendengar). Bukan ambil tanah negara," katanya.
Kirim Somasi
Saat dikonfirmasi, PTPN VIII mengaku telah mengajukan surat somasi untuk FPI terkait keberadaan Ponpes Alam Agrokultural Markaz Syariah di Megamendung. PTPN menyatakan ponpes tersebut berdiri di atas lahan PTPN VIII.
Surat somasi itu diberikan kepada seluruh pihak yang menempati tanah PTPN VIII di kawasan perkebunan Gunung Mas, Puncak, Bogor, Jawa Barat.
"Dengan ini kami sampaikan bahwa PT Perkebunan Nusantara VIII telah pembuatan surat somasi kepada seluruh okupan di wilayah perkebunan Gunung Mas, Puncak," ujar Sekretaris Perusahaan PTPN VIII Naning DT.
Dalam surat somasinya, ditegaskan bahwa lahan yang dikuasai merupakan aset PTPN VII berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.
Ahli Hukum Agraria dari Universitas Andalas, Profesor Kurnia Warman, menjelaskan bahwa secara hukum jikalau jangka HGU sudah habis maka tanahnya jatuh ke tanah negara. "Dan tanah negara memang menjadi objek yang akan diberikan kepada orang atau badan hukum yang membutuhkan sesuai ketentuan," jelas Kurnia.
Apabila HGU-nya masih berlaku, tetapi ditelantarkan, menurut Kurnia, tanah tersebut juga jatuh ke tanah negara. Tanah yang telah jatuh ke tanah negara secara hukum tak lagi bisa disebut sebagai aset.
"Tanah yang sudah jatuh ke tanah negara secara hukum tidak dapat lagi dikatakan sebagai aset. Jadi untuk jawaban hukumnya secara valid, harus dipastikan terlebih dahulu posisi hukumnya dalam kasus ini," kata dia.
Dalam surat somasi bernomor SB/I.1/6131/XII/2020 tanggal 18 Desember 2020 itu, PTPN VIII memberikan waktu tujuh hari kerja bagi Markaz Syariah FPI untuk menyerahkan lahan tersebut. Jika tidak, maka akan ditindaklanjuti dengan pelaporan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat.
Terpisah, Badan Pertanahan Negara (BPN) menyebut selama tanah di Megamendung tersebut tidak dilepas oleh PTPN VIII, masyarakat tidak bisa memperjualbelikan. Tanah tersebut boleh dimiliki masyarakat, asalkan atas seizin Menteri BUMN. Pihak BUMN nantinya akan mempertimbangkan akan melepas atau tidak.
"Bisa saja sepanjang mau dilepas oleh menteri BUMN. Untuk dilepas menteri BUMN, harus mengajukan permohonan kepada menteri BUMN. Menteri boleh mempertimbangkan pelepasannya, jika dianggap permohonan itu masuk akal. Tapi jika menteri BUMN tidak menyetujui, maka status tanah itu tetap dikuasai oleh PTPN," ujar Juru Bicara BPN, Taufiqulhadi.****
Penulis: Tribun Network/igm/ham/kps/wly