Pandemi COVID-19 dan Tragedi Berjamaah

Masih segar dalam ingatan akan bagaimana reaksi dan respon masyarakat pada bulan Maret la­lu. Ketika mendengar ada terdeteksi virus Corona.

Editor: Salman Rasyidin
ist
Raegen Harahap,B.A.,M.A 

Oleh: Raegen Harahap,B.A.,M.A

Alumni Aligarh Muslim University, India Dosen Ilmu Politik, UIN Raden Fatah Palembang

Di tengah mengganasnya pandemi Covid-19 terus membabi buta.

Anehnya, kita justru “adem-ayem”.

Seolah-olah wa­bah telah berakhir.

Masih segar dalam ingatan akan bagaimana reaksi dan respon masyarakat pada bulan Maret la­lu. 

Ketika mendengar ada terdeteksi virus Corona.

Kehebohan terdengar dimana-mana, kepanikan menyebar dan me­luas dalam waktu “sepersekian detik”.

Kehebohan tersebut pun dibarengi dengan perasaan “was-was” dan ke­ta­kut­an berlebihan.

Lebih dari itu, tidak sedikit mengunci diri berbulan-bulan sehingga kondisi saat itu seperti kota ma­ti tak berpenghuni.

Namun, tidak demikian saat ini.

Ketidak-disiplinan meningkat tajam, beriringan dengan tingkat egoisme dan ke­cu­ek­an mengkulminasi.

Semua terakumulasi, ternormalisasi serta berkelindan sejalan dengan komitmen pemerintah yang tidak memiliki roadmap terarah.

Celakanya, kita seakan-akan menutup mata serapat-rapatnya akan angka ku­mulatif dari torehan dan rentetan infeksi positif dan angka kematian terus memburuk, pelajar di-online-kan, pekerja di-PHK dan kemiskinan terus meningkat tajam dan semakin tidak terprediksi.

Parahnya lagi, bulan Agustus lalu, menjadi catatan terburuk kasus penularan Covid-19 di Indonesia.

Jika sedikit ngeh akan kondisi saat ini.

Seharusnya (tanpa mengesampingkan) bukan lagi hanya menyoal rentetan ang­ka kumulatif disebutkan diatas, melainkan dijadikan sebagai peringatan keras (warning) bagi kita semua, ter­u­tama pemegang otoritas kekuasaan.

Tragedi berjamaah

Tentunya, tanpa i’tikad yang kuat, dibarengi dengan jalinan dan dukungan kerjasama yang apik.

Kenormalan baru “New-lifestyle” mustahil teraktualisasi dan bahkan penyelesaian pandemi Covid-19 pun sulit teratasi.

Saya melakukan survei sederhana pada 28 Agustus sampai 01 September 2020, dengan melibatkan 46 responden da­ri berbagai jenis pekerjaan di kota Palembang.

Mulai dari driver ojol, chep (tukang masak), barista, juru parkir, pe­da­gang kaki lima, tukang cukur (barberman), buruh, kontraktor, mahasiswa, tukang sapu, guru, konsultan, free­lan­ce, peneliti, pengusaha dan dosen.

Riset yang penulis lakukan menunjukkan ada sebanyak 65% responden setuju bahwa tidak ada lagi kepedulian ma­syarakat dengan bahaya pandemi Covid-19.

Lebih buruk lagi, sebanyak 76% responden mengatakan kondisi di te­ngah ganasnya Covid-19, masyarakat telah mengalami perubahan sikap yang sangat signifikan dibandingkan dengan bu­lan Maret lalu.

Hal paling krusial, 90% responden sependapat masalah berkerumunan tanpa menjaga jarak dan tidak memakai mas­ker belum sepenuhnya bisa direduksi.

Namun, hal yang mengagetkan dari seluruh responden, 100% tahu tentang pe­nerapan protokol kesehatan.

Bahkan 97% mengetahui dan mengerti dari bahaya infeksi pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, tanpa berlebihan untuk menyebutkan tidak terlalu mengagetkan melihat respon masyarakat yang terlihat “biasa-biasa” saja saat ini.

“Bak gayung bersambut”.

Maju ke hasil riset lebih luas.

Kondisi saat ini pun diperkuat de­ngan ketiadaan roadmap dan managemen terarah dari pemerintah daerah.

Dikutip dari hasil riset studi yang dilakukan oleh Nabiyla Risfa Izzati (UGM) mengatakan kondisi kegentingan ter­sebut diperparah dengan sangat lemahnya kontrol pemerintah pusat dalam menindaklanjuti Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020.

Apa yang kita lihat?

Setelah berakhirnya karantina, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Tidak adanya tin­dak­lanjut berupa penerbitan regulasi berkaitan dengan sanksi bagi instansi, tempat kerja dan tempat umum melanggar protokol kesehatan.

Bahkan, PSBB yang dilakukan oleh pemerintah daerah, (boleh dikatakan) hanya penghias se­mata guna menghindari kesan negatif masyarakat bahwa pemerintah tidak bekerja.

Selain itu, dikutip dari hasil riset yang sama. kondisi saat ini pun diperparah oleh komitmen pemerintah daerah ma­sih abu-abu.

Secara nasional, hanya DKI Jakarta, Jawa Barat, Kota Makassar, Medan, Surabaya, Surakarta, Batang dan Yogyakarta sudah memiliki peraturan memuat sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan.

Meskipun kampanye protokol kesehatan di tempat umum terlihat cukup komprehensif.

Akan tetapi, hanya sekedar pan­duan tanpa dibarengi pengawasan ketat pada segi implementasi.

Bahkan, ketentuan-ketentuan yang ada hanya ter­tulis manis tanpa pelaksanaan semestinya.

Kesemua itu, hanya sebatas polesan indah diatas kertas dan baleho, ban­ner semata.

Kenyataan berbicara, tidak efektif mempengaruhi masyarakat merubah kenormalan baru (new-life­style). 

Maka yang terjadi adalah tragedi berjamaah “tragedy of common” sebagai konsekuensi dari akumulasi ber­ba­gai perpaduan molekul senyawa dari absensi intervensi, komitmen pemerintah dan kiprah dukungan masyarakat secara kolektif.

Berbenah Diri

Harus diakui, tidak segampang “membalikkan tangan” menghadapi pandemi covid-19, jika negara tersebut terlambat menyadari, mengantisipasi, keliru dalam mengkalkulasi hingga kesalahan memprediksi.

Apalagi kesemua ini tidak di­topang dengan roadmap terarah, terukur sehingga yang terlihat hanyalah kegagapan, dan kepanikan, sejajar de­ng­an ketidakpedulian mengkulminasi semakin tinggi.

Lebih menjengkelkan lagi, rasa-rasanya hanya akan terus mem­per­buruk keadaan semakin berlarut-larut akibat dari sikap “lain yang dibicarakan, lain yang dilakukan”.

Hari ini, bagaimana pandemi Covid-19 mengajarkan kita akan kepercayaan bukan lagi diatas kertas, meskipun de­ngan hiasan dan polesan indah dari seluruh rangkaian panduan, himbauan, panduan dan ketentuan kedisiplinan.

Maka dapat dipastikan yang terjadi hanyalah slogan klise semata.

Apalagi, jika tidak dibarengi dengan pelaksanaan dan pengawasan yang ketat, maka bisa dikonklusikan, hanya kesadaran semu yang akan menyisakan problem ter­sendiri yang berpengaruh pada signifikansi tujuan yang ingin dicapai.

Esensi sebuah pemerintah, sesungguhnya se­bagai guardian dalam menjaga keselamatan warga negara dalam serangan bentuk apapun.

Untuk kebutuhan itu, Better late than never, (lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali).

Karena pada esen­si­nya semua permasalahan dapat diatasi, asalkan mau berbenah diri dengan mengerti permasalahan yang sedang di­hadapi, memiliki program bersinergi, diperkuat dengan keseriusan dalam menangani dan diikuti saling kompromi tingkat tinggi.

Dalam mengatasi pandemi di negara sekompleks Indonesia, memerlukan fleksibilitas, konektifitas dan saling pe­ngertian tingkat tinggi antara pusat dan daerah dan masyarakat pada umumnya.

Di saat yang sama, sudah saatnya pe­merintah menanggalkan “baju keegoisan” masing-masing yang tidak perlu ada dilemma antara pandemi dan eko­nomi.

Tidak terkecuali menghilangkan sifat saling menyalahkan satu sama lain, yang acap kali jauh dari keberpihakan dalam mem­prioritaskan keselamatan warga negara.

Sehingga peran pemerintah, dalam ini termasuk juga pemerintah daerah, sebagai pemilik kekuasaan penuh harus mampu mengelaborasi berbagai ide, masukan dari pihak manapun, dengan memberikan sinyal dan sikap yang jelas, terukur dan terarah.

Salah satunya, dalam hal ini pemerintah harus mempertegas dan memperketat kembali peraturan dengan penerbitkan sanksi.

Karena terkadang masyarakat harus dipaksa demi memperbaiki keadaan.

Jika hal demikian bisa dilaksanakan dan diaplikasikan oleh pemerintah.

Semakin terus dipopulerkan, sejalan dengan itu, semakin lama akan semakin dikenal (common sense) secara otomatis dengan sendirinya akan membentuk sikap ke­disiplinan, pola pikir dan penerapan secara alamiah.

Seiring berjalannya waktu, akan membentuk kenormalan baru (new-lifestyle).

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved