Cerita Kesaktian Panglima Perang Jambi, Muncul di Banyak Tempat dan Gempur Belanda di Wilayah Sumsel
Pada tahun 2020 ini, Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada 6 tokoh bangsa di Istana
Mendapat mandat untuk menyingkirkan Belanda, Raden Mattaher membangun barisan pertahanan dan perlawanan di berbagai daerah seperti Sarolangun, Merangin, Bungo, Muarojambi, Kumpeh, Pematang Lumut, Merlung dan Muarotembesi.
Perlawanan Raden Mattaher meletus pertama kali di Kumpeh.
Perang Kumpeh adalah perlawanan terlama kepada Belanda, periode waktunya antara 1890 hingga 1906.
Dia menguasai perang gerilya dan pertempuran maritim.
Semua peperangan di sepanjang Sungai Batanghari membuat Belanda takluk.
Kemampuan mengatur serangan dan mampu memenangkan peperangan di darat dan sungai, membuat dia berjuluk Singo Kumpeh.
Dikenal "Sakti" Muncul di Banyak Tempat dalam Waktu Bersamaan
Raden Mattaher begitu tangkas dan cerdik, terkadang dia berperang di ulu Jambi, terkadang berada di hilir, Kumpeh.
Orang mengira ia sedang memimpin pasukan di Kumpeh, sambung Arman, padahal dia sedang memimpin pasukan di Tebo.
Kawan-kawannya sendiri pun kagum tentang ketangkasan ini.
Raden Mattaher juga dikenal dengan sosok yang selalu menepati janji. Ia sempat berujar bahwa
“Aku besok berada di sini atau di situ”.
Apa pun yang dijanjikannya selalu ditepati. Kabar kemenangan demi kemenangan perang yang dicapai Raden Mattaher sampai ke telinga residen Belanda di Palembang.
Pihak Belanda pun sangat murka dan marah.
Menurut Arman, di mata petinggi Belanda, Raden Mattaher adalah seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukkan dan seorang lawan yang gesit dan ditakuti.
Puncak keganasan Raden Mattaher berhasil menaklukkan pos pasukan Belanda di Bayung Lencir.
Dia bergabung bersama pasukan Suku Anak Dalam (SAD) dari Bahar, yang dipimpin Raden Perang.
Dalam serangan itu, kepala Bea Cukai dan pengawalnya mati terbunuh.
Banyak senjata laras pendek milik Belanda dapat dirampas.
Pada penyerangan itu, uang sebesar 5.000 golden dan uang 30.000 ringgit cap tongkat di dalam brangkas milik perusahaan minyak berhasil dirampas pasukan Raden Mattaher.
Peti kas baja berisi uang tersebut dibawa SAD ke Bahar dan lalu dibongkar.
Setelah mengalami banyak kekalahan, Belanda kemuian menambah kekuatan dari Batavia.
Semua daerah di Jambi digempur habis-habisan. Maka, Sultan Thaha Saifuddin gugur pada 23 April 1904.
Kematian Sultan Thaha sempat memukul mental Raden Mattaher.
Namun demikian, sebagai panglima perang, dia tetap mengobarkan semangat perlawanan.
Tapi kekuatan Belanda terus bertambah. Banyak daerah juga telah dikuasai Belanda.
Pada penghujung 1907, Raden Mattaher hendak diungsikan ke Batu Pahat, Malaysia.
Uang 500 ringgit sebagai bekal telah disiapkan.
Sebelumnya, beberapa keluarga keturunan Sultan Thaha Syaifuddin dan saudara Raden Mattaher sudah mengungsi lebih dulu.
“Aku tidak sampai hati meninggalkan kalian dalam kesusahan dan mengalami penyiksaan. Sementara aku selamat dari Belanda. Aku tetap di sini, menunggu Belanda sampai peluru menembus kulit. Aku ingin mati syahid,” tulis Arman dalam bukunya, mengutip pernyataan Raden Mattaher.
Hari Kamis gerimis datang. Gemuruh bersahutan.
Sebelum tengah malam Raden Mattaher bersalin pakaian.
Dia mengenakan pakaian paling bagus dan pinggangnya dibebat.
Lalu mengisi peluru senapang mauscher.
Adiknya, Raden Achmad, duduk menunggui senapan.
Pintu belakang dijaga orang dari Mentawak, Gabuk.
Suasana malam hening, Raden Mattaher membunyikan kecapi, kemudian shalat malam.
Sekitar pukul 03.00 pagi, pasukan Belanda telah mengempung rumahnya.
Untuk terakhir kali, Raden Mattaher diminta menyerah. Namun dia menolak, sampai kulitnya tertembus peluru.
Setelah Raden Mattaher gugur di Muaro Jambi, 10 September 1907, maka pasukan Belanda mengangkut mayat Raden Mattaher untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai.
Atas permintaan para pemuka agama, maka Raden Mattaher dimakamkan secara Islam di pemakaman Raja-raja Jambi di pinggiran Danau Sipin.
Menurut Arman, pada masa mudanya, Raden Mattaher adalah seorang pemuda yang belum memikul suatu jabatan apa pun di dalam kesultanan Jambi.
Tapi beliau telah memperlihatkan sebagai seorang kesatria, berani, cerdas, dan pandai mengatur strategi.
Setelah Raden Mattaher gugur, pertempuran tetap membara di berbagai penjuru. Tetapi tidak lama dan kerap menelan kekalahan.
Makam kelingking di kawasan candi Budayawan asal Muaro Jambi, Abdul Havis atau akrab disapa Ahok menuturkan, jejak perjuangan dan peninggalan Raden Mattaher yang otentik masih ditemukan di dekat kompleks Candi Muarojambi.
"Rumah panggung tua terbuat dari papan dan menjadi tempat gugurnya sang pahlawan," kata Ahok menjelaskan.
Pada rumah itu terdapat lubang bekas tembakan peluru tentara Belanda. Tak jauh dari rumahnya, terdapat makam jari kelingking Raden Mattaher.
Masyarakat di Desa Muarajambi meyakini makam jari kelingking itu adalah milik Raden Mattaher.
Menurut masyarakat setempat, jari pahlawan yang dikenal dengan Singo Kumpeh itu putus dan tertinggal dalam perang sekitar tahun 1907.
Bukti yang menguatkan, sambung Ahok, adalah pada jarinya terdapat inai (pewarna kuku). Sebelum perang, Raden Mattaher sempat memakai inai sebagai tanda.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Raden Mattaher Jadi Pahlawan Nasional, Panglima Perang yang Ditakuti, Gugur Usai Shalat Malam", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2020/11/07/16481261/raden-mattaher-jadi-pahlawan-nasional-panglima-perang-yang-ditakuti-gugur?page=3
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/palembang/foto/bank/originals/cerita-kesaktian-panglima-perang-jambi-muncul-di-banyak-tempat-dan-gempur-belanda-di-wilayah-sumsel.jpg)