Human Interest Story

Wartawan Kompas Terbitkan Dua Buku Jakob Oetama: Baru akan Lahir 50-100 Tahun Lagi

Dua buku itu berisikan penggalan cerita pengalaman para karyawan Harian Kompas yang pernah bersentuhan langsung dengan sosok Jakob Oetama.

Editor: Soegeng Haryadi
TRIBUNNEWS
Jakob Oetama 

Jakob Oetama, pendiri grup Kompas Gramedia, wafat pada 9 September 2020 lalu sekitar pukul 13.05 WIB.

Hingga kini, kesedihan akibat kepergiannya masih dirasakan oleh para karyawan di grup Kompas Gramedia.

Dalam rangka memperingati 40 hari kepergian Jakob Oetama, sekaligus untuk mengenang pendiri grup Kompas Gramedia itu, sejumlah wartawan senior Harian Kompas menerbitkan dua buku yang bercerita tentang Jakob Oetama.

Buku itu masing-masing berjudul “Jakob Oetama, Kisah Kecil Bermakna Besar” dan satu buku lagi berjudul “Peninggalan Sang Pemula.”

Baca juga: Ulang Tahun ke-89 Jakob Oetama, Soekarno: Aku Akan Beri Nama Bagus Kompas

Dua buku itu berisikan penggalan cerita pengalaman para karyawan Harian Kompas yang pernah bersentuhan langsung dengan sosok Jakob Oetama.

Melalui kisah-kisah kecil dalam buku “Jakob Oetama, Kisah Kecil Bermakna Besar” para pembaca diajak menimba inspirasi penuh makna dari keteladanan hidup Pak Jakob sehari-hari.

“Saya kira dua buku ini belum cukup untuk mengenang sosok yang luar biasa pak Jakob Oetama,” ungkap Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Tri Agung Kristanto, Minggu (18/10).

Sementara itu wartawan senior Harian Kompas, Ninok Leksono, dalam acara peluncuran dua buku tersebut, mengatakan, “Kenangan mengesankan kita kemas dalam bahasa ’Saat Masa Lalu yang Mengesankan.’ Masa lalu selalu manis untuk kita kenang, namun ketika masa berkabung tersebut sudah usai, kita niscaya harus kembali ke alam nyata.”

Baca juga: Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama Tutup Usia, Jusuf Kalla: Semua Tahu, Beliau Hebat

Ninok berharap terbitnya dua buku itu bisa menjadi referensi bagi berbagai pihak tentang kesan mereka terhadap sosok Jakob Oetama. Perilisan dua buku itu sekaligus menjadi momen yang membahagiakan bagi seluruh jajaran Harian Kompas.

Ninok lantas mengajak para peserta mengenang sosok teladan Jakob Oetama.

“Dalam suasana siang hari ini, kita kenang Pak Jakob, kebaikan beliau, keluhuran budi beliau, kemurahan hati beliau, sekaligus juga kecendekiawanan beliau,” ucap Ninok.

Ninok lantas sedikit merentang dari pokok pembahasan. Ia tak lagi membahas acara perilisan dua buku Jakob Oetama. Wartawan senior Harian Kompas itu mengajukan satu pertanyaan.

Baca juga: Jakob Oetama Menurut Herman Darmo, Mantan Direktur Tribun: Sederhana, Jujur dan Pembela Orang Kecil

“Pertanyaan sentral saat ini adalah bagaimana kita (Harian Kompas) ini ke depannya?,” tanya Ninok.

Ninok menjelaskan, pertanyaan bagaimana Kompas ke depan pasca Jakob Oetama juga menjadi pertanyaan khalayak.

“Di mana ada pertemuan atau ketemu dengan orang, yang selalu ditanyakan itu. Bagaimana ke depan Kompas Gramedia pasca Jakob Oetama?,” ujar dia.

Kalau netral, lanjut Ninok, akan menjawab this is the most challenging time, saat yang paling menantang. Yang pesimis cenderung mengatakan, the future looks gloomy. Yang bernada optimis tapi juga bermakna dua akan menjawab, setiap orang ada zamannya, dan setiap zaman ada orangnya.

Baca juga: Ultah Google Bertepatan dengan Hari Kelahiran Jakob Oetama

“Ini tentu implisit juga bisa, senada dengan apa yang saya sampaikan, yang bermakna apa-apa itu, kejadian itu, peristiwa besar itu, sosok itu, sifatnya hanya satu kali. Kita ingat bahwa orang bilang Kompas itu Pak Jacob, dan Pak Jakob itu Kompas,” ucap Ninok.

Membahas narasi besar Kompas ke depan bukan untuk mengecilkan hati, melainkan untuk menjadi sebuah renungan bersama.

“Mari kita renungkan pertanyaan tersebut. Tapi ini tantangan riil, masalah digital masih terus berlangsung, dan kalau mau jujur, kita harus berani menjawab bahwa kita belum menemukan formula yang jitu untuk memulihkan kejayaan,” ucap Ninok.

Ninok menyebut, Harian Kompas saat ini kesulitan menemukan jawaban karena past glory atau kejayaan masa lalu. Kejayaan masa silam itu, alih-alih menjadi sumber tenaga, malah menjadi liabilitas, menjadi sesuatu yang menggondeli. Ninok ingin tetap mencoba optimistis sambil mengatakan, guru yang berhasil adalah yang bisa menghasilkan murid yang lebih pintar dari dirinya.

“Saya kira Pak Jakob juga punya keyakinan seperti itu, bahwa murid-murid dia, karyawan dia, itu mestinya lebih pintar dari dia. Ada juga pepatah manajemen mengatakan, great leaders create more great leaders,” ujar Ninok.

Perspektif demikian, kata Ninok, menjadi sebuah tantangan yang benar-benar berat untuk Harian Kompas. Jakob Oetama adalah seorang great leader. Narasi besarnya adalah bagaimana para muridnya harus lebih besar dari suhunya.

“Ini yang sulit, karena Pak Jakob itu man of history. Itu yang membuat beliau itu sebagai sosok yang tinggi menjulang. Saya berani mengatakan secara umum, mungkin sosok seperti beliau 50 - 100 tahun lagi saja mungkin baru lahir satu lagi,” tegas Ninok.

Ninok sempat menulis sebuah tulisan obituary (berita kematian) berjudul “Sepatu Pak Jakob Terlalu Besar untuk Kaki Kita Semua.”

Tulisan itu diterbitkan pada 10 September 2020, satu hari setelah kepergian Jakob Oetama. Tulisan obituary itu merepresentasikan kedatangan berbagai tantangan yang begitu besar pasca Jakob Oetama.

“Kita tidak punya resources seperti yang dimiliki Pak Jakob. Baik network politik, finansial juga legitimasi,” ucap dia.

“Itu tidak ada pada kita semua. Ibaratnya kita itu jadi terjepit. Tidak punya resources, sepatu beliau kebesaran, tantangannya lebih sulit. Tapi saya pada kesempatan ini tidak ingin memperpanjang masalah ini,” sambung dia.

Sosok Extraordinary
Wartawan senior Mohammad Nasir juga turut mengenang sosok Jakob Oetama yang meninggal 18 hari sebelum ulang tahun yang ke-89. Bagi Nasir, semua tentang Jakob Oetama sangat menarik. Jakob, kata Nasir, adalah sosok yang extraordinary (luar biasa). “Apa yang dikatakan dalam pendahuluan Pak Jakob itu menurut saya lebih dari itu. Pak Jakob Oetama itu sangat extraordinary. Mulai dari lahir, tempatnya, kiprahnya, pendidikannya, sampai karya-karya beliau extraordinary,” ucap dia.

Nasir menyebut, bagi seorang penulis biografi, Jakob Oetama ini adalah Taman Firdaus. Dimulai dari kronologis, tematis, mau dijungkirbalik ke tahun berapapun, semua tentang Jakob Oetama itu extraordinary. Dan semua hal tentang Jakob Oetama, lanjut Nasir, pantas diangkat menjadi yang pertama, tulisan awal, yang pasti dibaca orang dari awal sampai akhir.

Salah satunya tempat lahir Jakob Oetama yang terletak 500 meter di sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

“Beliau itu dilahirkan di 500 meter di sebelah timur Candi Borobudur. Kita tahu Candi Borobudur ini memang extraordinary, luar biasa ini warisan dunia. Di situlah masa kecil Bapak Jakob itu bermain sebelum beliau bergabung dengan teman-teman sebayanya di Seminari Mertoyudan,” ujar dia.

Nama Seminari Mertoyudan sendiri diambil nama besar. Seminari Mertoyudan adalah seminari tertua. “Jadi kalau ditulis seminari itu sendiri, itu sudah extraordinary. Bukan seminari yang baru. Artinya sudah men-sejarah,” ucap Nasir

Humanisme Transendental
Kemudian, lanjut Nasir, Jakob Oetama juga digembleng dan dididik oleh para Romo yang menurut Jakob itu hebat. Sosok romo yang mengajar di Seminari Mertoyudan itu kerap diceritakan Jakob kepada jajarannya di Harian Kompas dalam berbagai rapat internal.

“Beliau juga punya pengalaman diajak boncengan ke Jogja membeli nasi untuk teman-temannya yang tinggal di asrama. Ini bentuk kepedulian yang luar biasa yang ditanamkan dari seminari untuk kemanusiaan,” kata Nasir bercerita.

Apa yang ada di dalam diri Jakob Oetama adalah kemanusiaan yang disebut kemanusiaan yang beriman, atau kemanusiaan transendental. Secara dramatis, atau untuk menarik pembaca itu, humanisme transendental itu kerap diartikan kemanusiaan yang menjulang tinggi ke langit.

“Itu artinya yang vertikal itu, sehingga menyentuh wilayah-wilayah keimanan yang hakiki. Itu beliau yang melaksanakan sampai menciptakan atau mendirikan Kompas,” jelas dia.

Humanisme yang diciptakan Jakob Oetama ini bukan sekadar cerita di mulut. Ketika Kompas berdiri pada tahun 1965, pada tahun 1966 Jakob sudah mendirikan Dompet Kompas. Dompet Kompas berdiri atas seruan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang meminta bantuan ketika Jakarta sedang dilanda banjir.

Pada tahun 2012, Dompet Kompas berubah nama menjadi Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Yayasan ini digunakan Jakob Oetama untuk kepentingan kemanusiaan. Salah satunya saat terjadi Tsunami Aceh 2004 silam.

“Beliau itu sering bertanya kalau kita sedang menggalang dana. Dia bertanya dapat berapa, saya kira beliau itu tidak butuh uang, uang beliau itu banyak, tidak butuh uang pembaca. Ternyata beliau ingin tahu, sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap Kompas yang dititipi dana itu,” kenang Nasir.

Pada 2004, bantuan dana yang disumbangkan masyarakat untuk korban bencana Tsunami Aceh mencapai miliaran rupiah. Saat itu, kata Nasir, Jakob Oetama begitu senang dan merasa bangga.

“Kita masih dipercaya masyarakat ya bung, kita peliharalah terus. Jadi jumlah uang yang terkumpul dalam dompet Kompas itu adalah representasi kepercayaan masyarakat,” ucap Nasir menirukan ucapan Jakob Oetama.

Tsunami Aceh
Nasir menceritakan, Jakob Oetama turun langsung ke lapangan saat menyalurkan bantuan dana untuk korban Tsunami Aceh. Pelaksanaan di lapangan, Jakob ikut mengontrol ketika rehabilitasi gedung-gedung yang ambruk karena Tsunami di Aceh.

“Beliau turun ke Aceh untuk meninjau progres pembangunan asrama di sana, asrama kampus. Kemudian beliau itu juga sering menelepon saya, bertanya, ada tidak orang yang menghalang-halangi penyaluran dana untuk masyarakat,” ujar dia.

Nasir kemudian diminta menghadap, dan secara khusus Jakob bertanya, ada tidak ada orang-orang yang menghambat penyaluran dana untuk korban Tsunami Aceh.

“Saya tidak menyebutkan, saya mengatakan itu bagian dari prosedur yang harus dihadapi karena ada perubahan sistem dan lain-lain,” ucap Nasir menirukan jawabannya saat menghadap Jakob Oetama beberapa tahun silam.

Nasir kemudian menjelaskan, anak-anak di sekolah itu tidak langsung menerima bantuan yang disalurkan Kompas. Alasannya tak lain karena harus lewat pembayaran via rekening. “Sementara anak-anak sekolah kadang tidak punya rekening, terutama yang tinggal di kampung. Kalau dititipkan di guru atau sekolah, dengan bantuan SPP anak-anak itu terkadang tidak sampai,” katanya.

“Kebingungan di gurunya, karena dia lihat rekening dia, bingung antara uangnya sudah masuk apa belum sementara titipannya itu tidak cukup banyak, ratusan ribu saat itu untuk membayar SPP,” katanya lagi.

Ini salah satu kisah dari sisi kemanusiaan Jakob yang jelas terekam dalam ingatan Nasir. Ini pula yang disebut Nasir sebagai kemanusiaan yang menjulang ke langit.

“Itu perhatian dari sisi kemanusiaan untuk bantuan langsung, bantuan dana kemanusiaan Kompas, dan beliau secara diam-diam juga membantu ke sana ke sini. Seperti itu, tidak disampaikan kepada kami karena itu beliau sendiri yang tahu,” ujar dia. (tribun network/gen/ras/dod)

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved